Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim : Dari Anas bin Malik RA. pernah menuturkan bahwa, Rasulullah SAW. pernah suatu kali lewat di sebelah seorang wanita yang sedang menangisi kematian anaknya. Beliau berkata kepadanya, “Takutlah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu kemudian berkata, “Engkau tidak merasakan musibah yang aku alami.” Ketika Rasulullah SAW. sudah berlalu dari situ barulah ada sahabat berujar kepada wanita itu, bahwa orang yang barusan menasihatinya adalah Rasulullah SAW. Alangkah terkejutnya wanita itu, bahwa orang yang barusan menasihatinya itu adalah Rasulullah SAW. Maka bergegaslah dia pergi ke rumah Rasulullah SAW. dan berdiri di ambang pintu rumah Beliau. Dia (wanita) berkata, “Wahai Rasulullah, aku tadi tidak mengenalmu. Sekarang aku sabar.” Rasulullah SAW. bersabda, “Kesabaran itu berlaku pada awal goncangan / musibah.”
Karena datangnya suatu musibah secara tiba-tiba biasanya menancapkan pengaruh luar biasa sehingga bisa menggoncangkan hati. Dengan kesabaran pada waktu goncangan pertama, orang akan bisa membendung kedahsyatan dan kekuatan musibah itu, sehingga musibah itu tidak ada artinya lagi baginya dengan adanya kesabaran tersebut. Sebab biasanya musibah yang datang menerjang, bisa menggoyahkan hati yang tidak siap, inilah yang dimaksud dengan goncangan pertama dalam hadis di atas.
Akan tetapi, ketika musibah itu datang lagi, dia sudah tidak kaget dan menyadari bahwa dia harus bersabar. Sehingga di sini kesabaran tidak jauh beda dengan kesabaran karena keterpaksaan. Wanita di atas ketika mengetahui bahwa kesedihannya sama sekali tidak ada manfaatnya, barulah dia datang menemui Rasulullah SAW. untuk minta maaf. Seakan-akan dia mau berkata kepada Rasulullah SAW. “Aku sekarang telah sabar.” Namun hal ini dijawab oleh Rasulullah SAW. “Sesungguhnya kesabaran itu berlaku pada goncangan pertama.”
Pengertian yang sama juga terkandung dalam hadis riwayat Sa’id bin Zarabi dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah RA. yang bercerita : Suatu hari Rasulullah SAW. lewat di sebelah seorang wanita yang sedang bersimpuh di hadapan sebuah kuburan sambil meratap. Rasulullah SAW. berkata padanya “Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan sabarlah.” Wanita itu menjawab “Engkau tidak tahu sialnya nasibku.” Rasulullah SAW. berkata lagi “Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata “Wahai hamba Allah kalau engkau mengalami musibah sepertiku, maka pasti akan merintih seperti aku.” Rasulullah SAW. berkata: “Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata “Wahai hamba Allah engkau telah mengetahui jawabanku, sekarang pergilah dari hadapanku.” Rasulullah SAW. pun berlalu dari situ. Setelah itu kemudian ada seorang sahabat yang datang menemui wanita itu dan bertanya: “Apa yang kamu katakan padanya tadi ?” Wanita itu menceritakan bahwa dia berkata kepada laki-laki itu demikian demikian, dan jawabannya adalah demikian demikian. Sahabat itu bertanya kepadanya “Apakah engkau tahu siapa laki-laki yang datang tadi ?” “Tidak,” jawabnya. “Dia adalah Rasulullah SAW.” kata sahabat itu. Abu Hurairah lebih lanjut menceritakan, kemudian wanita itu terhenyak dari kesedihannya dan langsung pergi dari situ untuk menjumpai Rasulullah SAW. Ketika bertemu, dia berkata “Wahai Rasulullah, aku sekarang sudah sabar.” Rasulullah SAW. menjawab “Kesabaran itu berlaku dalam goncangan pertama, kesabaran itu berlaku dalam goncangan pertama.”
Ibn Abi al-Dunya meriwayatkan dari Bisyr bin al Walid, dari Shalih al-Kindi bin Malik, dari Sa’id bin Zarabi yang menyebutkan hadis di atas. Penuturan itu semakin memperjelas makna dan kandungan hadis di atas. Abu ‘Ubaid berkata : “Makna hadis ini adalah bahwa setiap orang yang kena musibah, maka bentengnya adalah kesabaran. Akan tetapi dia bisa mendapatkan pujian dari Allah atas kesabarannya ketika musibah itu sedang berada dalam keadaan yang dahsyat dan Bagi saya, dalam hadis ini terkandung beberapa hikmah :
- Kewajiban sabar atas segala musibah merupakan sebuah ketakwaan di mana hamba diperintahkan untuk melakukan hal itu.
- Perintah pada kebaikan dan larangan dari keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dan bahwa dahsyatnya musibah tidak menghalanginya untuk mengerjakan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya.
- Selalu mengulang pelaksanaan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya sehingga kemudian dia bisa sampai kepada Allah.
- Hadis ini bisa dijadikan hujjah tentang bolehnya wanita berziarah ke kuburan. Karena Rasulullah SAW tidak melarang ziarah wanita itu. Beliau hanya memerintahkannya untuk bersabar. Kalau saja ziarah itu haram, niscaya beliau pasti akan mengatakannya.
Tetapi Ada pula yang menyanggah itu : Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ketujuh hijriah Jawabannya : Abu Hurairah tidak menyatakan bahwa dia menyaksikan langsung kisah ini. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa dia mengetahuinya setelah masuk Islam. Kalaupun dia menyaksikan peristiwa ini, namun tidak bertabrakan dengan larangan Rasulullah SAW. atas wanita yang melakukan ziarah kubur. Karena laknat Rasulullah SAW. terhadap para wanita penziarah kubur dan orang-orang yang memugar kuburan menjadi masjid barulah terjadi setelah kasus ini, tepatnya setelah Rasulullah SAW. mengalami sakit dan berujung pada wafatnya.
Rasulullah SAW. tidak memperkenalkan diri terhadap wanita yang terguncang hatinya dan tidak bisa menguasai dirinya itu. Karena beliau ingin memperlihatkan kasih sayangnya terhadap wanita itu. Kalau saja Rasulullah SAW. pada waktu itu mengenalkan dirinya, niscaya wanita yang lagi kalut itu tidak akan mendengarkan nasehat Rasulullah SAW. dan akhirnya dia akan rusak.
Artinya, maksiat wanita itu adalah karena dia tidak tahu bahwa orang itu adalah Rasulullah SAW. menilainya lebih ringan, daripada maksiatnya ketika dia tahu bahwa orang itu adalah Rasulullah SAW. Ini adalah salah satu keagungan sifat Rasulullah SAW.
Dalam kitab Shahih Muslim terdapat sebuah hadis dari Ummu Salamah yang berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda “Tidak ada seorang muslim yang ditimpa musibah dan dia mengatakan seperti perintah Allah : “Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kami akan kembali pada-Nya. Wahai Allah, berikanlah pahala padaku dalam musibahku ini dan wariskanlah padaku kebaikan dalam musibah ini,” kecuali Allah akan memberikan ganti padanya sesuatu yang jauh lebih baik baginya.”
*Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur* Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah
0 comments:
Post a Comment