SUAP (RISYWAH)

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 188)

Praktek suap saat ini sudah merasuk hampir ke seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Kasus ini bukan hanya merusak tatanan kehidupan tetapi lebih jauh merusak moral bangsa. Pelaku suap, baik pemberi maupun penerima, seakan boleh mengabaikan aturan yang berlaku di masyarakat.

Istilah suap dalam Islam dikenal dengan risywah. Dalam kitab Ta'rifat (Al-Jurjani) dijelaskan, suap adalah memberikan uang untuk membatalkan sesuatu yang hak atau mendapatkan hak pada sesuatu yang batil dengan cara memberi uang pelicin. Sebagai ilustrasi, Rasulullah SAW. suatu hari mengutus Abdullah bin Rawahah ke tempat orang Yahudi untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayarnya. Mereka menyodorkan sejumlah uang. Abdullah berkata kepada orang Yahudi tadi, "Uang suap yang kamu sodorkan kepadaku itu adalah haram, aku tidak akan menerimanya."

Allah melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Kata laknat memiliki konotasi yang sangat dalam. Hadits Nabi biasanya menggunakan bahasa yang persuasif, lembut, sejuk, santun, dan simpel, sedangkan hadits tentang suap diawali kata laknat Allah. Semua ulama sepakat, kata laknat menunjukkan haram. Hadits di atas menunjukkan, suap termasuk dosa besar karena ancamannya adalah laknat Allah.

Dalam praktik suap, ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan secara tidak wajar. Suap cenderung menghalalkan segala cara, sehingga melanggar tatanan sosial, hukum, dan adat yang berlaku di masyarakat. Suap bisa merusak moral dan mental, mengakibatkan ketidakadilan kepada masyarakat. Orang berduit sebagian besar bisa menerima layanan yang super cepat, sementara yang lain perlu menunggu lama agar urusannya bisa selesai. Hampir sebagian besar kasus bisa diselesaikan dengan uang. Ini mengindikasikan, suap sudah menjadi bagian budaya negatif bangsa. Para pemuka agama menjelaskan, suap mengakibatkan hidup tidak berkah, lahir dan batinnya tidak tenang, selalu dihantui perbuatan salah dan dosa, bahkan ibadahnya pun tidak khusyuk.

Lebih jauh, kita perlu membedakan antara suap, hadiah, hibah, dan sedekah agar jangan terjebak dalam kategori perbuatan suap. Mungkin saja mereka yang terjerumus perbuatan suap disebabkan oleh minimnya pemahaman istilah tersebut. Pengertian suap sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun hadiah adalah mengambil atau menerima sesuatu tanpa syarat pengembalian (tidak tendensius). Artinya, memberikan sesuatu sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan tanpa harus mengembalikannya kepada si pemberi. Hibah adalah derma sosial atau memberikan hak kepemilikan suatu barang kepada orang lain tanpa pengganti / pamrih. Adapun sedekah adalah memberikan sesuatu dengan diniatkan untuk memperoleh pahala di sisi Allah.

Faktor-faktor apa saja yang mendorong seseorang melakukan suap ? Secara sederhana dapat disimpulkan, di antaranya,
  • Pertama, lemahnya kualitas iman dan takwa. Pemahaman pengetahuan agama yang dangkal, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah masih jauh dari yang diharapkan, akan mendorong melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang.
  • Kedua, pola sikap hidup mewah dan serakah. Seseorang yang tidak pandai bersyukur, tidak menerima pemberian Allah apa adanya, akan membuat hidup tidak pernah merasa cukup. Keinginannya melampaui batas kemampuan dirinya. Akibatnya, hidup mewah merasuk dalam dirinya dan sifat tamak mendominasi akal sehatnya. Sikap tersebut membuat orang cenderung melakukan perbuatan tanpa mempertimbangkan halal atau haram.
  • Ketiga, Hilangnya sikap hidup zuhud dan qonaah. Zuhud adalah kecenderungan manusia lebih fokus dan memilih kehidupan ukhrowi (akhirat) daripada duniawi (dunia). Sementara qonaah adalah menerima apa adanya, hidup merasa cukup dari apa yang diberikan Allah. Dua sifat di atas menunjukkan sikap hidup sederhana. Bila sikap hidup tersebut tidak dimiliki atau hilang dalam diri manusia, maka akan mendorong mereka berbuat dosa.
  • Keempat, perilaku yang tidak jujur. Perkataan dan perbuatan yang benar menurut syariat Islam merupakan sifat jujur. Kejujuran harus menjadi bagian sikap hidup seorang Muslim. Bila sifat jujur itu hilang pada diri seseorang, maka akan sangat terbuka peluang melakukan perbuatan haram.
  • Kelima, tidak merasa diawasi Allah. Bila manusia seorang diri, Allah-lah yang keduanya. Di manapun kita berada, tidak lepas dalam pengawasan Allah. Seandainya prinsip ini hilang dari ingatan manusia, dia akan berbuat lepas kontrol dan kendali dari prinsip-prinsip kejujuran.
  • Keenam, tipisnya sifat ikhlas. Sifat ikhlas lahir dari jiwa yang suci. Hati yang bersih menerima kenyataan hidup dan melaksanakan perbuatan dengan tunduk, patuh atas perintah disertai penuh tahggung jawab. Bila sifat ini terjadi penurunan atau lemah (degradasi) atau tidak dimiliki seseorang maka dorongan untuk melaksanakan perbuatan baik akan menjadi lemah pula, atau sama sekali tidak mau melakukan perbuatan baik bahkan sebaliknya ia akan melakukan perbuatan buruk.
Lebih jauh, suap dapat menimbulkan dampak negatif baik bagi diri sendiri, masyarakat, dan negara. Bagi diri sendiri berdampak menjadi pribadi yang tidak jujur, serakah, tamak, dan licik. Pada dimensi agama ibadahnya sulit diterima Allah dan mendapat laknat dari-Nya. Dalam kehidupan di masyarakat tentunya ia tidak akan dipercaya oleh mereka, dan dianggap sebagai orang yang licik dan serakah. Bagi negara, ia tergolong orang yang merusak tatanan penyelenggaraan negara yang bersih (clean goverment) dan pemerintahan yang baik (good goverment). Selain itu, akan melahirkan bentuk-bentuk ketidakjujuran dan ketidakadilan karena memakan harta yang haram dari hasil suap akan melahirkan pemikiran dan niat untuk melakukan perbuatan haram lainnya. Sebagaimana hadits Nabi SAW., "Sesuatu yang tumbuh dari barang yang haram maka akan menghasilkan perbuatan haram baru lainnya."

Perbuatan suap bisa saja terjadi pada diri sendiri, pejabat, tokoh agama, pemuka masyarakat, pimpinan, dan sebagainya. Namun, untuk memberantasnya memang tak semudah yang kita bayangkan, karena sudah menjadi budaya hampir di semua lapisan masyarakat. Kita perlu berupaya meminimalisasi secara bertahap.

Adapun upaya mencegah perbuatan suap dapat dilakukan diantaranya dengan membentengi diri dengan keimanan, ketaqwaan dan mengenali jati diri yang sesungguhnya, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhannya. Kekuatan iman, insya Allah akan mampu menangkis seseorang terjebak dalam perbuatan suap, sekalipun tidak ada yang mengetahui apa yang dilakukannya, walaupun peluang terbuka lebar di depan mata. Membekali diri dengan sifat-sifat kejujuran baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Rasa diri selalu diawasi oleh Allah pada setiap gerak dan langkah di mana saja berada. Perlu belajar hidup sederhana, pandai bersyukur, menerima dan rida atas pemberian Allah. Masyarakat diberikan kesadaran akan bahaya dan kerugian akibat suap bagi diri sendiri serta mengasah terus sifat ikhlas karena Allah Taala.***

[Ditulis oleh : HABIB SYARIEF MUHAMMAD AL'AYDRUS, Ketua Umum Yayasan Assalaam Bandung. Disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 25 Maret 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

0 comments: