KHOSYATILLAH

Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita dikejutkan dengan maraknya pemberitaan soal jual beli gelar akademik. Pembuatan tugas kuliah, skripsi, bahkan tesis dan disertasi melalui perantara (calo). Fenomena memprihatinkan lainnya ketika sebagian mahasiswa berhasil meraih sarjana tanpa melalui kuliah atau kuliah alakadarnya.

Dampak dari semua itu adalah ulama (cendekiawan) yang bergelar tanpa nalar dan berijazah tanpa kuliah. Penulis ingin meluruskan dulu istilah ulama dan cendekiawan karena kedua istilah itu bermakna sama, cuma saat ini pengertiannya dipersempit. Ulama dimaknai sebagai pakar ilmu agama, sedangkan cendekiawan memiliki keluasan dalam ilmu-ilmu umum.
Padahal, ilmu Allah tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Qur'an

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
innama yakhsha Allaha min AAibadihi alAAulamao

Sesungguhhya yang takut kepada Allah di kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. (QS. Fathir: 28)

Inilah makna khosyatillah, takut kepada Allah. Ayat ini secara kasatmata menyebutkan keistimewan ulama (cendekiawan) dibandingkan dengan hamba-hamba Allah yang lain adalah rasa takut mereka kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah SWT. itulah yang menjadi sifat ulama yang paling menonjol sehingga wajar disebut ulama sebagai pewaris para nabi. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Seorang ulama asal Banten yang dikenal di Timur Tengah, Imam Nawawi al Bantani, menjelaskan kriteria ulama ini, yakni beriman, menguasai ilmu syariah secara mendalam, dan memiliki pengabdian tinggi semata-mata karena mencari keridhaan Allah. Ulama itu bukan mencari keridhaan manusia. Dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama dan ilmu pengetahuan baik dalam masalah ibadah maupun muamalah.

Bukan hanya mumpuni dalam ilmu agama, menurut Imam Nawawi, ulama juga harus jujur, amanah, cerdas, menyampaikan (tablig), mengenal situasi dan kondisi masyarakat, serta mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah

Cendekiawan/ulama tidak membutuhkan gelar, melainkan temuan dan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat sebagai solusi dan kesejahteraan lingkungannya. Meskipun banyak gelar yang ditempelkan pada namanya belum tentu menunjukkan amal saleh, ikhlas, dan peduli, maupun mau menerima masukan dan pendapat orang lain. Tak jarang seseorang yang merasa sudah bergelar apalagi memiliki jabatan amat susah menerima pendapat seseorang karena merasa dirinya sudah benar. Peribahasa Sunda menyebutnya, adat kakurung ku iga (sudah mengkristal dan susah berubah).

Ulama tidak mendiamkan, tidak menyetujui, dan tidak mendukung kedzaliman dan siapa pun yang berbuat dzalim

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
Wala tarkanoo ila allatheena thalamoo fatamassakumu alnnaru

Janganlah kalian cenderung (la tarkanu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang dapat mengakibatkan kalian disentuh api neraka. (QS. Hud: 113)

Ibnu Juraij menyatakan, kata "la tarkanu" berarti jangan cenderung kepadanya. Sementara itu, Imam Qatadah menyebutkan, jangan bermesraan dan jangan menaatinya, serta Imam Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti jangan meridhai perbuatan-perbuatannya.

Ulama hanya takut kepada Allah. Sebaliknya, mereka tidak pernah takut kepada selain-Nya, meski dia adalah seorang penguasa dunia. Bahkan, mereka senantiasa berada di garis depan menentang setiap kedzaliman yang dilakukan para penguasa.

Ketinggian ilmu seseorang yang tanpa adanya hidayah Allah hanya akan membuat ulama/cendekiawan makin jauh dari-Nya, Ilmu tanpa didasari rasa takut kepada Allah hanya akan menimbulkan kebinasaan, kecelakaan, bahkan terjerembap dalam kekufuran. Hati orang itu telah mati.

Tersebutlah nama ulama/cendekiawan sekelas Hasan al-Bashri yang begitu besar rasa takutnya kepada Allah sehingga tak pernah gentar kepada penguasa dunia yang lalim. Beliau berani menentang penguasa Hijaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, penguasa Irak yang lalim pada zamannya. Ucapan Hasan al Bashri yang sangat terkenal, "Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para pemilik ilmu untuk menjelaskan ilmu yang dimilikinya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya."

Demikian pula Sufyan ats-Tsauri yang menentang kebijakan penguasa Abu Ja'far al-Manshur ketika mendanai dirinya dan para pengikutnya yang beribadah haji ke Baitullah dalam jumlah yang sangat besar dengan dana dari Baitulmaal. Saat ini kita lihat betapa banyak anggaran pemerintah dari rakyat yang akhirnya dipergunakan untuk kepentingan segelintir pejabat.

Ulama lainnya seperti Abu Hanifah, pernah menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja'far al-Manshur dan menolak uang 10.000 dirham yang akan diberikan kepadanya. Kemudian ia ditanya oleh seseorang, "Apa yang Anda berikan kepada keluarga Anda, padahal Anda telah berkeluarga?" Beliau menjawab, "Keluargaku kuserahkan kepada Allah. Sebulan aku cukup hidup dengan dua dirham saja."

Keberanian ulama juga ditunjukkan Abu Muslim Al Khaulani yang tak mau mendengar pidato Khalifah Muawiyah. Ketika ditanya alasannya, Abu Muslim menjawab, "Karena engkau (Khalifah) telah berani memutuskan bantuan kepada kaum Muslim (rakyat). Padahal, harta itu bukan hasil keringatmu dan bukan harta ayah-ibumu."

Mendengar itu, Khalifah Muawiyah sangat marah. Ia lalu turun dari mimbar, pergi dan sejenak kembali dengan wajah yang basah. Ia membenarkan apa yang dikatakan Abu Muslim dan mempersilakan siapa saja, yang merasa dirugikan boleh mengambil bantuan dari Baitulmaal (Al-Badri, Al-Islam bayna al-Ula-ma' wa al-Hukkam, hlm. 101).
Semoga masih ada ulama, cendekiawan, dan kaum cerdik pandai lainnya yang berani meluruskan kedzaliman dan kesalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 

Wallahu-a'lam. ***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 10 Mei 2012 / 18 Jumadil Akhir 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: