TAKWA DAN JATI DIRI BANGSA

Terdapat banyak arti takwa yang disampaikan oleh para ahli, termasuk Prof. DR. Quraisy Shihab. Beliau menjelaskan tentang takwa yang juga bermakna cinta, sebab kata cinta akan berbuah makna kerinduan. Kerinduan pada gilirannya akan melahirkan rasa simpati dan kedekatan. Orang yang dirinya telah diliputi rasa cinta dapat dipastikan akan selalu mendambakan kedekatan dan simpati.
Orang yang hidupnya selalu diliputi rasa cinta kepada Allah SWT. misalnya, maka dapat dipastikan hidupnya ingin selalu dekat dengan-Nya. Berat rasanya bila ada, aktivitas yang memberi kesan bahwa dirinya jauh dengan Allah, walau sekejap, atau sedetik dalam hitungan waktu.

Berbeda halnya dengan takwa yang dimaknai takut. Hal ini merupakan kebalikan dari "cinta". Rasa takut bagi seseorang tidak sedikit akan melahirkan kebencian, kekhawatiran, bahkan ketidaknyamanan dalam kehidupan, yang efeknya akan menumbuhkan sikap ingin menjauh, antipati, bahkan tidak mustahil ingin berupaya paling tidak berdoa agar hal yang ditakuti itu lepas, lenyap, atau sirna dalam kehidupan ini.

Sudah saatnya bagi kita memaknai takwa dengan cinta. Sebab dengan pemaknaan cinta akan membentuk kekuatan moral (moral force) yang mampu memelihara jati diri baik sebagai umat maupun sebagai bangsa. Seseorang yang karena cintanya melahirkan kerinduan dan kedekatan dengan Allah SWT., maka hidupnya tidak sekadar merasakan kesenangan, tetapi ia akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Dalam hidupnya selalu merasakan kehadiran Allah dekat dengan dirinya, para malaikat diyakini sebagai pengawal bagi dirinya, sehingga tidak ada perasaan takut dan bersakit hati, selalu optimistis terhadap proses dan tujuan hidup serta janji ilahi.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ

Inna allatheena qaloo rabbuna Allahu thumma istaqamoo tatanazzalu AAalayhimu almalaikatu alla takhafoo wala tahzanoo waabshiroo bialjannati allatee kuntum tooAAadoona

Sesunguhnya orang-orang yang berkata 'Rabbunallah' (Tuhan kami adalah Allah), kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), 'janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.' (QS. Fussilat (41): 30)

Istiqamah (teguh pendirian) pada ayat tersebut di atas bukan sekadar ungkapan atau sikap yang tanpa makna, akan tetapi pernyataan yang membuahkan kekuatan rohaniah (quwwatar-ruhaniah) yang memotivasi sekaligus menumbuh suburkan sikap mental bagi seseorang sehingga pola pikir, pola sikap, dan pola tindaknya betul-betul mencerminkan seseorang yang selalu dekat dengan Allah, beramal karena Allah, merasa disaksikan oleh Allah dan yang dituju ridha Allah.

Pola pikir yang diharapkan selalu baik (positive thinking) dan cerdas, ia tidak pernah berburuk sangka kepada siapa pun, tidak pernah mencari-cari kesalahan siapa pun, dan tidak akan menjatuhkan/menggulingkan siapa pun. Dipegangteguhnya prinsip hidup "mikul duwur, mendem jero" (siapa yang pernah berbuat baik bagi dirinya, maka dia akan dikenang terus dan kebaikannya disampaikan kepada orang lain, dan dijadikannya teladan, sebaliknya siapa yang pernah berkhianat bagi dirinya maka cukup dirinya yang tahu dan berusaha melupakannya dalam-dalam).

Dalam menyikapi kehidupan di mana pun dirinya berada, selalu hati-hati, teliti, disiplin, amanah, ramah, santun, arif, bijaksana, dan toleran. Tindakannya dirasakan bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungannya, sebagaimana yang dipesankan Rasulullah SAW.,
"Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang dalam hidupnya bermanfaat bagi sesama manusia."

Silih asih, silih asah, dan silih asuh, bukan hanya sesanti atau slogan yang hanya cukup dihafal atau ada kesan hanya untuk masyarakat Jawa Barat (Sunda); tetapi harus pula diwujudkan dalam tatanan kehidupan yang bersifat global.

Kita sangat merindukan kehidupan yang diliputi suasana saling memberi tanpa basa basi dan pamrih. Kita sangat mendambakan untaian tindakan saling mempererat, saling memperkokoh, saling memperkuat, saling memajukan, saling mencerdaskan untuk kepentingan bersama tanpa pilih-pilih kasih, pura-pura, dan prasangka. Kita sangat mengharapkan suasana kehidupan yang saling mengingatkan di kala salah, saling menghibur di kala susah atau duka, saling mendukung untuk kemajuan dan keagungan umat dan bangsa, tanpa perasaan luka cedera dan aniaya. Itulah jati diri kita, jati diri sebagai umat dan bangsa yang harus dipelihara sepanjang masa.

Jati diri kita sebagai umat telah diabadikan dalam Al-Qur'an,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kuntum khayra ommatin okhrijat lilnnasi tamuroona bialmaAAroofi watanhawna AAani almunkari watuminoona biAllahi

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran (3): 110)

Atas dasar ayat tersebut, jelas sekali bahwa kita memiliki derajat khaira ummah (sebaik-baik umat). Bahkan pada ayat lain dijelaskan ahsan takwim, yaitu sebaik-baik penciptaan. Akan tetapi, sebaik apa pun suatu derajat kita, jika tidak mampu dan berusaha untuk memelihara jati dirinya, pasti akan berubah statusnya menjadi kebalikannya, yaitu dari khaira ummah menjadi sarru ummah (sejelek-jelek umat) atau fasadul ummah (serusak-rusak umat), ahsan takwim menjadi asfal safilin (nasib yang memprihatinkan).

Ciri-ciri umat yang memiliki derajat khaira ummah atau ahsan takwim yaitu selalu berusaha menjadi manusia rahmatan lil'alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam), yakni manusia yang mampu menebarkan rahmat (kasih sayang, keselamatan) bagi seluruh alam; tidak hanya bagi keselamatan manusia, tetapi juga bagi makhluk-makhluk lainnya yang ada dimuka bumi ini seperti hewan, tumbuhan beserta lingkungan sekitar.

Bukan kebetulan, apabila di Tatar Sunda(Jawa Barat) terdapat sebutan "Siliwangi" yang antara lain diabadikan menjadi nama Kodam, yaitu Kodam III/Siliwangi. Dan menjadi sebuah moto "Siliwangi adalah masyarakat Jawa Barat dan masyarakat Jawa Barat adalah Siliwangi." Hal ini merupakan kata sekaligus kalimat yang penuh makna yang merupakan penjabaran dari jati diri sebagai umat sekaligus sebagai bangsa yang rahmatan lil'alamin.

Siliwangi berasal dari dua kata, yaitu silih = saling, dan wangi (Sunda) = harum. Artinya saling mengharumkan atau saling menebar keharuman. Keharuman bisa bermakna nilai-nilai kebaikan, kejayaan, kemuliaan, keluhuran, atau kesuksesan. Saling mengharumkan atau menebar keharuman bukan berarti sombong, lantaran keharumanya disebut-sebut dan disampaikan kepada orang lain. Akan tetapi, keharuman itu harus disadari dan dimaknai tidak hanya untuk dan milik diri sendiri atau atas dasar usaha sendiri, tetapi berasal dari proses yang melibatkan orang lain, dan keharuman itu harus membuat orang lain menjadi harum.

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh Drs. H. ASEP SODIKIN, MM., perwira pembina mental Kodam III/Siliwangi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 31 Mei 2013 / 21 Rajab 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: