Sejak Selasa (12/10) lalu, jemaah calon haji (calhaj) Indonesia sebagai bagian dari tiga juta jemaah haji mulai "menyerbu" dua kota suci. Mekah dan Madinah memiliki magnet yang luar biasa sehingga setiap Muslimin selalu merindukan mengunjungi Baitullah.
Sesungguhnya ibadah haji merupakan napak tilas dari perjuangan para nabi, dimulai dari nenek moyang manusia--Nabi Adam--, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, hingga Rasulullah SAW. Rangkaian ibadah haji seperti tawaf, sai, wukuf di Padang Arafah, dan melempar jumrah di Mina, mengindikasikan "rute" perjuangan nabi-nabi terdahulu.
Perjalanan haji memang tidak semata-mata sebuah perjalanan wisata, tetapi perjalanan yang disyaratkan dengan penuh makna. Bahkan, di luar rangkaian rukun dan wajib haji pun jemaah masih menambahkannya dengan menelusuri jejak-jejak Rasulullah. "Antara rumahku dan mimbarku adalah taman di antara taman-taman surga." Demikian Rasulullah mengisyaratkan satu tempat istimewa yang kini terletak di salah satu sudut Masjid Nabawi, Madinah. Itulah Raudah. Sebuah tempat yang membuat jemaah haji maupun umrah begitu pasrah. Perjuangan pun harus dilalui agar bisa beribadah di atas tanah yang pernah menjadi pusat kehidupan Rasulullah. Raudah mengisyaratkan dan menjadi salah satu tempat dengan doa-doa akan dikabulkan Allah.
Raudah menjadi incaran setiap jemaah haji, sehingga dipadati dan harus berdesak-desakkan untuk mendapatkan satu "kaveling" di dalamnya. Salat sunah, salat wajib, rangkaian doa, zikir, dan membaca ayat demi ayat Alquran, merupakan ibadah yang bisa dilakukan di Raudah. Bukan hanya Raudah. Setiap jejak kaki para nabi pun berupaya diikuti jemaah haji. Meski tenaga mulai terkuras, semangat yang memancarkan spiritualitas tetap terjaga. Mina, Arafah, dan Muzdalifah menjadi saksi-saksi sejarah akan perjuangan para nabi dalam menegakkan kalimat tauhid. "Subhanallah. Walhamdulillah. Walaa ilaaha illallah wallahu akbar." Gema takbir, tahmid, dan tahlil pun terus menggema ketika jemaah haji mengelilingi Kabah yang dikenal sebagai tawaf. Berjalan penuh sesak, berimpitan, bahkan tak jarang bersenggolan menjadi kenikmatan tersendiri bagi jemaah haji. Bahkan, ketika jari-jari kaki terinjak jemaah lain juga tidak ada amarah karena semua pasrah kepada Sang Pencipta alam semesta.
Lautan manusia bergerak dalam arah sama. Tujuh keliling setiap jemaah harus melangkah mengitari bangunan yang dibalut kain kiswah bersulam benang emas tersebut. Seolah-olah kita juga melangkahkan kaki melintasi tempat-tempat bersejarah, seperti Hajar Aswad, Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, dan sudut rukun Yamani.
Sesekali berjalan saat tawaf terbersit keinginan kuat untuk mencium batu hitam (Hajar Aswad). Akan tetapi tidak perlu dipaksakan. Nabi Muhammad pun mengisyaratkan mencium Hajar Aswad dengan cara melambaikan tangan.
Tawaf melambangkan sebuah proses perjuangan untuk mencapai tujuan. Ke mana pun dan kapan pun kita pergi, tetap terikat dengan sumbu tauhid (laa ilaah illallah) yang dilambangkan dengan Kabah. Tempat itu lah yang menjadi semacam titik pusat gravitasi kesadaran spiritual umat yang bertauhid.
Hendaknya untuk mencapai cita-cita tetap terikat dengan semangat tauhid. Semakin dekat kepada Baitullah, semakin dekat pula jarak tawaf yang harus ditempuh jemaah haji. Perjuangan pun makin berat. Sebaliknya bila tawaf mengambil jarak lebih jauh apalagi di lantai dua dan tiga, maka semakin luas dan panjang jarak yang harus ditempuh.
Tawaf pun dianjurkan untuk tetap dilaksanakan di luar rangkaian haji. Bahkan, tidak ada salat sunah menghormati masjid (tahiyyatul-masjid) di Masjidilharam karena diganti dengan tawaf. Lebih dari itu, tawaf merupakan ibadah yang tidak bisa dilakukan di masjid-masjid lain.
Selepas tawaf, jemaah haji bergeser menuju ke tempat sai (masna). Lari-lari kecil untuk mengejar dua bukit, Safa dan Marwah. Tak lupa kita menghadapkan wajah ke Kabah lalu berdoa dan bertakbir.
Jemaah haji harus mencontoh perjuangan Siti Hajar yang harus berlari-lari antara dua bukit untuk mencari air kehidupan. Dengan perjuangan keras disertai doa yang kuat, akhirnya Allah mengabulkan dengan membukakan mata air yang terkenal yakni zamzam.
Ketika perjuangan dalam ibadah haji hampir usai, kita pun melakukan tawaf wada. Sebuah tawaf yang wajib dilakukan untuk jemaah haji maupun umrah yang akan meninggalkan Kota Mekah.
Ketika putaran ketujuh atau putaran akhir seraya berbisik lirih kita ucapkan, "Ya Allah, bawa daku kembali mengunjungi rumah-Mu ini."***
[Ditulis Oleh KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI Kota Bandung, dosen ITB, Ketua Yayasan Unisba, dan Pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Legi) 4 November 2010 pada Kolom "CIKARACAK"]
0 comments:
Post a Comment