HIDUP KITA ADALAH IBADAH

Banyak definisi yang disampaikan para ulama tentang makna ibadah. Secara bahasa, ibadah itu adalah tunduk dan merendah diri. Seorang hamba sahaya disebut 'abdun karena dia siap mengabdi dan menyerahkan diri kepada majikannya. Semua waktu, aktivitas, hasil usahanya, bahkan dirinya, adalah milik majikannya.

Demikian pula halnya dengan manusia, disebut dengan abdullah (hamba Allah). Manusia seharusnya pasrah dan berserah diri kepada Allah SWT. Apa pun tuntutan Allah sebagai Khaliq (Sang Pencipta), Rabb (Sang Pengurus), dan Raziq (Pemberi Rizki), siap untuk ditaati, baik melaksanakan perintah-Nya maupun meninggalkan larangan-Nya. Bahkan, dalam membaca doa iftitah ketika salat, Kita biasa berdoa, "Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanya karena Allah, Tuhan semesta alam." Manusia menjadi hamba Allah pada prinsipnya akan menjadi golongan orang mulia dan terhormat. Berbeda dengan 'abdun (hamba sahaya), tergolong kepada orang yang hina dan rendah.

Dalam surat Al-Fatihah, yang kita baca sehari-hari, pada ayat kelima, sebenarnya kita sudah berulang-ulang mengikrarkan diri kita dengan ungkapan "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu" (Hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta pertolongan). Sudah ratusan bahkan ribuan kali kita menyatakan diri sebagai abdullah.

Menurut tata bahasa Arab, susunan kalimat "Iyyaka nabudu wa iyyaka nasta'inu" dengan mendahulukan objek ("iyyaka") dari subjek ("na'budu" dan "nasta'inu") mengandung arti pengkhususan "lil hashr." Oleh karena itu, lafadz "iyyaka" diterjemahkan dengan "hanya kepada-Mu."

Dalam ayat itu pula, terjadi pengulangan kata "iyyaka", untuk lafadz "na'budu" dan "nastainu." Padahal dalam susunan biasa, pengulangan tersebut cukup memakai huruf "athaf", seperti "wa" atau "fa" yang berarti dan, yaitu hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah dan kami meminta pertolongan.

Para ulama sepakat untuk berpendapat bahwa pengulangan lafadz "iyyaka" itu memberi arti penekanan. Antara "na'budu" dan "nasta'inu", itu sama-sama penting dan keduanya menjadi kebutuhan manusia. Namun pada kenyataannya, mungkin saja ada orang yang sadar beribadah kepada Allah, tetapi masih meminta pertolongan kepada dukun, paranormal, dan lainnya. Atau mungkin saja, kita meminta pertolongan kepada Allah, seperti saat sedang musim kemarau panjang, di kala ada musibah, ada cobaan, atau ada hajat hidup lainnya. Akan tetapi, kita tidak sadar diri, ternyata kita tidak melaksanakan perintah Allah, baik itu shalat wajib, shalat Jumat, shaum Ramadan, zakat, infak, maupun perintah lainnya.

Padahal dalam surat Al-Fatihah ayat kelima itu, Allah mengajarkan kepada kita tentang kewajiban dan hak asasi manusia. Kewajiban manusia terkandung dalam lafadz "iyyaka na'budu." Sementara hak asasi manusia terkandung dalam lafadz "wa iyya nasta'inu." Beribadah sebagai kewajiban manusia. Manusia dituntut untuk taat dan menyerahkan diri kepada Allah SWT. Istianah sebagai hak asasi manusia, yaitu manusia memohon pertolongan kepada Allah untuk menutupi segala kekurangan dirinya dengan mendapatkan pertolongan Allah SWT.
Beribadah berarti mengerjakan sesuatu untuk dan karena Allah SWT., sedangkan istianah adalah mengharapkan sesuatu dari Allah SWT. Dengan beribadah, kita mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, dan dengan istianah, kita mengharapkan nikmat atau rahmat Allah SWT. Dengan demikian, semakin kuat dan hebat ibadah seseorang, akan semakin besar pula harapannya untuk bisa mendapatkan nikmat dan rahmat Allah SWT. Oleh karena itu, tuntutan menunaikan kewajiban harus didahulukan daripada menuntut hak. Ini sifatnya sangat mutlak !

Imam Ibnu Taimiyyah memberikan definisi ibadah dengan sebuah pengertian, "Ibadah adalah nama yang mencakup segala bentuk yang dicintai serta diridhoi Allah, baik ucapan maupun perbuatan yang tampak atau yang tersembunyi." Pada prinsipnya, ibadah itu dapat disimpulkan dalam beberapa pengertian.
  1. Bentuk pengabdian diri kepada Allah yang disertai keikhlasan dan kesadaran dalam melaksanakannya.
  2. Taat kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
  3. Upaya untuk meraih cinta Allah dan ridho-Nya.
  4. Memenuhi aturan dan ketentuan yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW.
  5. Meliputi seluruh aktivitas manusia, baik ritual maupun sosial.
Dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud disebutkan, apabila seseorang telah selesai makan, kemudian berdoa dengan membaca "Alhamdulillahilladzi ath'amani hadza ath-tha'ama warazagani-hi min ghairi haulin wala quwwatin" (segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan ini kepadaku dan memberi rezeki ini kepadaku tanpa daya dan kekuatan dariku), niscaya akan diampuni dosa yang telah dilakukan dan dosa yang kemudian.

Ini berarti bahwa peluang untuk meraih pahala dalam beribadah sangat banyak, bukan hanya shalat atau shaum. Seandainya kita hanya mengandalkan ibadah shalat, itu tidak akan cukup. Kalau kita menghitung dengan hitungan matematis waktu hidup kita untuk shalat, itu berarti, 1 (satu) kali shalat hanya 5 (lima) menit. Dalam satu malam hanya 25 (dua puluh lima) menit. Dalam sebulan hanya 750 (tujuh ratus lima puluh) menit atau (12,5 jam). Kalau usia kita mencapai 60 (enam puluh) tahun, waktu yang digunakan untuk shalat hanya sekitar 285 hari. Itu pun belum dipotong shalat jamak qasar, lupa, atau belang betong.

Apalagi untuk perempuan, terdapat potongan menstruasi sebanyak 25 persen. Atau ditambah masa nifas setelah melahirkan sebanyak 40 (empat puluh) hari. Kalau mempunyai 5 (lima) anak, berarti terdapat potongan waktu shalat sebanyak 200 (dua ratus) hari.

Sementara untuk waktu tidur itu minimal 8 (delapan) jam per hari. Artinya, sepertiga usia kita dihabiskan untuk tidur. Kalau usia kita 60 (enam puluh) tahun, itu berarti, 20 (dua puluh) tahun dihabiskan untuk tidur saja. Oleh karena itu, siapkanlah seluruh hidup kita untuk beribadah kepada Allah, baik dalam bentuk ibadah ritual maupun yang bersifat sosial lainnya. "Hayatuna kulluha ibadatun." Hidup kita semuanya hanyalah ibadah ! Wallahu a'lam Bishawab.*********

(Ditulis oleh : K.H. ACENG ZAKARIA, Pimpinan Pesantren Persis 99 Rancabango Garut. Disalin dari Harian "Pikiran Rakyat" Edisi Kamis (Pahing) 18 Februari 2010 pada Kolom "Cikaracak")

0 comments: