MENYIKAPI TIBANYA SAFAR

Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Islam atau kalender Hijriah. Safar artinya kosong atau kuning. Dinamakan demikian karena pada bulan kedua ini dahulu semua laki-laki bangsa Arab meninggalkan rumah, ada yang pergi perang, berniaga, atau mengembara sehingga rumah-rumah kosong ditinggal kaum laki-laki.

Dalam menyikapi kehadiran Safar, di kalangan umat Islam masih ada yang terpengaruh tradisi paganisme jahiliah yakni menganggap sial waktu-waktu tertentu. Termasuk menganggap bahwa Safar merupakan bulan sial, bulan nahas, bulan diturunkannya bencana, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya. Masyarakat Arab jahiliah menganggap Safar sebagai bulan penuh kesialan (Shahih Bukhori No. 2380 dan Abu Dawud No. 3915). Sehingga pada bulan ini mereka dilarang mengadakan hajatan atau pekerjaan-pekerjaan penting lainnya karena akan mendatangkan bencana atau kegagalan. Untuk menolak kesialan di bulan ini, mereka melakukan ritual tolak bala dengan cara memanjatkan doa dan mandi di pantai, sungai, atau tempat-tempat keramat tertentu.

Sikap dan perbuatan seperti itu tidak sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan misi yang dibawa Nabi dan Rasul, yakni berdakwah kepada tauhid. Rasulullah SAW. bersabda, "Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Safar." (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad)

Sebagai seorang Muslim sudah sepantasnya mengikis kepercayaan terhadap kesialan pada bulan Safar ini karena bertentangan dengan akidah dan tauhid. Orang yang menganggap Safar adalah bulan sial sama dengan mencela waktu. Rasulullah SAW. bersabda, "Beranggapan sial termasuk kesyirikan (beliau menyebutnya tiga kali)." Lalu beliau bersabda, "Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakal." (HR. Abu Dawud)

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullahu berkata dalam kitab Zaadul Ma’aad (II/354-255), "Memaki masa (waktu) termasuk perbuatan syirik. Sebab, ia memaki masa karena anggapannya bahwa masa dapat memberi manfaat dan mudarat. Di samping anggapan bahwa masa itu zalim karena telah merugikan orang yang tidak pantas dirugikan, memberi orang yang tidak pantas diberi, mengangkat derajat orang yang tidak pantas diangkat derajatnya, menahan orang yang tidak pantas ditahan haknya."

Selanjutnya beliau berkata, "Padahal, hakikatnya Allah yang menciptakan masa itu, Dialah yang memberi dan menahan yang mengangkat dan menurunkan yang memuliakan dan menghinakan, masa sama sekali tidak punya kuasa atas hal tersebut. Jadi, memaki masa sama halnya dengan mencaci Allah. Oleh karena itu, (dia) dianggap telah menyakiti Allah SWT dalam kitab ash-Shahihain, dari hadis Abu Hurairah RA., Rasulullah SAW. bersabda, "Allah Ta’ala berfirman, ’Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia memaki masa, padahal Aku-lah (yang menciptakan) masa’."

Sikap yang harus kita tumbuhkan dalam mengisi Safar ini, antara lain :

Pertama, meyakini bahwa Safar sama dengan bulan-bulan lainnya yang telah Allah SWT. jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat. Menganggap Safar sebagai bulan pembawa sial merupakan perbuatan haram dan syirik karena tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan mudarat kecuali Allah SWT., sebagaimana firmannya,
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Yunus :107)

Kedua, bila musibah menimpa kepada diri kita di bulan ini, harus diyakini semua itu merupakan ketetapan Allah SWT. yang penuh dengan keadilan dan hikmah-Nya. Allah SWT. berfirman,
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
"Katakanlah, ’Sekali-kali tidak akan menimpa kami, melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah : 51)

Ketiga, jika kita membatalkan pekerjaan atau hajatan pada bulan ini, alasannya bukan karena Safar, melainkan karena alasan logis yang tidak bertentangan dengan nilai ketauhidan. Rasulullah SAW. bersabda, "Barangsiapa yang keperluannya tidak dilaksanakan disebabkan berbuat thiyarah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan. Para sahabat bertanya, ’Bagaimanakah cara menghilangkan anggapan (thiyarah) seperti itu ?’ Beliau bersabda, ’Hendaklah engkau mengucapkan (doa), Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali itu datang dari Engkau, tidak ada kejelekan kecuali itu adalah ketetapan dari Engkau, dan tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau’." (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

Keempat, menumbuhkan sikap tawakal kepada Allah SWT. yang disertai usaha dan amal yang tidak bertentangan dengan syariat. Allah SWT. berfirman,
وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
"Dan kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan." (QS. Huud : 123)

Kelima, meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. dengan melakukan berbagai ketaatan, baik dalam melaksanakan perintah-Nya maupun menjauhi larangannya. Dengan ketakwaan, akan menjadi sarana untuk mendapatkan kebahagiaan, keselamatan, dan mampu membedakan yang benar dan batil (furqan).

Akhirnya, marilah kita perkuat fondasi tauhid dengan ilmu dan amal dan bermohon kepada Allah SWT. agar membimbing dan melindungi diri kita dari perbuatan syirik yang akan menelantarkan kita di dunia maupun akhirat.

Wallahu’alam bishawab. ***

[Ditulis Oleh H. MOCH. HISYAM, Ketua DKM Al-Hikmah RW 07 Sarijadi Bandung, anggota Komisi Pendidikan dan Dakwah MUI Kel. Sarijadi, Kec. Sukasari, Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 30 Desember 2010 pada kolom "CIKARACAK"]

0 comments: