BELAJAR TOLERAN

Ada anggapan yang kerap penulis dengar. Mengapa kita bisa toleran dengan non-Muslim, tetapi dengan sesama kaum Muslimin malah tidak bisa toleran? Salah satu wahana tepat dan efektif agar kita bersikap toleran terhadap perbedaan adalah dengan berhaji atau berumrah.

Tidak percaya? Bacalah hasil penelitian bertajuk "Estimating the Impact of the Haj: Religion and Tolerance in Islam's Global Gathering" yang dilakukan Asim Ijaz Khwaja, guru besar pada Kennedy School of Government, Harvard University, bersama Michael R. Kremer dan David Clingingsmith dari Case Western Reserve University.
Penelitian yang dilakukan selama delapan bulan pada 2006 itu menunjukkan, perjalanan haji juga bernilai positif dalam mengembangkan toleransi, menenggang agama dan budaya yang berbeda. Malah ibadah haji tidak hanya bermanfaat dari sisi rohani tetapi juga sosial.

Dalam hipotesis awal penelitian, haji dianggap hanya mengokohkan persatuan dan toleransi di antara umat Islam yang datang dengan berbagai latar belakang budaya, negara, dan kebiasaan yang berbeda-beda. Namun, hasil penelitian justru menunjukkan hal yang berbeda. Haji mengokohkan persatuan umat sekaligus mengikis antipati terhadap non-Muslim.

Studi yang melibatkan 1,600 responden itu juga menunjukkan, haji menjadi salah satu penyokong eksistensi umat Islam di dunia. Ibadah haji juga dinilai mampu meluluhkan sekat-sekat di antara umat Islam.

Hasil penelitian itu sesuai dengan hikmah haji yang ingin ditanamkan Allah dan para Rasul-Nya kepada umat manusia. Dalam Al-Qur'an ditegaskan kaum Muslimin akan mendatangi rumah tua (Kabah) dari seluruh penjuru dunia bahkan dengan kendaraan tua sekali pun. Haji dan umrah merupakan wahana agar manusia melihat kebesaran Allah.

Salah satunya ketika banyaknya perbedaan dalam haji ataupun umrah termasuk dalam tata cara ibadah. Ketika sedang melaksanakan tawaf tidak sedikit perbedaan seperti dalam bacaan tawaf bahkan ada jemaah haji yang cukup mengitari Kabah tujuh kali dengan doa hanya satu, yakni doa sapu jagat. Tawaf seperti itu adalah sah!

Demikian pula ketika melaksanakan shalat pasti ada perbedaan paham. Namun, tidak ada pertengkaran apalagi perkelahian akibat perbedaan dalam memahami sebuah ibadah. Semuanya adem ayem yang berbeda dengan di tanah air karena sering persoalan kecil menjadi rumit dan runyam akibat kurangnya toleransi.

Pada dasarnya ibadah haji dan umrah mencermmkan perjalanan dan gerakan terarah. Dari tawaf, sai, sampai melempar jumrah, hati dan nalar menemukan peran spiritualitas paling nyata. Ketika tawaf mengelilingi Kabah membuat hati kita bergetar. Kabah melambangkan ketetapan dan keabadian Allah. Manusia yang mengelilinginya melambangkan aktivitas dan transisi makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang harus tetap dalam orbit Allah.

Ulama terkenal, Dr. Ali Syariati menyebut ibadah haji sebagai langkah menuju "pembebasan diri", yakni, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati, Allah SWT.

Pakaian model ibadah ihram bukanlah penghinaan, tetapi menuntun manusia mengubur pandangan yang mengukur keunggulan karena kelas, jabatan, kedudukan, ras, ataupun warna kulit. Tawaf memberi pesan tersirat, apa pun yang dilakukan manusia dalam hidupnya hendaknya selalu menjadikan Allah sebagai porosnya. Dalam segala perbuatan hendaknya Allah menjadi tujuan utama, bukan yang lain.

Intinya, ibadah haji dan umrah bukanlah sekadar prosesi lahiriah, tetapi momentum revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagai manusia. Sesudah berhaji, seseorang haruslah menjadi manusia yang lebih lurus hidupnya dibandingkan dengan sebelumnya yang disebut haji mabrur.

Misi Islam adalah rahmatan lil alamin (kerahmatan global) dengan haji/umrah merupakan perjalanan spiritual puncak bagi seorang Muslim. Misi rahmatan lil alamin ini tergambar dengan jelas dalam haji ataupun umrah karena ketika sedang berihram tidak boleh merusak tumbuhan, menyakiti binatang, apalagi sesama manusia. Ihram membuat jemaah haji ataupun umrah tidak diperkenankan berkata dusta, kotor, menumpangkan rasa benci, bertengkar, ataupun perilaku lain yang menodai kesuciannya.

Ketika seorang jemaah haji/umrah sudah tahallul (menghalalkan yang sebelumnya diharamkan) bukan berarti semuanya serba boleh dan serba bebas. Ihram harus menjiwai setiap perilaku dan ucapan kaum Muslimin yang telah berhaji/umrah.

Ketika seseorang pulang berhaji/umrah, semakin memiliki pandangan yang positif dalam kehidupan ini. Mabrur tidak sebatas di Tanah Suci malah sebagian besar di tanah air ketika seorang jemaah haji/umrah sudah pulang ke kampung halamannya. ***

[Ditulis oleh H. RUSTAM SUMARNA, Direktur Biro Perjalanan Haji Plus dan Umrah Khalifah Tour, Jln. Cisangkuy Kota Bandung dan Wakil Ketua Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh). Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Kliwon) 4 Oktober 2011 / 5 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "UMRAH & HAJI"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: