Manusia terlahir atas dorongan syahwat, melalui proses ovulasi yang sah dan halal. Ia tercipta dari sperma yang berhasil membuahi ovum (sel telur) di ovarium.
خُلِقَ مِن مَّاءٍ دَافِقٍ
يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. (QS. Ath-Thariq : 6-7)
Dan membentuk kehidupan baru di rahim. Pertemuan dua sel berlainan inilah yang disebut kawin. Islam menyebutnya nikah, ritus praovulasi yang dibalut dengan nilai-nilai moral dan spiritual agar proses tersebut lebih manusiawi, beradab, dan menjadikan manusia lebih mulia serta berbeda dari makhluk lainnya.
Syahwat atau dorongan biologis merupakah sunatullah yang menjadi modal bagi manusia sebagai khalitfatu fil ardl. Sang Pencipta membekali dan menghiasi hidup manusia dengan syahwat agar mereka mampu memaksimalkan segenap potensi dirinya untuk ber-muamalah ma'al makhluq (bersosialisasi) dan beribadah kepada Al-Khaliq.
Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 14 mengungkapkan pentingnya syahwat bagi manusia,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Telah dihiasi hidup manusia dengan syahwat (dorongan biologis) terhadap wanita, anak-anak, perhiasan, dari jenis emas dan perak, dan kendaraan yang indah dan bagus. Itulah perhiasan hidup di dunia. (Sungguh) di sisi Allah ada tempat kembali yang sangat bagus.
Syahwat yang dimaksud dalam ayat ini bukan hanya dorongan seksual atau hasrat cinta dari seorang laki-laki pada wanita atau sebaliknya, melainkan kekuatan internal yang memotivasi seseorang (motivating / drives) untuk menyukai atau tidak menyukai, berbuat baik atau buruk sebagai respons terhadap rangsang yang diterimanya. Manusia dianugerahi kekuatan rasa cinta terhadap lawan jenis (istri/suami), anak-anak, perhiasan, kekayaan, peliharaan, dan bahkan jabatan. Sumber kekuatan itu adalah hati. Hatilah yang menggerakkan manusia untuk menyukai atau membenci, berbuat baik atau berbuat jahat.
Selain otak (intelektual) —yang tidak diberikan kepada makhluk lain: jin, malaikat, hewan, dan tumbuhan, mengingat tugas yang dipikulnya cukup berat sebagai pengelola, pemelihara, dan penyeimbang kehidupan di muka bumi— manusia pun dianugerahi syahwat sebagai perhiasan sekaligus daya dorong. Dengan syahwatnya, manusia mampu menguasai dunia, lingkungan, dan makhluk lainnya.
Sigmund Freud, tokoh depth psychology dari aliran psiko-analisis berpendapat, syahwat, seks, kebutuhan biologis berperan penting menentukan perilaku manusia. Menurut dia, perilaku manusia ditentukan oleh struktur kepribadiannya yang meliputi tiga unsur yakni dorongan atau kekuatan internal (das es), pengendalian nurani atau aspek psikis (das ich), dan pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang berkaitan dengan moralitas (das uber ich).
Selaku makhluk biologis, pola hidup dan pola pikir manusia akan sangat dipengaruhi oleh hasrat untuk memenuhi kebutuhan seksual, makan, minum, berpakaian bagus, mempunyai penghasilan yang tetap dan banyak, menduduki jabatan yang terhormat, dan mendapatkan pengakuan serta penghormatan. Itu tergambar dari pola pikirnya yang terungkap dalam setiap rangkaian doa yang mereka sampaikan,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Rabb, Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan di akhirat, serta jauhkanlah kami dari siksa api neraka. (QS. Al-Baqarah : 201)
Inilah dorongan internal. Kebutuhan biologis sebagai kebutuhan dasar, tidak hanya dimiliki manusia, tetapi juga dimiliki oleh hewan. Anjing, kucing, harimau, monyet, kuda, ular, bahkan ulat pun mempunyai naluri untuk memenuhi kebutuhan biologis. Binatang juga perlu makan, minum, dan menyalurkan seks. Mereka bisa melakukannya di mana dan kapan saja ketika hasrat itu datang kepada mereka. Binatang bisa makan sambil berdiri, lari, bahkan sambil buang kotoran.
Jika hari ini ada manusia yang berkarakter seperti itu; mengumbar syahwatnya secara membabi buta tanpa kendali, mengumpulkan kekayaan dengan jalan yang tidak halal dan merugikan orang lain, arogan, egois, asal enak sendiri, menyakiti, menzalimi, menindas, menghasut, memfitnah, bahkan membunuh, maka dia tak ubahnya seperti binatang. Demi terpenuhinya hasrat untuk makan, minum, dan kebutuhan seksnya, binatang akan melakukan apa saja tanpa menghiraukan makhluk lain dan lingkungannya, serta rela mempertaruhkan nyawa. Itulah sebabnya dengan sangat tegas Allah mengatakan, orang-orang seperti itu bagaikan binatang dan tempat mereka adalah jahanam. Mereka sudah diberi mata, telinga, dan hati untuk memaknai dan melaksanakan instruksi Allah, tetapi tidak memanfaatkannya secara maksimal.
لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Mereka punya hati tapi tidak bernurani, mereka punya mata tapi tidak melihat, mereka punya telinga tetapi tidak mendengar. Mereka itu seperti binatang, bahkan lebih hina dari itu. (QS. Al-A'raf : 179)
Agar manusia lebih beradab, menurut Freud, manusia memiliki das ich (nurani). Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Ia memiliki kendali bernama nurani, rasa malu, rasa terhormat, das ich!
Dalam bahasa agama (Islam) aspek ini nurani, akhlaqul mahmudah atau akhlak karimah yakni sebuah dorongan internal positif yang dikendalikan dengan ketundukan dan keyakinan terhadap kekuatan lain yang lebih dahsyat, Allah SWT.
Al Ghazali mengatakan, akhlak adalah dorongan batin yang menyebabkan manusia berbuat baik atau buruk. Dorongan baik disebut akhlaqul mahmudah (akhlak baik) dan dorongan buruk disebut akhlaqul madzmumah (akhlak buruk), implementasinya adalah sikap atau perilaku.
Di samping mempertimbangkan nurani dan akhlak, manusia meluluskan berbagai syahwatnya (keinginannya) dengan pengendalian lingkungan sosial, das uber ich, sehingga di samping beradab dia pun menjadi bermoral, beretika, dan menghargai siapa pun yang berada di sekitarnya. Dua rambu sekaligus membatasinya, nurani/akhlaknya dan moralitasnya. Nuraninya akan memproteksi dirinya dari perbuatan buruk agar tetap beradab, sopan, dan manusiawi. Moralitas/etika akan memfilter semua perilaku, cara bicara dan berpikir agar tidak menabrak rambu-rambu sosial sehingga ia akan menjadi mulia, terhormat, terpandang, disiplin, taat aturan, tidak zalim, dan tidak menggasak hak orang lain.
Orang tidak berani berbuat zina atau berhubungan intim dengan istrinya di tempat terbuka; meskipun hasratnya menggebu, karena malu oleh diri sendiri dan malu oleh orang lain, sebab perbuatan itu tidak layak dilakukan manusia. Orang akan berhenti merokok di tempat umum karena ia ingin menghargai diri sendiri dan menghargai hak orang lain, tidak mau merampas hak orang lain. Orang tidak akan gibah, hasut, dan memfitnah karena pertimbangan nurani dan etika; tidak ingin menghinakan diri sendiri dan tidak ingin menghinakan orang lain.
Akhirnya, agama (Islam) berperan sebagai pengendali dan pencerah manusia agar berpikir lebih logis, lebih cerdas, dan tidak mengimplementasikan syahwat; baik yang bekaitan dengan isi perut, kebutuhan pakaian, maupun seksual, secara membabi buta.
Dalam pandangan Islam, syahwat adalah sunnatullah, alat yang bebas nilai. Ia akan berona sesuai dengan sang pemakai. Syahwat akan menghasilkan hal positif manakala dibalut dengan norma agama dan digunakan dengan cara yang positif, terkendali, terarah sesuai dengan rambu nurani (kalbu, akhlak) dan rambu sosial (etika, moral). Dua kendali ini yang bakal menggiring manusia berpijak pada takwanya dan memagarinya agar tidak tergelincir pada fujurnya karena manusia dilahirkan dengan dua sisi.
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
Fa-alhamahaa fujurahaa wa taqwahaa.
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Asy-Syams : 8)
Wallahu a'lam.***
0 comments:
Post a Comment