BUDAYA BERBOHONG

Calon pemimpin bersuara lantang saat kampanye. "Saya akan menyejahterakan masyarakat apabila terpilih." Lalu, dia juga bertekad akan memperhatikan orang-orang yang dipimpinnya.

Banyaknya janji, tekad, atau sejenisnya kerap membuat masyarakat terlena. Apalagi kalau hal itu dibungkus dengan manajemen yang baik. Namun, akhirnya masyarakat ataupun "anak buah" pimpinan itu harus gigit jari ketika harus menghadapi kenyataan. Antara keinginan, janji, maupun tekad yang telah diucapkan dan dituliskan (das sollen), tak sesuai dengan kenyataan (das sein).

Apabila kita merujuk pada ajaran Islam, tentu berbohong bagaimana pun bentuknya adalah dosa. Dalam Islam hanya diperbolehkan berbohong dan dimaafkan dalam tiga kondisi, bohongnya suami pada istri untuk menyenangkan hatinya, bohongnya seseorang pada dua orang yang sedang berselisih agar keduanya rukun kembali, dan bohong kepada musuh dalam peperangan.

Salah satu bahaya berbohong, biasanya akan selalu membawa kebohongan lain untuk menutupi kebohongan pertama. Bahkan Rasulullah sendiri pernah berwasiat pada salah seorang dari suku Badui agar jangan berbohong.

Diceritakan, ada seorang Badui ingin masuk Islam. Dia menemui Rasulullah SAW. dan mengatakan ingin masuk Islam tetapi tak mampu meninggalkan minum keras (khamar) dan berzina. Lalu, Rasulullah berkata, kalau begitu tidak mengapa apabila tak bisa meninggalkan minuman keras dan zina, tetapi syaratnya jangan bohong.

Alhasil, Badui ini justru tak pernah lagi minum khamar dan berzina karena takut berbohong kalau ditanya Rasulullah. Sementara jika dia bicara jujur, hukum Islam siap menanti.

Begitu dahsyat efek dari kebohongan. Perceraian biasanya juga diawali dengan kebohongan. Korupsi juga dilandasi dengan kebohongan. Penipuan sudah jelas buah dari kebohongan. Anehnya, di Indonesia sudah mulai terjangkit tradisi Barat yakni ingin bersatu padu dalam berbohong di bulan April yakni April Mop. Bisa jadi kita menginginkan hal-hal aneh, tetapi seharusnya jangan sampai terjebak kepada kebohongan.

Seseorang bisa berbohong diakibatkan beberapa faktor, seperti karena sedang tertekan, terpengaruh lingkungan, menghindari masalah, membela diri, menipu, memfitnah, menyuap, maupun melakukan pencitraan diri demi meraih jabatan atau kedudukan tertentu. Sayangnya di budaya kita sesuatu berbohong dianggap lumrah dan wajar asalkan tidak menyakiti hati orang lain.

Menurut filsuf Karl Bertens, budaya bangsa Timur melarang seseorang melukai hati orang lain apalagi melukai hati rakyat. Namun, dalam hal tertentu akhirnya berbohong. Berbeda dengan budaya Barat yang umumnya tanpa tedeng aling-aling atau berbicara terbuka apa adanya.

Dalam budaya Barat, berbohong merupakan dosa besar sehingga pemimpin bisa kehilangan kedudukannya apabila berbohong. Berbohong kepada publik merupakan bentuk pencederaan dan menyakiti hati rakyat serta termasuk amoral sehingga tak sungkan-sungkan pemimpin itu mengundurkan diri dari jabatannya.
Seperti yang dilakukan Perdana Menteri Finlandia Anneli Jaatteenmaki, yang merupakan perdana menteri perempuan pertama. Akibat berbohong mengenai informasi perang Irak saat kampanye dan diketahui setelah menjabat, akhirnya Anneli mundur.

"Kalau kepercayaan hilang, berarti posisi juga hilang. Saya telah kehilangan kepercayaan itu. Dan jelas, waktu saya sebagai perdana menteri telah berlalu," ujar Jaatteenmaki saat menyampaikan pengunduran dirinya.

Dengan menjauhkan diri dari berbohong dan menjunjung tinggi kejujuran, membuat Finlandia menempati peringkat pertama sebagai negara tidak terkorup di dunia berdasarkan peringkat majalah The Economist pada tahun 2001. Sementara Indonesia duduk di peringkat ke-88 dari total 91 negara.

Prinsip jangan berbohong dan jangan melukai perasaan begitu dijunjung. Kondisi di bangsa Timur seperti Indonesia lebih mengedepankan aspek kehalusan dengan menghindarkan konflik dan melukai perasaan orang lain meskipun tidak jujur.

Mengutip pakar politik, Yudi Latief (2012) yang menulis, "Pemimpin yang membohongi rakyatnya akan terlihat seperti kebenaran. Kelambanan terkesan kehati-hatian. Ketidak bertanggungjawaban terkesan ketidak intervensian. Ketidak seriusan terkesan kesabaran. Ketidak mampuan terkesan ketergangguan dan penghormatan terkesan sebagai korban."

Berbohong merupakan salah satu sikap munafik. Orang munafik seperti ditegaskan Al-Qur'an posisinya di dasar neraka (fid-darkil-asfali minannaar). Apalagi bagi seorang pemimpin baik pemimpin negara, daerah, yayasan, sekolah, perguruan tinggi, ataupun pemimpin lokal akan sangat berbahaya apabila berbohong. Berbahaya bagi dirinya maupun umat yang dipimpinnya.

Wallahu-alam.***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon), 19 April 2012 / 27 Jumadil Awal 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: