MENJAGA DIRI DARI LUPA

"Manusia terbiasa lupa dan salah (al insanu ma'alul khatha wan nisyari)," demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, manusia harus berupaya, jangan sampai terus-terusan lupa dan berada dalam kesalahan.

Bahkan Allah SWT. melarang manusia agar tidak melupakan banyak hal. Antara lain, melarang manusia menyuruh berlaku baik terhadap orang lain, seraya melupakan keadaan dirinya sendiri. 

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ


Atamuroona alnnasa bialbirri watansawna anfusakum waantum tatloona alkitaba afala taAAqiloona


Apakah patut kamu menyuruh orang lain berbuat baik, sedangkan kamu melupakan dirimu, padahal kamu membaca kitab Allah. Apakah kamu tidak berakal? (QS. Al-Baqarah (2): 44)

Sibuk mengurus keadaan orang lain, mencela dan mencari keburukan orang lain, termasuk satu dari enam sifat yang merusak amal manusia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
"Ada enam perkara yang merusak amal kebaikan manusia. Yaitu, sibuk memperhatikan kesalahan orang lain, hati keras membatu, cinta dunia, sedikit rasa malu, panjang khayalan, dan tak henti berlaku dzalim," (al hadits)

Mencari-cari kesalahan orang lain, akan mengundang saling salah menyalahkan, sehingga menjadi penyebab kerusuhan di tengah masyarakat kuas. Manusia juga dilarang melupakan nasib di dunia, walaupun harus mengutamakan nasib di akhirat kelak. Dalam QS. Al-Qashash (28): 77,

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ


Waibtaghi feema ataka Allahu alddara alakhirata wala tansa naseebaka mina alddunya waahsin kama ahsana Allahu ilayka wala tabghi alfasada fee alardi inna Allaha la yuhibbu almufsideena


Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Dari ayat di atas, Allah SWT. memerintahkan agar manusia mencari kebahagiaan di akhirat, sambil tidak melupakan bagian (kenikmatan) di dunia, dengan tambahan syarat-syarat, harus berbuat baik sebagaimana Allah SWT. telah berbuat baik kepada manusia, dan melarang melakukan perusakan di muka bumi karena sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang pembuat kerusakan.

Para ahli tafsir menyebutkan, konsentrasi terbesar manusia selama hidup di dunia adalah untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat. Sementara untuk mereguk kenikmatan dunia, cukup dengan ukuran sekadar jangan lupa saja. La tansya nasibaka minad dunya. Tegasnya tidak berlebihan. Bahkan itu pun disertai syarat, harus berbuat amal kebaikan kepada sesama makhluk, karena Allah SWT. telah berlaku baik terhadap manusia, mulai dari masa penciptaan manusia dalam bentuk seindah-indahnya (QS. At-Tin (95): 4), sempurna dan seimbang (QS. Al-Infithar (82): 7), serta menjauhi perbuatan merusak di muka bumi, yang amat tidak disukai-Nya.

Maka setiap Muslim yang beriman, memiliki kewajiban untuk tidak melupakan bagian di dunia. Harus berusaha sekuat tenaga agar mampu mandiri, menjauhi ketergantungan kepada orang lain, baik secara individual, maupun massal. Namun, harus tetap memperhatikan batas-batas yang ditentukan oleh aturan Islam (syar'i).

Selain itu juga dilarang melupakan kebaikan orang lain. Hidup adalah kesatuan tak terpisahkan dari gotong-royong, saling mendukung, memberi-menerima, saling lengkap melengkapi satu sama lain.

وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ


wala tansawoo alfadla baynakum inna Allaha bima taAAmaloona baseerun


Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah (2): 237)

Bahkan bantuan itu sering datang dari kalangan lemah dan papa. Para petinggi negeri, baik di legislatif maupun eksekutif, mustahil dapat menduduki jabatan empuk, gaji tinggi, dll., tanpa mendapat "suara" dari pemegang hak pilih yang mayoritas warga kecil. Benar sekali sabda Nabi SAW.
"Kalian tidak akan dibantu, dibela, dan diberi rezeki, melainkan karena bantuan orang-orang lemah di antara kalian." (al hadits)
 
Tidak akan ada presiden, gubernur, walikota, bupati, anggota DPR/DPRD, jika tidak ada kebaikan dari rakyat yang mendukung mereka. Dengan demikian, Allah SWT. mengingatkan, dengan ayat di atas, janganlah melupakan kebaikan dan bantuan orang lain. Terutama khalayak banyak yang mayoritas "kaum jelata".

Dilarang pula melupakan kesalahan diri sendiri. Melupakan kesalahan diri sendiri pun merupakan perbuatan dzalim. Para ulama salafus shalihin mengutarakan, perbuatan dzalim terdiri atas tiga macam.
  • Dzalim kepada Allah SWT., dengan menentang perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya.  
  • Dzalim kepada sesama makhluk, dengan melakukan perbuatan merugikan orang atau makhluk lain.
  • Dzalim terhadap diri sendiri, dengan mengekang hak dan kewajiban dirinya sendiri untuk beriman kepada Allah SWT. dan beramal saleh kepada sesama manusia.
Apalagi jika kesalahan diri sendiri itu ditutupi dengan mencari-cari kesalahan orang lain. Mencari "kambing hitam" dan pengalihan persoalan, agar dirinya selamat dan bersih. Padahal justru menambah kekotoran, karena ia telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. ***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM., Pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk Garut, pembimbing Haji dan Umrah Mega Citra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 25 Juli 2013 / 16 Ramadhan 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: