لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوا وَّيُحِبُّونَ أَن
يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ
الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
La tahsabanna allatheena yafrahoona bima ataw wayuhibboona an yuhmadoo bima lam yafAAaloo fala tahsabannahum bimafazatin mina alAAathabi walahum AAathabun aleemun
Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. (QS. Ali Imram (3): 188)
Pada dasarnya manusia itu paling tidak suka dikritik terutama kritikan yang akan menunjukkan kelemahan dan kekurangan dirinya, apalagi kesalahannya. Kritikan-kritikan semacam itu sungguh kontraproduktif dengan kecenderungan syahwat manusia. Manusia itu paling suka dipuji dan disanjung bahkan sampai pada perkara yang sebenamya tidak dimilikinya atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Pemimpin atau pejabat yang ikhlas, jernih dalam berpikir serta menyadari kepemimpinan serta jabatannya itu merupakan amanat yang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Yang Mahaadil. Tegasnya pemimpin yang diberi hikmah oleh Allah SWT. tentulah akan senang dan berterimakasih apabila masih ada orang yang memberikan perhatian meskipun dalam bentuk kritik. Pemimpin yang bijak akan menerima bahkan menikmati kritik itu seraya berintrospeksi dan berevaluasi, barang kali dalam dirinya masih terdapat kekurangan atau kesalahan yang dapat diperbaiki.
Pemimpin-pemimpin besar Islam, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abu Thalib yang mereka itu disebut khulafaurrasyidin, mereka paling suka apabila ada umat, kawan atau lawan yang sudi memberikan kritikan kepada mereka. Bahkan mereka pada khutbatul arsy, yaitu khotbah pada saat mereka disahkan sebagai pemimpin umat Islam, rata-rata mendahulukan pernyataan bahwa, "Saya dipercaya memimpin kalian bukan berarti sayalah yang terbaik, jika saya berada di jalan yang benar maka tolong dan dukunglah saya, tetapi apabila saya berada di dalam kebatilan maka tegurlah dan luruskanlah saya."
Mereka, para khulafaurrasyidin menyadari dengan ikhlas bahwa di hadapan Allah SWT. di yaumul akhir, setiap yang didzalimi akan menudingkan telunjuknya terhadap pelaku yang mendzalimi dirinya dan mengadukannya kepada Allah SWT. Maka yang tidak mengindahkan peringatan ini, hanyalah jiwa-jiwa dengan mental sakit.
Bagi pemimpin yang bijak yang mampu berpikir jernih tidak menjadi masalah apapun kritikan yang ditujukan kepada dirinya, ia sadar bahwa dirinya bukanlah yang paling tahu, paling tinggi ilmunya, apalagi menganggap dirinya tidak mungkin berbuat salah. Ia pun akan mampu mencari kebaikan dan setiap hikmah di balik kritikan, demi kepemimpinan atau jabatan yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan umat dan di hadapan Allah Rabbul alamin.
Allah SWT. berfirman,
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
wafawqa kulli thee AAilmin AAaleemun
Dan di atas tiap-tiap yang berpengetahuan itu ada Yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf (12): 76)
Dan ayat ini pulalah yang dibacakan oleh Ali bin Abu Thalib ketika seseorang menyampaikan kritikan terhadap kebijakan yang telah ditetapkannya. Adapun pujian, hanya Allah yang layak menerima pujian. Sementara manusia adalah gudangnya kesalahan dan kekurangan, sehingga pujian yang ditujukan kepada dirinya sering kali bila diterima dengan sombong dan pongah, senang dan gembira yang berlebihan, akibatnya pujian itu menjadi racun yang merusak bahkan mematikan keikhlasan dan kejelian dalam kepemimpinan. Bila sudah demikian keadaaannya, hilanglah kecermatan, kehati-hatian dan ketelitian, hilang pula kemampuan mencerna setiap krtitikan untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan.
Dalam keadaan demikian, dapat dibayangkan seseorang yang sedang betah dan terlena menduduki kursi kepemimpinan atau suatu jabatan, tentulah setiap kritikan atau yang sebenamya hanya berupa sebuah saran akan diterima sebagai sesuatu yang akan mengoyang kedudukan, merusak kenikmatan dan akhirnya selalu berprasangka buruk walaupun kepada yang berniat baik.
Biasanya pemimpin atau pejabat yang demikian akan sangat suka bila pembantu-pembantu atau para pejabat di bawahnya itu para penjilat yang senantiasa mengucapkan, "yes sir," dan tidak pernah mengucapkan, "no sir," karena dari bawahan seperti ini akan senantiasa mengalirkan pujian-pujian dan sanjungan-sanjungan yang sebenarnya terus meracuni dirinya. Akhirnya korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sangat lengkap karena berada di bawah kepemimpinan seperti itulah dapat hidup dengan subur. Para bawahan merasa bersalah bila berbuat benar untuk rakyat karena harus berhadapan dengan iklim kepemimpinan yang salah.
Oleh karena itu, bergembira dan berbahagialah bila masih banyak kritikan diarahkan kepada para pemimpin. Hal itu berarti masih terbuka pintu komunikasi dan menjadi obat penawar atas kekurangan dalam mengemban kepemimpinan. Tetapi curigalah bila terlalu banyak sanjungan, karena pasti akan mengelabui pintu mata, hati, telinga, dan nurani.
Pemimpin yang berbahagia itu adalah yang tidak terlambat menyadari kekurangan dan kesalahan dirinya seraya memperbaikinya dengan cepat, tepat, dan penuh kebijaksanaan. Kita wajib senantiasa teringat akan Firman Allah SWT.
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ
يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ
لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Qul innama harrama rabbiya alfawahisha ma thahara minha wama batana waalithma waalbaghya bighayri alhaqqi waan tushrikoo biAllahi ma lam yunazzil bihi sultanan waan taqooloo AAala Allahi ma la taAAlamoona Walikulli ommatin ajalun faitha jaa ajaluhum la yastakhiroona saAAatan wala yastaqdimoona
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. Al-A'raf (7): 33-34)
Wallahu'alam. ***
[Ditulis oleh WAWAN SHOFWAN SHALEHUDDIN, Ketua Bidang Dakwah PP. Persis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 4 Juli 2013 / 25 Saban 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK']
by
0 comments:
Post a Comment