Salah satu kitab hadits yang terkenal adalah Sunan Abi Dawud yang ditulis oleh Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Beliau merupakan seorang ulama ahli hadits dan selama hidupnya telah mengumpulkan hadits dari Nabi Muhammad SAW. sebanyak 500.000 hadits. Dari jumlah tersebut, beliau kemudian mengklasifikasikan antara hadits sahih, hadits hasan, dan hadits dhaif, serta memilihnya dalam kitab Sunan Abu Dawud menjadi 4.800 hadits.
Berikut ini 4 (empat) hadits yang dipilih oleh Imam Abu Dawud serta terdapat dalam Sunan Abi Dawud untuk dijadikan sebagai prinsip hidup seorang Muslim.
Pertama, landasilah seluruh aktivitas hidup kita dengan nawai tu lillaahi ta'aala. Imam Abu Dawud mengutip hadis Nabi Mumammad SAW. yang berbunyi, "Sesungguhnya, nilai amal itu adalah tergantung niatnya, dan setiap orang pasti mendapatkan (pahala) dari apa yang ia niatkan." Menurut Imam Abu Dawud, hadits ini hendaklah dijadikan dasar dalam segala aktivitas kita. Dengan pengertian bahwa nilai amal perbuatan itu adalah bergantung pada niatnya. Bisa saja satu pemberian akan mendapatkan pahala bila diniatkan karena Allah SWT., tetapi bisa juga pemberian itu mendapatkan siksa jika ia memberikannya dengan tujuan untuk menyuap. Bisa saja dengan tidur siang seseorang mendapatkan pahala, karena dengan tidurnya, ia niatkan agar nanti malam segar dan tidak mengantuk untuk mendengarkan pengajian. Akan tetapi, bisa juga dengan tidurnya, ia mendapatkan siksa karena ia berniat agar nanti malam tidak mengantuk untuk melakukan pencurian. Dengan nawaitu lillaahi ta'aala, Insya Allah segala aktivitas kita akan bermakna dan sekaligus mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Kedua, tingkatkanlah prestasi hidup kita. Dalam hal ini, Imam Abu Dawud mengutip hadits Nabi Muhammad SAW., "Sebaik-baik keislaman seseorang, tinggalkan apa-apa yang sekiranya tidak bermanfaat bagi dirinya." Hadits ini dijadikan oleh Imam Abu Dawud sebagai bahan mawas diri (introspeksi) sekaligus meningkatkan prestasi seseorang, yaitu dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat untuk diri, keluarga, atau agama. Sebagai contoh, melakukan aktivitas tak bermanfaat semalam suntuk, apa yang akan diraih ? la tidak memperoleh keuntungan dunia, tidak juga meraih keuntungan akhirat. Padahal, waktu yang ia gunakan bisa mencapai empat sampai lima jam, bahkan lebih. Kalau dengan waktu itu ia gunakan untuk belajar, ia akan meraih ilmu yang banyak. Atau, ia gunakan untuk bekerja atau lembur, tentu ia akan meraih uang atau keuntungan dunia. Oleh karena itu, hadits tersebut mengingatkan kita agar modal waktu yang kita miliki selama 24 jam setiap harinya, benar-benar digunakan untuk kegiatan yang bermanfaat. Kalau hadits ini dijadikan acuan dan pedoman, tentu saja tidak akan banyak terjadi pengangguran dan pemborosan.
Ketiga, cintailah orang lain seperti mencintai dirimu sendiri. Imam Abu Dawud mengutip hadits Nabi Muhammad SAW., "Seorang Mukmin tidak akan menjadi Mukmin yang baik sampai ia suka atau cinta terhadap saudaranya, seperti mencintai dirinya sendiri." Manusia sebagai makhluk sosial tentu saja tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan dan dukungan orang lain. Orang kaya sekalipun tidak mungkin bisa hidup sendiri. Bahkan, semakin bertambah harta dan kekayaan seseorang, justru bertambah banyak pula kebutuhan akanbantuan dari yang miskin. Demikian juga dengan bertambah tinggi pangkat dan jabatan seseorang, akan bertambah pula kebutuhan akan bantuan, dukungan,dan suara rakyat. Oleh karena itu, hendaklah disadari bahwa di balik kelebihan dan keistimewaan seseorang, ada juga kelemahannya. Dengan demikian, seseorang jangan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain, karena siapa tahu di kemudian hari ia akan membutuhkan bantuan orang lain.
Keempat, tinggalkanlah perkara yang subhat apalagi yang haram. Setiap manusia tentu saja tidak dapat melepaskan interaksi sosial, baik dalam hubungan bisnis maupun hubungan yang lainnya. Dalam hal ini, Imam Abu Dawud mengutip hadis Nabi Muhammad SAW., "Yang halal telah jelas (halalnya), yang haram pun telah jelas (haramnya), tetapi di antara keduanya, ada perkara-perkara yang masih subhat (sama, tidak pasti halal tetapi juga tidak pasti haram). Barangsiapa yang menjaga diri dari perkara yang subhat, sesungguhnya dia sudah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang tergelincir dalam perkara subhat, berarti dia telah jatuh kepada haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembala ternaknya di sekitar tanah perbatasan, sedikit-sedikit ia akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah, setiap pemilik tanah punya batasannya. Ketahuilah bahwa batasan (larangan) Allah adalah hal yang diharamkan. Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila baik, seluruh tubuh akan baik. Apabila rusak, seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah hati manusia." Hadits ini mengingatkan kita bahwa berhati-hatilah dalam mencari harta. Jangankan yang haram, yang subhat pun lebih baik ditinggalkan, untuk lebih menjaga kemurnian agama dan harga dirinya. Dengan meninggalkan yang haram, berarti tidak akan ada pihak yang dirugikan. Dengan demikian, akan terciptalah keamanan, kedamaian, dan ketenteraman hidup, karena satu sama lain tidak akan melanggar ketentuan yang ada, dan akan senantiasa menghargai yang lain yang berbeda keahlian dan kemampuannya. Jika seseorang sudah tidak berpikir halal atau haram dalam peraihan harta dan jabatan, tentu saja ini akan menjadi bencana dan malapetaka yang besar, yaitu timbulnya pencurian, pemalsuan, penipuan, dan berbagai tindak kezaliman yang lain, seperti korupsi, kolusi, dan yang lainnya. Dan dengan merajalelanya perbuatan-perbuatan seperti itu, maka dunia ini akan terasa sebagai neraka.***
(Sebagaimana disalin dari HU "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 21 Januari 2010 pada Artikel “CIKARACAK” ditulis oleh KH. Aceng Zakaria)
0 comments:
Post a Comment