Pada suatu malam Sultan Harun al-Rasyid mengajak tangan kanannya, al-Abbas, untuk berziarah mengunjungi seorang ulama besar, Fudhail bin 'lyadh di rumahnya. Tiba di depan pintu rumah ulama yang sederhana itu, kedengaran oleh sultan dan ajudannya suara Fudhail bin 'lyadh sedang mengaji Al-Qur'an, persis pada saat ulama tersohor itu sampai ayat Al-Qur'an yang berbunyi, "Apakah orang yang beriman sama dengan orang yang durhaka ? Mereka tidak sama" yakni penggalan dari surat Hamim As-Sajdah.
Sultan tertunduk dan berbicara kepada al-Abbas, "Andaikata kita dapat mengambil hikmah dari bunyi ayat tadi, sungguh akan besar manfaatnya buat kita, bukan ?" Al-Abbas mengangguk, seolah merasa tersindir, bukan oleh ucapan Sultan, tetapi oleh bacaan Fudhail bin 'lyadh. la agak mendongkol pada waktu memanggil dengan suara keras, "Hai Fudhail, Raja datang bertamu, keluarlah Engkau !" Ulama yang wara' itu menjawab dari dalam, "Apa Sultan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh ulama di saat-saat seperti sekarang, sehingga Sultan bertamu malam-malam ?"
Fudhail tidak mau keluar. la hanya membukakan pintu, lalu duduk kembali di atas alas sembahyangnya setelah cepat-cepat mematikan lampu sampai ruangan berubah gelap gulita. Sultan masuk terantuk-antuk. la meraba-raba di mana Fudhail berada. Ketika tangan Sultan menyentuh badannya, Fudhail berkata, "Alangkah halusnya tangan Sultan di dalam gelap."
Raja tersindir. la sadar, memang selama ini kelembutannya seakan-akan hanya tampak di tempat gelap, pada saat orang lain tidak melihat apa yang sebenarnya sering dilakukan di luar pengetahuan rakyatnya. la gemetar, apalagi ketika Fudhail melanjutkan ucapannya, "Sayang, tangan sehalus ini belum tentu selamat dari jilatan api neraka."
Ucapan ini masih diteruskan dengan tegurannya tanpa takut-takut, "Wahai Sultan, hendaknya engkau bersiap-siap apabila tiba masanya diminta pertanggung-jawaban di hadapan Allah beserta rakyat yang kau pimpin. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa di antara mereka yang paling keras dipertanyakan dalam pengadilan mahkamah Allah adalah penguasa yang mengambil haknya dari rakyat, tetapi dirinya tidak memberi manfaat kepada rakyat dan tidak sanggup melindungi mereka dari kedazliman atau aniaya, yaitu raja yang dipatuhi oleh rakyatnya namun tidak memperlakukan sama antara yang kuat dengan yang lemah, tidak berlaku adil antara yang besar dengan yang kecil, serta kalau berbicara semaunya sendiri, hanya berdasarkan hawa nafsu belaka ?"
Mendengar perkataan Fudhail itu, Sultan menangis tersedu-sedu, menyadari besarnya beban amanat yang harus dipikulnya, dan alangkah dahsyat petaka yang akan menimpanya seandainya ia tidak dapat menunaikan kewajibannya secara adil dan jujur.
Al-Abbas menegur marah melihat atasannya bersedih hati, "Hai Fudhail ! Hentikan ocehanmu ! Apakah engkau akan membunuh Sultan ?"
Fudhail memotong sama kerasnya, "Hai Haman, pembantu Fir'aun! Engkau dan konco-koncomu kaum penjilatlah yang sebenarnya hendak membunuh Sultan."
Harun al-Rasyid bertanya lirih, "Wahai Guru yang budiman, engkau tak kan menyebut al-Abbas pembantuku dengan nama Haman kalau engkau tidak menganggap aku sama dengan Fir'aun."
Fudhail tidak menjawab. Lantas Sultan berkata pula, "Wahai Guru yang baik ! Terimalah hadiah saya sebesar seribu dinar yang dibawa oleh al-Abbas ini. Ambillah !"
Cepat Fudhail memotong, "Tidak ! Saya tidak mau menerima hadiahmu karena saya tahu uang tersebut bukan benar-benar milikmu. Kembalikanlah seribu dinar itu kepada orang-orang dari mana engkau telah mengambilnya."
Sultan pun berdiri, dan dengan kecewa tetapi telah memperoleh peringatan yang berguna, Harun al-Rasyid lalu meninggalkan Fudhail yang beberapa lama kemudian telah kembali membaca Al-Qur'an dan melakukan muthala'ah hingga jauh malam.
Wallahu A'lam Bish-Shawab.
[Disalin dari Buletin Da'wah "AL-FATIHAH" Edisi 273 Tahun ke-7 2010 M./ 1431 H.]
0 comments:
Post a Comment