أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. (QS. At Takatsur: 1-2)
Perilaku sebagian anggota DPR yang "terhormat" belakangan ini terus menjadi sorotan, mulai kasus korupsinya yang tiada habis-habisnya, kerja yang suka membolos, sampai gaya hidup mewah ala selebriti. Di tengah-tengah kondisi masyarakat yang masih terus dililit oleh kemiskinan, di mana sebagian besar rakyat kita masih susah cari makan, memang tidak sepantasnya para pejabat dan pemimpin negeri ini mempertontonkan gaya hidup hedonisme, karena akan melukai hati dan perasaan masyarakat banyak. Justru di tengah keterpurukan masyarakat, para pemimpin seharusnya berjuang keras dengan segala kekuasaannya yang ada, untuk memperjuangkan nasib rakyatnya, serta memberi teladan yang baik tentang pola hidup sederhana.
Rasulullah SAW. adalah sosok pemimpin yang mempunyai akhlak yang paling sempurna, di antaranya tentang kesederhanaan hidup beliau. Amru bin Harith meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. ketika wafat tidak meninggalkan dinar, dirham, hamba sahaya lelaki atau perempuan, dan tiada sesuatu apa pun, kecuali keledai yang putih yang biasa dikendarainya dan sebidang tanah yang disedekahkan untuk kepentingan orang rantau. (Bukhari)
Rasulullah SAW. selama hidupnya adalah seorang pribadi yang paling sederhana dalam menjalani kehidupannya. Meskipun memiliki kekuasaan yang besar, tak tebersit dalam diri beliau memanfaatkannya untuk memiliki harta berlimpah. Kesederhanaan Rasulullah SAW. tidak sebatas pada sikapnya yang memang sangat sederhana, tetapi juga pada apa yang dimilikinya.
Rasulullah SAW. bersabda,
"Tiada hak bagi seorang anak Adam dalam semua hal ini, kecuali rumah tempat tinggal, baju yang menutup auratnya, roti kering, dan air." (Tarmidzi)
Dalam kehidupan dunia yang cenderung semakin materialistis ini, sikap hidup sederhana adalah sesuatu yang langka. Hidup sederhana, mencerminkan kerendahan hati. Kerendahan hati akan menghantarkan kebahagiaan. Di hari perhitungan kelak, seorang mukmin akan ditanya tentang hartanya dari dua sisi: dari mana diperoleh, lalu bagaimana dibelanjakannya. Seperti sabda Nabi SAW.,
"Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga ditanyakan tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa? Ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya? Harta bendanya; dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan? Badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?" (HR. at-Tirmidzy, ath-Thabrany, dan disahihkan oleh al-Albani)
Dan di zaman yang serba materialistis ini pula, orang cenderung mempertontonkan kemewahan dan berlebihan dengan apa yang mereka miliki. Mereka berlomba-lomba menumpuk harta dan kekayaan, seakan tidak puas dengan apa yang telah mereka miliki. Perilaku di atas seringkali menjerumuskan manusia pada perilaku-perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam. Ketika manusia cenderung berperilaku berlebih-lebihan, sering kali manusia dibutakan matanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan berupa tindakan korupsi dan bentuk kejahatan lainnya, dan itu yang sering terjadi di negeri ini.
Bila demikian adanya, tidak mengherankan bila Islam telah mengajarkan kepada umatnya metode pembelanjaan harta yang benar. Di antara syariat tersebut ialah dengan menempuh hidup sederhana, jauh dari sifat kikir, dan jauh dari berlebih-lebihan.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur'an,
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqan: 67)
Apabila dibiarkan terus, para pejabat dan pemimpin negeri ini, serta orang-orang yang mampu untuk memamerkan kekayaannya, sedangkan di satu sisi lain masih banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, tidak mustahil akan timbul kecemburuan sosial. Pada akhirnya, akan timbul keresahan sosial yang bisa berdampak pada stabilitas nasional.
Esensi dari kesederhanaan adalah adanya rasa cukup pada dirinya dengan apa yang diterimanya. Hidup sederhana adalah hidup tidak berlebih-lebihan, tidak bersikap mempertontonkan kemewahan di kalangan khalayak. Hidup sederhana juga berarti ada sifat kanaah dan senantiasa berlaku adil serta mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Sebagaimana dicontohkah oleh Abdurrahman bin Auf, sahabat yang kaya raya, tetapi tetap zuhud dan kanaah. Dengan kesederhanaannya itu, beliau hidup secara proporsional, menempatkan sesuatu pada tempatnya, menggunakan harta yang dimilikinya untuk kepentingan dan kemaslahatan umat, senantiasa berinfak dan berzakat.
Firman Allah SWT.,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid : 20)
Orang yang sederhana dalam penampilan dan gaya hidup kesehariannya merupakan titik tolak kesadaran tinggi hidup bersosial. Dengan demikian, sikap atau gaya hidup berlebihan, glamor, dan sombong, adalah lawan yang harus dimusnahkan dalam sikap hidup keseharian seorang mukmin. Orang yang suka berlebih-lebihan merupakan tanda sikap individualistik, yang hanya mementingkan diri sendiri, tanpa memedulikan nasib orang lain di sekitarnya. Gaya hidup berlebih-lebihan inilah yang sering Allah SWT. kecam dalam Al-Qur'an. Sikap ini adalah awal bencana dalam kehidupan sosial. Jika dalam diri seseorang telah tertanam ambisi untuk memperkaya diri sendiri, ia akan sangat mudah terseret untuk menghalalkan segala cara demi meraih apa yang dicita-citakan. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan sosial. Dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar. Orang akan makin asyik dengan perilaku negatif yang dilakukannya. Akhirnya, jika gaya hidup berlebih-lebihan terus dipupuk, lambat laun ia akan menjadi budaya yang berakar kuat dan sulit dicabut.
Dalam berperilaku hidup sederhana, bukan berarti tidak diperkenankan memiliki harta kekayaan, tetapi dalam hak kepemilikan harta kekayaan harus didapatkannya sesuai dengan aturan yang digariskan dalam syariah, terutama yang halalan thoyyiba, bersih dari suap-menyuap, terhindar dari segala bentuk batil dan kefasikan, atau jauh dari norma-norma Islam, tidak cacat secara syar'i, tidak ada kerakusan.
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, sudah selayaknya kita mengedepankan hidup sederhana dengan berperilaku hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam kepemilikan, dan senantiasa mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.***
0 comments:
Post a Comment