Umar bin Khattab RA. pernah berkata, "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalanmu sebelum ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah menghadapi hari akhir (hari perhitungan)."
Seolah telah menjadi makanan lezat sehari-hari, gibah akan aib adalah roti manis santapan kita ketika sarapan pagi di rumah, menu utama ketika makan siang, dan pengiring yang paling asyik sebelum kita memejamkan mata di atas tempat tidur. Rasanya aktivitas sehari-hari merasa tidak sempurna kalau tidak membicarakan kejelekan, keburukan, dan kelemahan orang lain. Hal ini diperkuat dengan tayangan-tayangan infotainment yang nyata-nyata telah menggiring kita untuk menciptakan lingkungan rumah, sekolah, kantor, kantin, dan tempat kita berkumpul sebagai ruangan gibah yang mengasyikkan.
Rusaknya hubungan antara kita, sesama Muslim, biasanya lebih banyak disebabkan oleh ketidakmampuan kita menghargai urusan pribadi saudara kita. Ketidakmampuan ini ditandai dengan mudahnya kita mengusik, mengganggu, sampai kepada menggunjing aib sesama saudaranya sendiri. Rasanya mulut kita gatal jika tidak membicarakan keburukan perilaku tetangga kita. Telinga kita terasa kaku jika tidak mendengarkan gosip-gosip aktual seputar kejelekan teman kerja kita. Semua itu membuat kita sibuk mengurus aib orang lain. Sementara kita lupa akan aib-aib kita sendiri.
Seolah telah menjadi makanan lezat sehari-hari, gibah akan aib adalah roti manis santapan kita ketika sarapan pagi di rumah, menu utama ketika makan siang, dan pengiring yang paling asyik sebelum kita memejamkan mata di atas tempat tidur. Rasanya aktivitas sehari-hari merasa tidak sempurna kalau tidak membicarakan kejelekan, keburukan, dan kelemahan orang lain. Hal ini diperkuat dengan tayangan-tayangan infotainment yang nyata-nyata telah menggiring kita untuk menciptakan lingkungan rumah, sekolah, kantor, kantin, dan tempat kita berkumpul sebagai ruangan gibah yang mengasyikkan.
Parahnya lagi, jika seluruh hidup kita dipakai untuk mengurus aib-aib orang lain, tetapi melupakan aib diri sendiri. Padahal, Rasulullah SAW. telah mengingatkan,
"Orang pandai adalah orang yang bisa menghisab (mengevaluasi) dirinya senidri dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan serta berangan-angan terhadap Allah SWT." (HR Tirmidzi)
Oleh karena itu, alangkah baiknya sebelum kita sibuk mengurus, menilai, dan mengoreksi orang lain, lebih baik kita mengurus, menilai, dan mengintrospeksi diri sendiri terlebih dahulu. Sikap ini akan memudahkan kita mengidentifikasi aib-aib yang terdapat dalam diri kita. Siapapun yang selalu mengintrospeksi dirinya, maka dia akan mengenal dan mengetahui kesalahan, kelemahan, cacat, dan penyakit yang ada dalam dirinya. Setelah mengetahui keadaan dirinya, dia berusaha memperbaikinya, mengobati penyakit jiwanya serta melakukan amal-amal saleh, memperbaiki kesalahan, dan tidak mengulanginya lagi.
Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah dalam kitabnya Ruhul Ma'ani mengatakan, setiap perbuatan manusia yang telah dilakukan pada masa lalu, mencerminkan perbuatan dia untuk persiapan di akhirat kelak. Karena hidup di dunia bagaikan satu hari dan keesokan harinya merupakan hari akhirat, merugilah manusia yang tidak mengetahui tujuan utamanya.
Cermin yang paling baik adalah masa lalu. Setiap diri kita memiliki masa lalu yang baik ataupun buruk, dan sebaik-baik kita adalah selalu mengevaluasi dengan bermuhasabah diri dalam setiap perbuatan yang telah dilakukan agar dapat mengambil hikmahnya. Sebagaimana dalam sebuah ungkapan yang sangat terkenal, Rasulullah SAW. bersabda,
"Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari yang lalu, dialah orang yang beruntung, tetapi siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia orang yang tertipu, dan siapa yang hari ini lebih buruk daripada hari kemarin maka dialah orang yang terlaknat."
Introspeksi (muhasabah) diri akan melahirkan rasa malu terhadap Allah SWT. Ia malu jika berbuat dosa dan maksiat. Malu inilah yang menyebabkan ia berhati-hati dalam perkataan dan perbuatan. Rasa malu ini juga yang membuatnya menjaga dan meningkatkan kualitas ibadahnya dan meninggalkan segala bentuk larangan Allah SWT. Ia malu jika sombong, ia malu jika dengki, ia malu jika riya, dan ia malu jika amalnya tidak ikhlas karena Allah SWT.
Malu ini sesuatu yang sangat penting, karena ia termasuk dalam keimanan. Perhatikan hadits berikut ini. Rasulullah SAW. melewati seorang anshor yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu. Rasulullah pun bersabda,
"Biarkanlah ia memiliki rasa malu karena malu itu termasuk dalam keimanan." (HR. Bukhori dan Muslim)
Bahkan lebih dari itu, dalam hadits lain dinyatakan,
"Iman dan rasa malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Bila rasa malu tidak ada, maka iman pun akan sirna." (HR. Al Hakim)
Ada beberapa hal yang dianggap penting sebagai penguat dalam melakukan introspeksi (muhasabah) diri.
Pertama, mu'ahadah (berjanji). Maksudnya, introspeksi diri yang kita lakukan akan termonitor bila kita senantiasa mengingat janji-janji kita terhadap Allah dan terhadap sesama juga terhadap diri sendiri. Janji ini sebagai alarm yang mengingatkan atas segala janji yang telah kita ucapkan. Menunaikan janji diri sendiri kadang lebih sulit daripada memenuhi janji kepada orang lain. Akan tetapi saat kita belajar menunaikan setiap janji, kita akan menapaki tangga-tangga menuju ketakwaan.
Kedua, mujahadah (bersungguh-sungguh). Saat kita ibadah, kadang ibadah tersebut terasa hambar karena tidak dibarengi dengan kesungguhan, tetapi hanya menggugurkan kewajiban. Takut jatuh ke dalam dosa dan menapaki kehidupan beragama asal-asalan. Padahal, bagi seorang Muslim yang ingin menjadi orang-orang yang bertakwa, mujahadah adalah bagian tak terpisahkan dalam muhasabah diri yang kita lakukan.
Ketiga, muraqabah (merasa diawasi). Inilah di antara pilar ketakwaan yang harus dimiliki setiap kali kita melakukan introspeksi (muhasabah) diri. Perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam bahasa haditsnya adalah ihsan. Ihsan adalah kita senantiasa beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat-Nya, kalau pun kita belum bisa melihat-Nya, ketahuilah sesungguhnya Allah melihat kita.
Di masa sahabat, sikap muraqabah tertanam dengan baik di hati setiap kaum Muslimin. Kita bisa ambil sebuah contoh kisah sebagai berikut,
Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA. bertemu dengan seorang anak gembala yang sedang menggembalakan kambing-kambingnya. Umar berkata kepada anak tersebut, "Wahai anak gembala, juallah kepada saya seekor kambingmu!" Si anak gembala menjawab, "Kambing-kambing ini ada pemliknya, saya hanya menggembalakannya."
Umar lalu berkata, "Sudahlah, katakan saja kepada tuanmu, mati dimakan serigala. Kalau hilang satu tidak akan ketahuan." Dengan tegas si anak itu menjawab, "Jika demikian, di manakah Allah itu?" Umar demi mendengar jawaban si anak gembala ia pun menangis dan kemudian ia memerdekakannya.
Keempat, mu'aqabah (memberi sanksi). Artinya, memberi sanksi kepada diri manakala diri melakukan sebuah kesalahan. Ini penting dilakukan agar kita senantiasa meningkatkan amal ibadah kita.
Jadi, kehidupan kita di dunia ini akan sangat menentukan kehidupan kita di akhirat kelak. Untuk itu, sebaik-baik kita adalah yang memperbanyak melakukan introspeksi (muhasabah) diri dalam setiap perkataan dan perbuatan kita.
Wallahu a'lam. ***
[Ditulis oleh OKI SOPIAWIGUNA, khotib Jumat di beberapa masjid di Kabupaten Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 12 April 2013 / 1 Jumadil Akhir 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment