DUSTA

Berbagai dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara umum menunjukkan bahwa berdusta itu hukumnya haram. Dusta adalah dosa dan ‘aib yang amat buruk. Di samping berbagai dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, umat Islam bersepakat bahwa berdusta itu haram. Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini :

Dari Abu Hurairah RA., bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khinat terhadap amanah” (HR Bukhari no 2682 dan Muslim no 220).

Yang dimaksud dengan
dusta adalah
menyampaikan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan secara sengaja.

IMAM HATIM AL-ASHAM
pernah berkata : "
Barang siapa mengakui 4 (empat) hal tanpa diikuti 4 (empat) hal yang lain, maka pengakuannya adalah dusta belaka. 4 (empat) hal tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Barang siapa mengaku cinta kepada Allah SWT. Sementara dia tidak berhenti dari melakukan perbuatan maksiat dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, maka pengakuannya itu adalah dusta.
  2. Barang siapa mengaku cinta kepada Rasulullah SAW. Namun dia membenci kaum fakir miskin, maka pengakuannya adalah dusta.
  3. Barang siapa mengaku cinta kepada surga. Tetapi dia tidak mau bershodaqah, maka pengakuannya adalah dusta.
  4. Barang siapa mengaku takut akan siksa neraka. Sementara dia tidak berhenti dari berbuat dosa, maka pengakuannya adalah dusta."
Larangan untuk berkata dusta ini telah Allah ‘Azza wa Jalla firmankan dalam ayat-Nya yang mulia (artinya) : “… maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS. Al Hajj : 30)

Berkata dusta tergolong dosa besar karena pangkal dari kejelekan dan kerusakan yang dilakukan manusia itu bermuara pada perbuatan ini, karena dusta merupakan amalan yang bisa mengantarkan kepada kejelekan sebagaimana sabda Rasulullah SAW. : “Dan sesungguhnya dusta itu bisa mengantarkan kepada kejelekan, dan kejelekan itu bisa mengantarkan kepada An Nar, dan senantiasa seseorang itu berbuat dusta sampai dia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Seorang yang berdusta berarti dia telah melanggar salah satu prinsip penting dalam Islam, karena di antara misi yang diemban Rasulullah SAW. dalam mengajarkan Islam adalah menjunjung tinggi sikap kejujuran. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Sufyan ketika ditanya oleh Heraklius (kaisar Romawi ketika itu) tentang pokok-pokok ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. : “
Beribadahlah kepada Allah satu-satunya dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, tinggalkan ajaran-ajaran nenek moyangmu (yang tidak baik), beliau juga memerintahkan kepada kami untuk shalat, jujur, menjaga diri dari perbuatan yang haram, dan menyambung tali silaturrahim.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Akan tetapi tidak semua dusta itu terlarang. Ada beberapa dusta yang diizinkan oleh syariat. Di antaranya adalah :

Dari Humaid bin ‘Abdurrahman bin Auf, sesungguhnya ibunya yang bernama Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aid, Ummu Kultsum ini adalah salah seorang wanita yang pertama kali berhijrah dan berbai’at kepada Rasulullah SAW., beliau bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “
Bukanlah termasuk pendusta orang yang mendamaikan orang yang berselisih dengan bertutur kata yang baik dan menanamkan kebaikan di antara orang yang berselisih”.

Ibnu Syihab az Zuhri, seorang tabi’in, berkata, “
Aku belum pernah mendengar adanya dusta yang diperbolehkan kecuali dalam tiga hal yaitu ketika perang, untuk mendamaikan orang yang berselisih dan ucapan suami untuk menyenangkan istrinya atau sebaliknya.” (HR Muslim no 6799).

Hadits ini secara gamblang menunjukkan adanya beberapa jenis dusta yang diperbolehkan karena pertimbangan tertentu. Para ulama telah membuat kaedah tentang dusta yang diperbolehkan. Kaedah yang paling bagus adalah perkataan
Abu Hamid Al Ghazali.

Beliau berkata, “
Perkataan adalah sarana untuk menyampaikan suatu maksud. Setiap maksud yang bisa disampaikan dengan kalimat dusta ataupun kalimat yang jujur maka berdusta dalam hal ini hukumnya adalah haram karena tidak ada kebutuhan yang mendorong untuk berdusta. Jika maksud yang hendak disampaikan hanya bisa terwujud dengan dusta dan tidak bisa terwujud jika berkata apa adanya maka berdusta dalam kondisi ini diperbolehkan selama maksud yang dituju adalah perkara mubah. Bahkan dusta bisa menjadi sebuah kewajiban jika maksud yang dituju adalah perkara yang wajib.”

Mulai saat ini, detik ini kita mulai belajar untuk menyatukan ucapan dan perbuatan kita sehingga terhindar dosa-dosa besar (berkata dusta), sebagaimana firman Allah SWT. : “
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kamu dilarang megerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (Al Jannah).” (QS. An Nisa’ : 31)

Maha Suci Engkau Ya Allah, Penguasa Seru Sekalian Alam.

0 comments: