BERHATI-HATI DALAM REZEKI

Salah satu hal yang perlu diperhatikan umat Islam dalam hidupnya adalah rezeki. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rezeki diartikan sebagai segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan yang telah diberikan oleh Tuhan, seperti makanan sehari-hari dan nafkah. Walaupun Tuhan menetapkan rezeki setiap makhluk, setiap Muslim, terutama kaum laki-laki yang mempunyai tanggungan, diwajibkan berusaha mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Dalam pandangan Islam, orang yang bekerja demi menjaga kehormatan, ketenangan, dan kemajuan keluarga mendapatkan kedudukan yang mulia. Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ketika baru pulang dari perang Tabuk, Rasulullah ditemui Sa`ad al-Anshari dan dia menjabat tangan Nabi. Rasulullah bertanya, "Apa yang terjadi dengan tanganmu ?" Sa`ad menjawab, "Wahai Rasulullah. Aku menggunakan seutas tali dan sekop untuk menafkahi keluargaku (sehingga tanganku tebal dan kasar)." Rasulullah pun mencium tangan Sa`ad (sebagai penghormatan) seraya berkata, "Tangan ini tidak pernah disentuh api (neraka)."

Dalam Islam, bekerja dikategorikan sebagai ibadah (ghoiru mahdhah). Allah SWT. berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Jika telah ditunaikan sembahyang, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS. Al-Jumua :10)

Selain anjuran mencari rezeki, ayat ini pun berisi anjuran agar banyak mengingat Allah. Ini suatu isyarat agar umat Islam hati-hati dalam mencarinya.

Islam mengajarkan umatnya agar mencari rezeki yang halal. Halal dalam arti ketika mencarinya tidak menyimpang dari aturan Islam. Berbuat curang dalam timbangan, menipu, dan merampas hak orang lain, tidak dibenarkan Islam. Kerakusan dalam harta dan kekikiran dalam mengeluarkan harta menyebabkan orang berbuat curang Karena semua itu langkah-langkah setan, umat Islam perlu menjauhinya.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah : 168).

Selain itu, rezeki yang dicari itu adalah rezeki yang halal dari zatnya. Jangankan yang haram, yang syubhat pun harus ditinggalkan. Dalam pandangan Islam, rezeki seseorang adalah apa yang dimakan, dipakai, dan dinikmati. Oleh Sebab itu, untuk menjaga dan memelihara jasmani dan rohani, umat Islam dianjurkan makan makanan yang halal, baik dari zat maupun cara mencarinya.

Selain halal, umat Islam pun harus memperhatikan gizi dan kebersihannya. Tuhan berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
"Hai orang-orang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik (thoyiba) yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu beribadah." (QS. Al-Baqarah : 172)

Oleh karena itu, makan dan minumlah yang halal serta baik untuk kesehatan jasmani dan rohani sehingga dapat mensyukuri nikmat Allah dan itu termasuk ibadah. Begitu pula bekerja untuk mencari rezeki sehingga dapat hidup layak dan tidak bergantung kepada orang lain pun dapat dikategorikan sebagai ibadah. Rasulullah bersabda, "Ada tujuh puluh cabang ibadah. Yang terbaik darinya adalah mencari rezeki yang halal."

Sebaliknya, umat Islam dianjurkan agar menghindari rezeki yang haram karena rezeki seperti itu banyak dampak negatifnya. Sikap dan perilaku seseorang ditentukan pula dengan apa yang dimakannya. Kalau zatnya haram, akan berpengaruh buruk pada kesehatan badan. Kalau curang dalam mencarinya, rezeki itu akan berpengaruh buruk pada kesehatan mental dan jiwa.

Harta atau makanan yang haram akan mendorong orang selalu bermaksiat dan susah menerima kebenaran. Selain itu, orang yang mengonsumsi makanan yang haram, doanya tidak diterima. Tidak hanya itu, di akhirat orang yang suka memakan rezeki haram, seperti riba, akan celaka. Tuhan mengumpamakan orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri, tetapi seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Artinya, tidak tenteram hatinya dan kalau berulang-ulang melakukan riba tanpa berhenti bertobat, di akhirat akan dijadikan penghuni neraka.

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila . Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah : 275).

Umat Islam pun perlu memperhatikan penggunaannya. Tuhan menganjurkan agar orang beriman membelanjakan rezeki yang telah dikaruniakan Tuhan di jalan-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ ۗ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual-beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa'at . Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah : 254)

Dalam menggunakannya pun tidak diperkenankan berlebih-lebihan. Allah mengingatkan manusia.

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-Araf : 31)

Ketika makan dan minum, seseorang dianjurkan memperhatikan adab-adabnya. Makan dan minum jangan sambil berdiri. Minum jangan tergesa-gesa. Makan dan mimun dianjurkan diawali bismillah dan diakhiri hamdalah. Agar menjadi sari makanan, Sayidina Ali menganjurkan makan makanan dengan kunyahan yang lembut.

Walaupun harta yang dimiliki seseorang itu halal, karena khawatir bercampur dengan yang haram dan pada harta seseorang itu ada hak orang lain, Islam menganjurkan umatnya agar membersihkan harta itu dengan mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah. Dalam Islam, menolong atau membantu orang dengan harta dikategorikan sebagai pokok kebaktian yang menjadikan seseorang dinilai Allah sebagai orang yang bertakwa.

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah : 177)

Dalam takwa itu terkandung nilai kehati-hatian. Kehati-hatian ini diharapkan membawa berkah, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Kalau semua umat Islam menyadari hal ini dan menjalankan sebagaimana mestinya, tidak akan ada jurang pemisah yang amat dalam antara si kaya dan si miskin. Kehati-hatian dalam rezeki dapat pula menjadi perekat persaudaraan antarmanusia. Kehati-hatian ini pula yang menyelamatkan kehidupan seseorang baik di dunia maupun di akhirat. Amin. ***

[Ditulis Oleh NURKHOLIK, Khatib di Masjid Al-Muhajirin, Warnasari, Citangkil, Cilegon, Banten. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 21 Januari 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

0 comments: