IBADAH TANPA MAKNA

Memang benar, jalan menuju surga tidaklah satu. Banyak jalan untuk bisa memasukinya. Salah satunya dengan beribadah kepada Allah SWT., seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Namun, tentu saja tidak cukup dengan menjalankan itu semua kemudian pintu surga terbuka bagi kita.

Untuk memperoleh tiket masuk surga tidak cukup dengan melaksanakan shalat yang rajin, puasa di bulan Ramadhan tidak batal selama sebulan, bayar zakat diperbesar, atau haji berkali-kali saja. Pintu surga tidak akan terbuka untuk kita jika baru rajin shalat, puasa, ataupun haji berkali-kali, selama mengabaikan sikap, perilaku, ucapan, serta tindakan kita kepada orang lain. Ibadah kepada Allah SWT. yang benar adalah ketika ibadah itu memberi pengaruh dalam menjaga hubungan antarsesama manusia sebab ibadah kepada Allah adalah landasan dalam menjaga aspek kehidupan manusia.

Dalam Islam tidak dikenal pemisahan antara amal dunia dan amal akhirat sebab amal dunia dengan sendirinya akan menjadi ibadah kalau dibarengi niat yang tulus dan tujuan yang mulia. Islam tidak mengenal penekanan aspek jasad atas aspek ruh atau sebaliknya. Ajaran Islam mengatur dan menata sedemikian rupa sehingga manusia menjadi makhluk yang terkendali keseimbangannya, sehingga mampu menjaga hubungan baik dengan Allah (hablum minnallah) dan dengan sesama manusia (hablum minnanas).

Ibadah shalat dan puasa yang bisa membuat pintu surga terbuka ketika ibadah itu berpengaruh dalam sikap dan tindakan kita ketika berhubungan dengan sesama manusia. Jika shalat, puasa, haji yang kita lakukan tetapi tak membuat kita meninggalkan sikap ketamakan, kerakusan, keserakahan, korup, keras hati, zalim, dan senang melukai hati orang lain, tentu saja bukan kesalahan pada shalat seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT., melainkan kita belum memahami dan merasakan hakikat shalat yang sesungguhnya.

Begitu pun puasa yang dilakukan selama sebulan penuh, benar menjadi penghapus dosa yang telah dilakukan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW., "Barang siapa melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dengan dasar iman dan mengharap ridha Allah, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu" (HR. al-Bukhari) adalah orang yang telah mampu berpuasa dari menyakiti, menzalimi orang lain. Jika puasa yang kita kerjakan sedikit pun tidak mengubah jiwa yang kotor menjadi bersih, kekerasan hati menjadi kelembutan, bukan salah pada ibadah puasanya, melainkan pada diri kita yang belum memahami dan merasakan hakikat ibadah puasa yang sebenarnya. Kita selama ini baru bisa beribadah hanya dalam tataran lahiriah, belum pada kedalaman batiniah ibadah. Kita baru sebatas melaksanakan syariat, belum sampai pada makam hakikat.

Kita merasa jadi orang saleh dalam pandangan agama hanya gara-gara bisa melaksanakan shalat. Padahal sekadar melaksanakan gerakan shalat. seorang anak kecil pun mampu melakukannya. Ukuran kesalehan kita tidak diukur sebatas baru bisa shalat tetapi ukurannya adalah bagaimana kita berperilaku kepada orang lain. Telah diriwayatkan dalam hadits Rasulullah SAW. bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya si Fulanah kabarnya sering mengerjakan shalat wajib dan sunah, puasa wajib dan sunah, dan gemar bersedekah. Hanya saja, dia menyakiti tetangga melalui perkataannya."

Rasulullah SAW. menjawab, "Wanita itu berada di neraka." Kemudian laki-laki itu berkata lagi, "Wahai Rasulullah, si Fulanah kabarnya sebatas melaksanakan shalat wajib, jarang shalat sunah, puasa cukup yang wajib saja, dan dia bersedekah hanya dengan sepotong keju dan tidak menyakiti tetangganya." Rasulullah SAW. bersabda, "Wanita itu berada di dalam surga." (HR. Ahmad)

Dalam hadis lain, Rasullah SAW. pernah mengajukan pertanyaan kepada para sahabatnya, "Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu ?" Para sahabat berkata, "Orang yang bangkrut itu adalah orang di antara kami yang tidak memiliki sekeping dirham dan juga tidak memiliki harta walau sedikit." Rasulullah SAW. bersabda, "Orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa ganjaran ibadah shalat, puasa, zakat. Namun ternyata dia juga datang membawa dosa karena mencaci orang ini, memfitnah orang itu, memakan harta orang ini, mengalirkan darah orang itu, dan juga memukul orang itu. Akhirnya kebaikan-kebaikannya diberikan kepada orang yang ini dan orang yang itu. Jika amal kebajikannya sudah ludes sebelum dia bisa membayar kesalahan yang telah dilakukannya, maka kesalahan dan dosa-dosa orang-orang yang disakitinya, dizaliminya, ditipunya, dihinanya, difitnahnya, akan diambil dan ditimpakan kepadanya. Setelah itu, dia dilemparkan ke dalam neraka." (HR.Muslim)

Kekerasan hati, kezaliman, kebohongan, dan kecurangan tidak akan sirna dari jiwa kita sebab shalat yang kita lakukan hanyalah shalat yang didasari kepameran bukan keikhlasan. Shalat kita lebih banyak dilakukan bukan bertujuan untuk memperoleh cinta-Nya melainkan cinta makhluk-Nya. Shalat yang selama ini kita lakukan bukan bertujuan untuk dekat dengan-Nya melainkan agar terkabul menjadi pejabat ataupun naik pangkat.

Ritus ibadah yang kita lakukan saat ini sesungguhnya hanyalah ibadah tanpa makna, seperti tanpa ada maknanya kehadiran diri kita untuk orang lain.

Kehadiran diri kita tidak menggenapkan, bahkan mengganjilkan. Adanya kita tidak bermanfaat untuk orang lain, bahkan membingungkan. Jika ini yang terjadi pada diri kita, masihkah kita merasa diri orang yang pantas memeroleh tiket masuk surga. Wallahualam.***

[Ditulis Oleh IDAT MUSTARI, pengurus Biro Agama Partai Golkar Jawa Barat, tinggal di Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 11 Februari 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

0 comments: