KEBERHASILAN IBADAH -2-

Secara bahasa, ibadah bermakna pengabdian kepada Allah SWT. sebagai tugas pokok seorang manusia.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidak semata-mata kami ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat: 56)

Ajaran Islam membagi ibadah dalam dua kategori, yakni bermakna umum dan khusus. Ibadah bermakna umum adalah semua perbuatan dan ucapan yang tidak dilarang Allah dan rasul-Nya dan dikerjakan dengan ikhlas. Dalam kaitan ini, mencakup semua hal yang ada dalam kehidupan baik bekerja, mengayomi rumah tangga, mendidik anak-anak, bahkan merenung, melukis, meneliti, dan lain-lain.

Sementara ibadah dalam makna khusus berbentuk ritual langsung kepada Allah dilakukan secara sadar dan ikhlas yang ditujukan kepada Allah. Ulama fiqh menyebutnya sebagai ibadah mahdhah, seperti shalat, shaum (puasa), zakat, umrah, dan haji. Ibadah khusus ini memiliki norma, aturan, dan kaidah yang tegak, serta pasti sehingga tidak bisa ditambah atau dikurangi. Suatu ibadah dikatakan benar dan tepat kalau sesuai dengan ketentuan Rasulullah SAW.

Sayangnya, sebagian kaum Muslimin membatasi makna ibadah sebatas ibadah khusus, sehingga ketika bekerja melepaskan diri dari tuntunan Allah SWT. karena dianggap bukan ibadah. Akhirnya, yang terjadi adalah pribadi ganda yang merasa saleh apabila berada di masjid, tetap menjadi pribadi "salah" ketika bekerja di kantor, berdagang, mengajar, dan lain-lain karena menyalahi aturan Islam.

Mengenai ibadah khusus ini, secara jelas Al-Qur'an memberikan pelajaran setiap ibadah dalam Islam selalu ada hikmah dan manfaatnya yang rasional maupun irasional, baik manfaat langsung maupun tidak langsung. Pernyataan salah kalau ada yang berkata masalah ibadah semata-mata urusan akhirat, karena ibadah dalam Islam bermakna duniawi sekaligus ukhrawi.

Ibadah dikatakan berhasil, apabila membuahkan pahala di akhirat sekaligus harus mampu menghasilkan manfaat di dunia sekarang. Seseorang yang melakukan ibadah hendaknya memperoleh kepuasan rohani, kedamaian batin, ketenangan, ketenteraman, kesejukan, bahkan kehalusan budi, dan kemuliaan akhlak. Ibadah yang berhasil tidak sebatas pada proses pelaksanaan, seperti syarat dan rukun yang harus dipenuhi, tetapi harus tampak pada manifestasi akhlak mulia.

Unsur pembentukan karakter (akhlak) amat kentara dalam setiap ibadah yang dilakukan kaum Muslimin. Shalat misalnya, tidak sebatas dilakukan untuk tujuan ibadah melainkan juga menciptakan ketenteraman dan ketenangan serta mencegah dari perbuatan jahat dan mungkar.

Demikian pula dengan zakat sebagai ibadah berkaitan dengan maaliyah (harta) dapat mencegah dari sikap-sikap buruk, seperti tamak dan kikir selain harta yang bersih dan tumbuh sesuai dengan makna zakat. Hal itu juga berlaku untuk ibadah shaum (puasa) sebagai latihan mental seorang Muslim, pendidikan kesabaran dan ketabahan, serta menanamkan rasa cinta kepada sesama.

Ibadah haji dan umrah serta ibadah-ibadah khusus lainnya juga memberikan hikmah (pelajaran) mendalam, yang semuanya tak bisa dilepaskan diri dari kepentingan hidup manusia dan lingkungannya. Tak salah, apabila ada yang menyatakan ibadah ibarat kaderisasi secara kontinu bagi kaum Muslimin menjadi pribadi-pribadi yang berakhlak agung dan mulia.

Pelaksanaan ibadah yang baik hendaknya mampu melahirkan watak dan akhlak yang baik pula. Apabila ibadah yang kita kerjakan belum mampu mewujudkan akhlak dan pribadi baik, berarti ibadah yang kita kerjakan belum sampai pada tingkat kesempurnaan sebagaimana diinginkan ajaran Islam.

Keberhasilan suatu ibadah jangan hanya dilihat ketika pelaksanaannya, melainkan implementasi dari nilai-nilai ibadah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi, ibadah dalam Islam mencakup dua aspek sekaligus yakni hubungan dengan Allah (hablum-minallah) dan hubungan sesama manusia (hablum-minannaas). Ibadah melahirkan pribadi-pribadi yang dekat (taqarrub) kepada Allah, sekaligus menebarkan kasih sayang dan kedamaian kepada manusia dan lingkungan alam.

Hubungan antara ibadah dengan pelestarian alam semesta amat erat. Ketika Allah dan rasul-Nya menyatakan salah satu syarat untuk shalat adalah bersuci (wudhu) dengan air bersih, maka menjadi kewajiban kaum Muslimin untuk menjaga lingkungan agar air selalu tersedia. Menanam pepohonan, membuat biopori, dan usaha-usaha lain mempertahankan sumber air merupakan suatu keniscayaan yang tingkatnya sama dengan kewajiban melaksanakan ibadah khusus.

Demikian pula ketika ada hadits yang menyatakan "kebersihan sebagian dari iman" harus pula dimaknai kewajiban kaum Muslimin untuk menciptakan ilmu dan teknologi agar bisa menjaga kebersihan. Bukan sebatas memungut dan membuang sampah pada tempatnya, melainkan juga mengolah dan memanfaatnya menjadi hal-hal yang lebih bermanfaat bagi manusia dari lingkungannya. Dan, semua itu adalah ibadah.

Wallahu-a'lam.***

[Ditulis oleh : KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI Kota Bandung, dosen ITB, Ketua Yayasan Unisba dan Ad Dakwah, dan pembimbing Haji plus dan Umrah Safari Suci, disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 23 Juni 2011 / 21 Rajab 1432 H. pada kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: