Sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berbagai persoalan yang dihadapi manusia pun semakin bertambah setiap hari, setiap menit, setiap detik. Bertambahnya persoalan ini akan berdampak pada kondisi kejiwaan setiap orang.
Tingginya harga-harga barang kebutuhan pokok, menurunnya daya beli masyarakat, kehilangan pekerjaan, kebutuhan hidup yang semakin meningkat, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, bencana alam yang menghilangkan harta dan jiwa, menurunnya hasil pertanian akibat berkurangnya lahan, serta hubungan disharmonis antarpersonal menjadi pemicu meningkatnya penyakit-penyakit kejiwaan.
Berdasarkan riset kesehatan tahun 2007, Provinsi Jawa Barat menempati urutan teratas dalam peringkat gangguan jiwa. Angka rata-ratanya, 20 persen dari total populasi penduduknya sebanyak 40 juta orang lebih. (Pikiran Rakyat, 21-1-2010)
Meskipun tidak secara langsung menimbulkan kematian, penyakit kejiwaan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Karena gangguan kejiwaan manusia tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik manakala jiwa terganggu, bahkan bukan hal yang mustahil masa depannya akan suram. Untuk menangani dan mengobatinya, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemerintah harus mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk menanggulangi penyakit / gangguan kejiwaan ini.
Menurut perwakilan WHO di Indonesia, pemerintah mengalokasikan dana Rp. 2.000 per kapita dari jumlah total populasi, atau sekitar Rp. 80 miliar per tahun untuk di Jawa Barat.
Kerugian ekonomi akibat penyakit gangguan jiwa di Indonesia mencapai Rp. 32 triliun per tahun. Jumlah penderita penyakit ini cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Data survei lainnya menunjukkan, satu dari tiga pengunjung pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) mengeluhkan gangguan mental dan emosional. Studi yang dilakukan di sebelas pusat penelitian kesehatan jiwa di Indonesia juga menunjukkan bahwa satu dari lima orang responden yang diteliti pernah satu kali mengalami gangguan kesehatan jiwa selama hidup mereka. Fakta ini menunjukkan bahwa kesehatan jiwa merupakan masalah penting yang harus mendapat perhatian penuh. Namun, sayangnya perhatian pemerintah terhadap penanganan masalah kesehatan jiwa relatif masih kurang. (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/062006/20/0101.htm).
Data di atas menunjukkan kepada kita, betapa mahalnya kesehatan jiwa karena jiwa merupakan kelengkapan utama yang diberikan Allah SWT. kepada manusia setelah penglihatan (fungsi mata) dan pendengaran (fungsi telinga).
Kesehatan jiwa akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan kelangsungan hidup manusia. Jika hanya fisik yang terganggu, seperti sakit dan different ability (difabel), masih dapat ditanggulangi dan penderitanya masih dapat memfungsikan otak dan somatiknya. Akan tetapi, jika psikis / jiwanya yang terganggu, potensi fisiknya pun akan terganggu, tidak dapat dimaksimalkan, bahkan sama sekali tidak berfungsi. Oleh karena itu, menjaga kesehatan jiwa (hifzhun nafs), berdasarkan ilmu ushul, menjadi salah satu kewajiban manusia, di samping hifzhul maal (menjaga harta), hifzhun nasal (menjaga kehormatan), hifzhud din (menjaga agama), dan hifzhul ummah (menjaga umat / lingkungan).
Dalam pandangan Islam, jiwa sering dikaitkan bahkan identik dengan hati (qolb) dan sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik. Jika hati labil, labil pula seluruh jasad (fisik); jika hati stabil, maka stabil pula keadaan fisik. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.,
Imam Al-Ghazali dalam Ajaibul Qulub mengibaratkan hati sebagai panglima perang atau komandan pasukan yang memiliki otoritas untuk memberi instruksi, sedangkan organ fisik lainnya adalah anggota pasukan yang siap diperintah. Putih kata kati, putih yang dilaksanakan anggota tubuh. Merah kata hati, merah yang dilakukan organ fisik. Baik kata hati, baik perbuatan; buruk kata hati, buruk perbuatan.
Menjaga kesehatan jiwa, menyucikan jiwa, tazkiyatun nafs merupakan aktivitas bernilai ibadah yang wajib dilaksanakan dengan segenap kemampuan dan potensi yang dimiliki. Al-Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa orang yang kotor jiwanya (memiliki penyakit kejiwaan) adalah orang-orang yang celaka dan merugi.
Tazkiyah adalah upaya optimal setiap manusia yang dilakukan secara sadar, sungguh-sungguh, dan penuh keikhlasan serta kepasrahan kepada Allah untuk membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit yang mengotorinya.
Islam sebagai agama yang selamat, pembawa pada keselamatan, dan mengajak manusia pada keselamatan, memberikan solusi yang sangat tepat untuk menananggulangi penyakit-penyakit kejiwaan. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengingat-Nya (dzikir), berkomunikasi dengan-Nya (berdoa), memahami pesan-Nya (membaca Al-Qur'an), dan berserah diri secara total kepada-Nya (shalat) merupakan solusi terbaik untuk menghalau penyakit-penyakit hati, penyakit kejiwaan, mulai dari stadium ringan hingga stadium berat.
Allah menegaskan dalam Al-Qur'an,
Dalam ayat lain, Allah berfirman,
Syifa (obat) yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan bermakna hakiki (harfiah, leksikal) yang berati zat penawar atau pereda sakit, melainkan bermakna majazi, sebagai penawar penyakit-penyakit kejiwaan. Siapa pun yang membaca Al-Qur'an akan tenang jiwanya dan bahkan hanya mendengarkannya pun orang akan mendapat rahmat. Apalagi jika membaca Al-Qur'an itu dibarengi dengan kemampuan memahami bahasa dan maknanya kemudian diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari, maka Al-Qur'an betul-betul akan menjadi penawar jiwa.
Puncak ketenangan seseorang terjadi manakala ia berada dalam lindungan Yang Paling Perkasa (Allah). Pada saat itu, tidak ada kegelisan, kecemasan, kekecewaan, dan ketakutan karena ia sedang berada lindungan dan kekuasaan dari Yang Mahaperkasa, Mahakasih, dan Mahapelindung. Puncak ketenangan itu terjadi saat seseorang berkomunikasi dengan-Nya (berdoa) dan bersimpuh pasrah dalam dalam limpahan kasih dan sayang-Nya (shalat).
Oleh karena itu, solusi menghadapi penyakit-penyakit kejiwaan adalah dengan dzikir, shalat, membaca Al-Qur'an, dan berdoa.
Semoga Allah meberikan ketenangan jiwa sehingga segala bentuk aktivitas ibadah keduniaan maupun akvitas ibadah keakhiratan berjalan secara optimal untuk mendapatkan hubungan saling meridhai antara kita dengan Allah.***
[Ditulis oleh NANA SUKMANA, pengurus DKM. Asy-Syifa Stikes Bhakti Kencana Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 24 Juni 2011 / 22 Rajab 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
Tingginya harga-harga barang kebutuhan pokok, menurunnya daya beli masyarakat, kehilangan pekerjaan, kebutuhan hidup yang semakin meningkat, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, bencana alam yang menghilangkan harta dan jiwa, menurunnya hasil pertanian akibat berkurangnya lahan, serta hubungan disharmonis antarpersonal menjadi pemicu meningkatnya penyakit-penyakit kejiwaan.
Berdasarkan riset kesehatan tahun 2007, Provinsi Jawa Barat menempati urutan teratas dalam peringkat gangguan jiwa. Angka rata-ratanya, 20 persen dari total populasi penduduknya sebanyak 40 juta orang lebih. (Pikiran Rakyat, 21-1-2010)
Meskipun tidak secara langsung menimbulkan kematian, penyakit kejiwaan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Karena gangguan kejiwaan manusia tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik manakala jiwa terganggu, bahkan bukan hal yang mustahil masa depannya akan suram. Untuk menangani dan mengobatinya, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemerintah harus mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk menanggulangi penyakit / gangguan kejiwaan ini.
Menurut perwakilan WHO di Indonesia, pemerintah mengalokasikan dana Rp. 2.000 per kapita dari jumlah total populasi, atau sekitar Rp. 80 miliar per tahun untuk di Jawa Barat.
Kerugian ekonomi akibat penyakit gangguan jiwa di Indonesia mencapai Rp. 32 triliun per tahun. Jumlah penderita penyakit ini cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Data survei lainnya menunjukkan, satu dari tiga pengunjung pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) mengeluhkan gangguan mental dan emosional. Studi yang dilakukan di sebelas pusat penelitian kesehatan jiwa di Indonesia juga menunjukkan bahwa satu dari lima orang responden yang diteliti pernah satu kali mengalami gangguan kesehatan jiwa selama hidup mereka. Fakta ini menunjukkan bahwa kesehatan jiwa merupakan masalah penting yang harus mendapat perhatian penuh. Namun, sayangnya perhatian pemerintah terhadap penanganan masalah kesehatan jiwa relatif masih kurang. (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/062006/20/0101.htm).
Data di atas menunjukkan kepada kita, betapa mahalnya kesehatan jiwa karena jiwa merupakan kelengkapan utama yang diberikan Allah SWT. kepada manusia setelah penglihatan (fungsi mata) dan pendengaran (fungsi telinga).
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
.... Kemudian Allah menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati (jiwa) agar kamu bersyukur." (QS. Al-Nahl : 78)
Kesehatan jiwa akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan kelangsungan hidup manusia. Jika hanya fisik yang terganggu, seperti sakit dan different ability (difabel), masih dapat ditanggulangi dan penderitanya masih dapat memfungsikan otak dan somatiknya. Akan tetapi, jika psikis / jiwanya yang terganggu, potensi fisiknya pun akan terganggu, tidak dapat dimaksimalkan, bahkan sama sekali tidak berfungsi. Oleh karena itu, menjaga kesehatan jiwa (hifzhun nafs), berdasarkan ilmu ushul, menjadi salah satu kewajiban manusia, di samping hifzhul maal (menjaga harta), hifzhun nasal (menjaga kehormatan), hifzhud din (menjaga agama), dan hifzhul ummah (menjaga umat / lingkungan).
Dalam pandangan Islam, jiwa sering dikaitkan bahkan identik dengan hati (qolb) dan sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik. Jika hati labil, labil pula seluruh jasad (fisik); jika hati stabil, maka stabil pula keadaan fisik. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.,
Sesungguhnya dalam tubuh ini ada segumpal darah. Jika segumpal darah itu selamat, akan selamat seluruh jasadnya. Sementara jika rusak, rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati (qalb). (Alhadist)
Imam Al-Ghazali dalam Ajaibul Qulub mengibaratkan hati sebagai panglima perang atau komandan pasukan yang memiliki otoritas untuk memberi instruksi, sedangkan organ fisik lainnya adalah anggota pasukan yang siap diperintah. Putih kata kati, putih yang dilaksanakan anggota tubuh. Merah kata hati, merah yang dilakukan organ fisik. Baik kata hati, baik perbuatan; buruk kata hati, buruk perbuatan.
Menjaga kesehatan jiwa, menyucikan jiwa, tazkiyatun nafs merupakan aktivitas bernilai ibadah yang wajib dilaksanakan dengan segenap kemampuan dan potensi yang dimiliki. Al-Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa orang yang kotor jiwanya (memiliki penyakit kejiwaan) adalah orang-orang yang celaka dan merugi.
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
Sesungguhnya berbahagialah orang-orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh celaka orang-orang yang mengotori jiwanya. (QS. Ash-Shams : 9-10)
Tazkiyah adalah upaya optimal setiap manusia yang dilakukan secara sadar, sungguh-sungguh, dan penuh keikhlasan serta kepasrahan kepada Allah untuk membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit yang mengotorinya.
Islam sebagai agama yang selamat, pembawa pada keselamatan, dan mengajak manusia pada keselamatan, memberikan solusi yang sangat tepat untuk menananggulangi penyakit-penyakit kejiwaan. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengingat-Nya (dzikir), berkomunikasi dengan-Nya (berdoa), memahami pesan-Nya (membaca Al-Qur'an), dan berserah diri secara total kepada-Nya (shalat) merupakan solusi terbaik untuk menghalau penyakit-penyakit hati, penyakit kejiwaan, mulai dari stadium ringan hingga stadium berat.
Allah menegaskan dalam Al-Qur'an,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Dan telah Kami jadikan sebagian dari Al-Qur'an sebagai obat (syifa) dan rahmat (kebaikan, kasih sayang) bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-Isra : 82)
Dalam ayat lain, Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (mauizhoh) dari Rabbmu dan penyembuh (syifa) bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk (huda} serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57)
Syifa (obat) yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan bermakna hakiki (harfiah, leksikal) yang berati zat penawar atau pereda sakit, melainkan bermakna majazi, sebagai penawar penyakit-penyakit kejiwaan. Siapa pun yang membaca Al-Qur'an akan tenang jiwanya dan bahkan hanya mendengarkannya pun orang akan mendapat rahmat. Apalagi jika membaca Al-Qur'an itu dibarengi dengan kemampuan memahami bahasa dan maknanya kemudian diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari, maka Al-Qur'an betul-betul akan menjadi penawar jiwa.
Puncak ketenangan seseorang terjadi manakala ia berada dalam lindungan Yang Paling Perkasa (Allah). Pada saat itu, tidak ada kegelisan, kecemasan, kekecewaan, dan ketakutan karena ia sedang berada lindungan dan kekuasaan dari Yang Mahaperkasa, Mahakasih, dan Mahapelindung. Puncak ketenangan itu terjadi saat seseorang berkomunikasi dengan-Nya (berdoa) dan bersimpuh pasrah dalam dalam limpahan kasih dan sayang-Nya (shalat).
Oleh karena itu, solusi menghadapi penyakit-penyakit kejiwaan adalah dengan dzikir, shalat, membaca Al-Qur'an, dan berdoa.
Semoga Allah meberikan ketenangan jiwa sehingga segala bentuk aktivitas ibadah keduniaan maupun akvitas ibadah keakhiratan berjalan secara optimal untuk mendapatkan hubungan saling meridhai antara kita dengan Allah.***
[Ditulis oleh NANA SUKMANA, pengurus DKM. Asy-Syifa Stikes Bhakti Kencana Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 24 Juni 2011 / 22 Rajab 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment