Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW., "Ya Rasulullah, terangkan kepadaku, apa yang paling berat dan apa yang paling ringan dalam beragama Islam ?"
Nabi bersabda, "Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat atau kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasulullah. Sementara yang paling berat adalah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur." (HR. Ahmad Bazzar)
Yang menarik untuk kita ungkap dari hadits tersebut adalah mengapa posisi kejujuran jauh lebih berat dilakukan dibandingkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain) ? Padahal sejarah mencatat, beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW. rela berkorban menerima siksaan, baik secara fisik maupun psikis, sebagai akibat dari keberanian mereka untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebagai contoh, seorang budak Habsyi, Bilal bin Rabbah RA. yang dilempar di atas padang pasir yang sangat terik, merelakan dadanya ditindih dengan batu. Sumayyah binti Khayyath, istri Yasir RA., yang juga tercatat sebagai wanita pertama yang syahid dalam Islam mengikhlaskan untuk dipanggang hingga meningggal karena tidak mau kembali dari agama Islam kepada agama nenek moyang mereka.
Yang perlu digarisbawahi adalah dua kalimat syahadat yang diucapkan oleh Sumayyah binti Khayyath, Bilal bin Rabbah, dan para sahabat nabi yang lain, tentu saja tidak lahir dengan spontan. Ada proses yang panjang yang mereka lewati sampai pada akhimya muncul kejujuran untuk mengakui bahwa Allah SWT. dan Muhammad SAW. sebagai Tuhan dan nabi mereka. Kejujuran itu mereka ungkapkan dengan dua kalimat syahadat.
Mengucapkan dua kalimat syahadat menuntut kejujuran dan keikhlasan. Ia bukan sekadar formalitas untuk menjadi Muslim, tetapi lebih jauh dan dalam adalah sebagai bukti keyakinan yang kuat dan kejujuran yang sempurna serta keikhlasan yang dalam untuk menerima Islam sebagai sistem hidup. Bila seorang Muslim jujur dalam menerima syahadat ini, tidak akan terjadi penolakan terhadap hukum-hukum yang Allah sudah tetapkan.
Rasulullah SAW. bersabda, "Tidak ada seorang hamba yang mengucapkan Laa ilaaha illallah kemudian mati dengan komitmen padanya melainkan ia masuk surga." (HR. Bukhari)
Artinya, mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan amalan yang mudah untuk dilakukan. Yang sulit adalah menumbuhkan kejujuran dan keikhlasan ketika mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut.
Untuk memperkuat argumentasi bahwa kejujuran merupakan amalan yang paling berat dalam beragama Islam adalah karena kejujuran adalah kunci dari segala kebaikan. Artinya, ketika seseorang sudah bisa berlaku jujur, ia akan menjadi orang baik. Sebaliknya, jika seseorang sudah nyaman berada dalam ketidakjujuran, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut akan terjerembab dalam kemaksiatan dan keterpurukan.
Rasulullah SAW. bersabda, "Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud)
- Dalam kaitannya dengan kejujuran ini, ada seorang sahabat yang baru masuk Islam. Sebelumnya ia dikenal sebagai ahli maksiat; berzina, berjudi, merampok, dan lain-lain. Dengan sangat jujur dia ceritakan perbuatannya ini di hadapan Rasulullah. Setelah Rasulullah memahami apa yang ia kisahkan itu, beliau memberi fatwa kepada sahabat ini dengan satu kalimat pendek, "Jangan berbohong !"
Awalnya, ia menganggap begitu sepele permintaan Rasulullah ini. Namun ternyata, implikasinya begitu luar biasa karena mampu membebaskannya dari segala perbuatan dosa. Setiap ada keinginan berbuat dosa ia selalu teringat pada nasihat Rasulullah SAW. Sementara untuk berkata jujur bahwa ia telah berbuat kejahatan, ia malu dengan dirinya sendiri. Akhirnya, dengan kesadaran penuh ia pun meninggalkan segala perbuatan dosa dan menjadi pengikut setia Rasulullah SAW.
Indonesia sedang dirundung krisis multidimensi; krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, krisis moral, krisis politik, dan berbagi krisis lainnya. Krisis multidimensi inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk. Salah satu sumber keterpurukan tersebut adalah sifat tidak amanah, tidak jujur, dan gemar berdusta yang sudah mendarah daging dan berurat akar pada sebagian anak bangsa.
Sifat tidak amanah, tidak jujur, gemar berdusta, curang, dan sifat rakus, diduga telah merasuki segala ranah kehidupan, mulai institusi negeri, swasta, hingga rakyat jelata. Lebih memprihatinkan lagi seolah telah menjadi tradisi. Dipicu oleh materi, terutama yang bernama uang, membuat orang sukar berpikir jernih dan berkata jujur. Institusi yang seharusnya bersih dan berwibawa, dicederai oknum di dalamnya, seakan terbenam dalam "permainan kotor", membuat kepercayaan publik kian memudar.
Di kalangan birokrat, gratifikasi telah membuat beberapa pejabat publik gamang mengutamakan nasib publik. Ada tradisi seolah hal lumrah, pegawai di lapangan, kalau tak ada "uang rokok", ajuan pembuatan KTP atau administrasi lebih sering jalan di tempat dari yang semestinya.
Di swasta, oknum kontraktor "biasa" mengerjakan projek jauh di bawah spek yang disepakati, akibatnya banyak bangunan roboh dengan umur jauh diperkirakan. Kontraktor beralasan, semua ini dilakukan untuk menutupi "biaya siluman" yang mesti dikeluarkan sebelumnya.
Kehidupan rakyat jelata pun turut terkontaminasi. Beberapa pedagang di pasar suka nakal mengoplos barang bagus dengan barang bermutu rendah, "bermain-main" dengan timbangan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang berani memperjualbelikan ayam tiren atau mencampurkan daging celeng untuk dijual tanpa lagi mempersoalkan halal-haram atau benar-salah.
Gurita ketidakjujuran kolektif yang disinyalir menjadi penyebab Indonesia selalu berada dalam keterpurukan itulah yang harus kita putus sekarang juga. Hal itu tentu saja harus dilakukan mulai dari lingkungan terkecil. Mulai dari diri kita, keluarga, tetangga, lingkungan tempat kerja, dan selanjutnya. Perubahan besar biasanya diawali dari hal-hal kecil.***
[Ditulis oleh YAYAN KHAERUL ANWAR, dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum serta alumnus Pascasarjana UIN. Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 3 Juni 2011 / 1 Rajab 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment