Hikmah dari kepemimpinan seorang panglima perang pada zaman Rasulullah SAW. sampai Khalifah Umar bernama Khalid bin Walid. Dia dijuluki oleh Rasulullah SAW. sebagai Syaifullah (pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak, dan Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab tidak lepas dari kiprah kegagahan Khalid.
Namun, apa balasan Khalifah Umar dengan pengabdian Khalid yang memperluas wilayah? Ternyata Khalid bin Walid malah diberhentikan secara tiba-tiba sebagai panglima dalam peristiwa penaklukan Syam.
Apa reaksi Khalid? Dia dengan ikhlas menerimanya, tanpa pembangkangan. Khalid bahkan berkata, "Aku berperang bukan karena Umar, tetapi karena Allah." Inilah mutiara akhlak, hikmah, sekaligus ihsan dalam diri Khalid dan para pejuang Islam lainnya.
Pelajaran berharga lainnya dari Perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga Hijriah ketika umat Islam mengalami kekalahan. Lagi-lagi tokohnya Khalid bin Walid sebelum masuk Islam yang berhasil menghancurkan tentara Islam. Umat Islam kalah akibat mencari materi harta berupa ganimah sehingga terlena.
Rasulullah sempat terluka. Nabi malah sempat dikabarkan wafat, yang menimbulkan kepanikan umat Islam yang masih tersisa. Ketika terluka, Rasulullah tiba-tiba mengambil pedang, lalu diangkat sambil berseru membangkitkan semangat, "Siapa yang berani mengambil pedang ini?"
Semua saling berebut. Rasulullah kembali bertanya, "Siapa yang berani mengambil pedang ini dengan tanggung jawab? (Ma yahudu minni bi-haqqihi?)"
Akhirnya seorang sahabat, Abu Dujanah, mengambil pedang itu lalu lari ke tengah-tengah musuh, yang diikuti pasukan Muslimin yang tersisa.
Terjadilah pertempuran kembali, dan kemudian pasukan musuh menarik diri sehingga kaum Muslimin terhindar dari kekalahan total. Abu Dujanah pun gugur di medan Uhud menjadi syahid bersama Hamzah bin Abi Thalib dan syuhada lainnya.
Khalid bin Walid dan perang Uhud mengajarkan kepada kita kalau jabatan tak perlu diperebutkan layaknya ganimah. Hanya karena melihat fasilitas, materi, gaji, tunjangan, uang perjalanan dinas, ketenaran, dan sejenisnya sehingga kita buta mata dan buta hati.
Jabatan merupakan suatu tugas dan amanah harus diterima dan ditunaikan dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab yang kokoh. Amanah bukan dikejar apalagi diminta-minta. Amanah dan jabatan dalam suatu perjuangan bukanlah suatu yang menyenangkan, justru sebaliknya akan menjadi beban yang harus dipertanggungjawabkan.
Kalau amanat itu diberikan jangan ditolak, lebih-lebih jika mampu melaksanakannya. Namun jangan pula memperebutkan jabatan, apalagi dengan cara-cara tidak benar. Sekali salah niat dan langkah, selain akan menimbulkan centang perenang dan perpecahan dalam perjuangan, sekaligus tidak akan berkah dan kehilangan pahala yang utama.
Nabi Muhammad SAW. bersabda,
Nabi Muhammad SAW. bersabda,
"Ingatlah, setiap orang di antara kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir (pemimpin masyarakat) yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Merujuk kepada kata pemimpin atau imam bermula dari kata "amma" yang bermakna bergerak ke depan. Seorang pemimpin di mana pun posisinya harus bisa membawa ke arah yang lebih baik. Kata "amma" berubah menjadi ammam atau di depan lalu "imam" yang bermakna seseorang yang berada di barisan paling depan. Kata "imam" senapas dengan kata "umm" (yang berarti ibu) atau "ummat" yang berarti komunitas yang diminta untuk bergerak maju ke depan.
Tugas pemimpin amat berat dan mengandung bahaya. Tak heran jika Nabi SAW. mengingatkan bahayanya kekuasaan dan orang yang memintanya,
"Wahai Abdur Rahman bin Samuroh, janganlah engkau meminta kekuasaan. Karena jika kau diberi kekuasaan dari hasil meminta, maka engkau akan diserahkan kepada kekuasaan itu (yakni, dibiarkan Allah dan tak akan ditolong). Jika engkau diberi kekuasaan, bukan dari hasil meminta, maka engkau akan ditolong." (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits lain dinyatakan,
"Aku pernah masuk menemui Nabi SAW. bersama dua orang sepupuku. Seorang di antara mereka berkata, "Wahai Rasulullah, jadikanlah kami pemimpin dalam perkara yang Allah berikan kepadamu. Orang kedua juga berkata demikian. Maka Nabi bersabda, Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula orang yang rakus kepadanya." (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Seseorang tidak diperkenankan berbuat narsisme seperti "mematut-matutkan diri" sebagai calon pemimpin ideal. Misalnya, menyatakan saya ini orang paling pintar, lebih baik, paling bisa, tepercaya, dan lebih bersih dari yang lainnya. Ajaran Islam melarang calon pemimpin untuk menjelek-jelekkan orang lain.
Kehadiran pemimpin bukan karena politik pencitraan, karena politik ini lebih banyak menipu. Pemimpin juga tidak perlu mengiklankan dirinya secara gencar sebab pemimpin bukanlah profesi yang dicari melainkan kepercayaan dari masyarakat karena ia memiliki rekam jejak yang baik dan dapat dipercaya sehingga layak diangkat menjadi pemimpin.***
[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri. (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 19 Januari 2012 / 25 Safar 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]
by
0 comments:
Post a Comment