يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُّبِينٌ
Ya ayyuha alnnasu kuloo mimma fee alardi halalan tayyiban wala tattabiAAoo khutuwati alshshaytani innahu lakum AAaduwwun mubeenun
Hai manusia! Makanlah dari apa-apa yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan jangan kamu mengikuti jejak setan karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu. (QS. Al-Baqarah: 168)
Salah satu anugerah bagi manusia dan tak tergantikan oleh apa pun adalah kenikmatan indra pengecap lidah). Dengan indra itu, manusia dapat membedakan rasa manis, pahit, asin, asam, gurih, pedas, dan rasa lainnya.
Betapa tersiksanya orang yang kehilangan fungsi saraf pengecap. Makan atau minum apa pun rasanya pasti sama, tidak berasa!
Indra pengecap ini erat sekali kaitannya dengan selera makan. Makanan yang enak di mulut akan melenakan, dikunyah berlama-lama lalu ditelan. Sebaliknya, makanan yang tidak enak, boleh jadi tidak akan dikunyah, bahkan bukan hal mustahil akan segera dimuntahkan.
Sesesungguhnya, makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia bukanlah ditentukan oleh rasanya, melainkan oleh kandungan gizinya. Banyak makanan enak dan lezat rasanya tetapi justru tidak baik untuk tubuh kita, bahkan akan mendatangkan berbagai gangguan kesehatan. Dengan bahasa sangat sederhana boleh kita katakan, makanan yang baik dan sehat itu adalah makanan yang enak di perut, bukan hanya enak di mulut.
Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin, tidak hahya mengatur persoalan tauhid, akhlak, ibadah (fiqh), dan syariat, melainkan memberi pula aturan tetang makanan dan minuman yang menyehatkan bagi tubuh. Mengapa demikian? Karena kesehatan tubuh akan sangat memengaruhi praktik ibadah (menjalankan kewajiban sebagai hamba yang harus mengabdi pada Allah), bersyariat (menjalankan hukum Allah), dan berakhlak (bersosialisasi dengan sesama manusia).
Makanan yang baik dalam pandangan Islam memiliki dua aspek, yaitu halaalan thoyiban.
- Pertama, halaalan. Makanan yang kita konsumsi untuk kepentingan tubuh kita harus halal, baik halal lidzatihi (halal zatnya) mupun halal lighairihi (halal proses mendapatkannya). Makanan halal akan menjadi haram manakala proses atau cara mendapatkannya dengan cara haram. Banyak kasus menunjukkan, makanan yang didapatkan dengan cara tidak halal, meskipun zatnya halal dan baik, tidak mendatangkan keberkahan bagi yang mengonsumsinya.
- Kedua, makanan thoyiban (baik) harus mengandung gizi yang dibutuhkan tubuh sehingga menyehatkan. Penting bagi kita untuk mengatur pola makan yang baik, proporsional, dan menyehatkan. Al-Qur'an mengisyaratkan kepada kita bahwa makan hendaknya proporsional, sesuai dengan kapasitas perut kita.وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُواwakuloo waishraboo wala tusrifooMakan dan minumlah kalian, tetapi jangan berlebihan.
(QS. Al-A'raf: 31)
Makan adalah sebuah keharusan, bahkan wajib hukumnya bagi setiap orang, kecuali bagi mereka yang sedang meniatkan diri melaksanakan shaum untuk mengharap ridha Allah. Orang yang sengaja tidak makan, tanpa diniati dengan puasa, termasuk perbuatan dzalim pada diri sendiri. Mogok makan atau mogok minum adalah tindakan menyalahi sunatullah yang diharamkan Islam. Sebaliknya, jika makan dan minum sesuai dengan aturan, penuh dengan rasa syukur, dan dilaksanakan dengan ikhlas, selain akan mendapatkan kemaslahatan bagi tubuh, juga akan dicatat oleh Rokib sebagai aktivitas yang bernilai ibadah.
Argumentasinya apa? Kaidah ushul fiqh mengatakan, sesuatu yang menyebabkan kepada yang wajib adalah wajib. Beribadah itu harus khusyuk. Salah satu kondisi yang mendukung kekhusyukan dalam ibadah adalah sehat fisik. Jadi, sehat itu wajib.
Kesehatan fisik akan didapatkan dari makanan bergizi, makanan yang memenuhi zat-zat yang diperlukan tubuh, seperti karbohidrat, protein, lemak, air, dan sejumlah zat pendukung berupa vitamin. Dengan demikian, mengonsumsi makanan yang bergizi adalah wajib hukumnya.
Jadi, sebaiknya makan dan minumlah secukupnya, makan yang bergizi dan higienis, berolah raga secukupnya, dan beristirahat secukupnya. Antara pola makan, aktivitas kerja, dan istirahat haruslah disesuaikan dan diseimbangkan, karena Allah telah menjadikan manusia dengan sangat proporsional, dengan pola yang sangat seimbang.
وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
WajaAAalna nawmakum subatan
WajaAAalna allayla libasan
WajaAAalna alnnahara maAAashan
WajaAAalna allayla libasan
WajaAAalna alnnahara maAAashan
dan Kami menjadikan tidur-mu untuk istirahat, dan menjadikan malam sebagai selimut, dan menjadikan siang untuk bekerja. (QS. An-Naba: 9-11)
Akhirnya, jika makanan yang kita konsumsi temasuk makanan yang baik (thoyib), bergizi, higienis, lalu masuk ke dalam perut secara proporsional, kemudian dicerna dengan baik pula, akan mendatangkan kemanfaatan bagi tubuh. Tubuh akan segar, bugar, sehat, dan bertenaga.
Makanan halal yang didapat dengan cara yang halal pun akan menimbulkan ketenangan batin. Dengan demikian, tatkala ada panggilan untuk ibadah dan bermuamallah dalam upaya menegakkan syariat Islam, akan dijalaninya dengan penuh kesungguhan, semangat, ikhlas, dan khusyuk karena tidak ada kendala baik dalam fisik maupun kejiwaan. Pola makan yang baik akan memengaruhi pelaksanaan ibadah dan muamalah.***
[Ditulis oleh NANA SUKMANA, Pengurus DKM Asy-Syifa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bhakti Kencana Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 8 Juni 2012 / 18 Rajab 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment