Ikhlas adalah kata yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dipraktikkan dalam beramal sehari-hari. Kita sering merasa sudah berbuat baik dan beramal saleh. Padahal, belum tentu amal yang kita lakukan itu bernilai pahala di sisi Allah.
Abdullah bin Mubarak, seorang ulama salaf pernah berkata, "Jangan meremehkan amal-amal kecil. Betapa banyak amal kecil berpahala besar karena niat dan betapa banyak amal besar tetapi kecil pahalanya juga karena niat." Untuk memperkuat hal ini, Abu Hurairah berkata,
"Aku pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda, "Sungguh manusia pertama yang akan dihisab pada hari kiamat, yaitu
- Pertama, seorang yang berperang lalu mati syahid. Ketika di akhirat, dia didatangkan kepada Allah, lalu ditanya, 'Apa yang telah engkau lakukan di dunia?' Ia menjawab, 'Aku telah berperang semata-mata karena Engkau ya Allah sehingga aku mati syahid.' Lalu dikatakan kepadanya, 'Engkau telah berdusta!' Kemudian orang itu diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka.
- Kedua, seseorang yang belajar ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur'an. Ketika ia didatangkan dan ditanya, 'Apa yang engkau lakukan di dunia?' Ia menjawab, 'Aku telah belajar ilmu dan mengamalkannya, aku membaca Al-Qur'an semata-mata karena Engkau ya Allah.' Lalu dikatakan kepadanya, 'Engkau telah berdusta, engkau belajar agar disebut orang pandai. Engkau membaca Al-Qur'an agar ingin disebut qari (pandai membaca Al-Qur'an).' Kemudian ia diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka.
- Ketiga, seseorang yang Allah lapangkan kepadanya beragam rezeki, lalu ia didatangkan di akhirat. 'Apa yang telah kau lakukan dengan hartamu?' Ia menjawab, 'Aku telah menginfakkannya di jalan yang Engkau cintai.' Dikatakan kepadanya, 'Engkau telah berdusta! Engkau mengeluarkan hartamu agar disebut orang dermawan.' Kemudian ia diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka." (HR. Muslim)
Hadits ini sangat mengejutkan, manusia yang digambarkan dalam riwayat ini adalah orang-orang yang merasa baik dan mulia selama di dunia. Seorang pejuang yang mati syahid, ulama yang banyak ilmunya, dan seorang dermawan karena kekayaannya. Akan tetapi, karena amal-amalnya tidak disertai keikhlasan, hasil akhirnya ia diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka.
Bagaimana dengan amal kita? sepertinya kita harus lebih banyak introspeksi diri atas segala amal yang kita kerjakan. Jangan-jangan semua yang kita bicarakan hanya karena ingin mendapat simpati dan acungan jempol dari rekan kerja. Jangan-jangan kerja keras kita di kantor hanya karena ingin mendapatkan perhatian lebih dari atasan kita. Jangan-jangan shalat kita lebih lama saat berjemaah daripada shalat sendirian hanya karena ingin disebut khusyuk oleh banyak orang. Jangan-jangan kita menginfakkan harta kita hanya karena ingin disebut dermawan. Jika demikian nyatanya, habislah kita nanti di hadapan Allah, saat diminta pertanggungjawaban atas semua amal kita karena bukan pahala yang kita dapatkan melainkan murka dan api neraka yang akan kita terima.
Lalu, bagaimana kita mengetahui keikhlasan seseorang. Paling tidak ada beberapa ciri yang dapat ditunjukkan kerja yang ikhlas. Orang ikhlas jarang sekali merasa kecewa dalam hidupnya. Orang ikhlas tidak pernah berubah-ubah sikapnya karena penilaian orang. Dia tetap stabil seandainya ada orang memujinya atau tidak memujinya atau bahkan mencaci maki dirinya. Dia yakin. amalnya bukan untuk mendapatkan penilaian manusia yang sering berubah-ubah. Akan tetapi, dia bulatkan seutuhnya hanya karena ingin mendapatkan penilaian sempurna dari Allah SWT.
Orang ikhlas tidak menggantungkan dirinya dan berharap pada makhluk lain. Ali bin Abi Thalib RA. pernah berkata, "Orang ikhlas itu jangankan untuk mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun ia sama sekali tidak pernah mengharapkannya." Karena setiap kita beramal hakikatnya sedang berinterkasi dengan Allah. Olah karena itu, harapan yang ada senantiasa terkait dan bergantung kepada keridhaan Allah semata.
Orang ikhlas tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil. Diriwayatkan bahwa Imam Al-Ghazali pernah bermimpi, dan dalam mimpinya dia mendapatkan kabar bahwa amalan kecil yang pernah ia lakukan, yaitu saat menyelamatkan seekor lalat yang tercebur di dalam botol tinta, ternyata itu bernilai pahala besar di sisi Allah. Oleh karena itu, sekecil apa pun suatu amal, apabila kita kerjakan dengan sempurna dan benar-benar tiada harapan selain keridhaan Allah, maka akan menjadi amal yang sangat bernilai di hadapan Allah SWT.
Orang ikhlas sering merahasiakan amal kebaikannya. Mungkin ketika kita membaca Al-Qur'an di antara orang banyak, kita akan melakukannya dengan penuh semangat dan khidmat. Ketika kita shalat berjemaah, apalagi sebagai imam biasanya kita akan berusaha khusyuk dan lama dengan memanjangkan bacaannya. Akan tetapi, akankah hal itu kita lakukan dengan kadar yang sama saat kita membaca Al-Qur'an dan shalat sendirian? Apabila amal kita tetap sama atau bahkan cenderung lebih baik, lebih enak, lebih khusyuk saat sendiri, maka itu bisa diharapkan sebagai amalan yang ikhlas. Akan tetapi, bila sebaliknya, ada kemungkinan amal yang kita lakukan masih belum ikhlas.
Orang ikhlas akan melupakan kebaikannya setelah beramal. Fitrah manusia adalah ingin mendapatkan pengakuan dan penilaian dari setiap amal dan kontribusinya. Namun, pengakuan dan penilaian makhluk, baik perorangan, organisasi, maupun instansi tempat kerja bersifat relatif atau sering berubah-ubah. Sering kita menyaksikan orang yang ingin disebut-sebut namanya setelah melakukan kebaikan, atau ingin dicatat namanya di papan besar agar semua orang mengetahui bahwa ia telah melakukan amal baik. Akan tetapi, tidak demikian dengan orang yang ikhlas.
Untuk belajar ikhlas lebih dalam, mari kita perhatikan cara-cara kaum Salafus Saleh dalam menjaga keikhlasannya.
Istri Hasan bin Sinan bercerita, "Biasanya, ketika Hasan masuk kamar dan berbaring bersamaku, ia mengelabuiku seperti seorang ibu mengelabui anaknya. Ketika dia mengira aku sudah tidur, maka ia bangun dan keluar untuk berwudhu dan shalat."
Ayyub As-Sakhtiyani ketika sedang membaca Al-Qur'an dan ada orang yang lewat, maka ia berpura-pura seperti orang yang terkena flu, ia pura-pura sibuk dengan penyakitnya. Ketika orang lewat itu sudah tidak terlihat, ia kembali tenggelam dengan bacaan Al-Qur'an-nya bahkan hingga menangis.
Imam Asy-Syafi'i sering memoles bibirnya dengan minyak saat sedang berpuasa sunah agar orang-orang mengetahui bahwa ia baru saja makan dan minum, seperti orang yang tidak berpuasa.
Istri Hasan bin Sinan bercerita, "Biasanya, ketika Hasan masuk kamar dan berbaring bersamaku, ia mengelabuiku seperti seorang ibu mengelabui anaknya. Ketika dia mengira aku sudah tidur, maka ia bangun dan keluar untuk berwudhu dan shalat."
Ayyub As-Sakhtiyani ketika sedang membaca Al-Qur'an dan ada orang yang lewat, maka ia berpura-pura seperti orang yang terkena flu, ia pura-pura sibuk dengan penyakitnya. Ketika orang lewat itu sudah tidak terlihat, ia kembali tenggelam dengan bacaan Al-Qur'an-nya bahkan hingga menangis.
Imam Asy-Syafi'i sering memoles bibirnya dengan minyak saat sedang berpuasa sunah agar orang-orang mengetahui bahwa ia baru saja makan dan minum, seperti orang yang tidak berpuasa.
Begitu berharganya nilai suatu keikhlasan hingga setiap amal yang disertai dengannya akan mendapatkan derajat pahala di hadapan Allah. Setiap orang mempunyai kesempatan untuk mampu beramal, tetapi tidak setiap amal yang dilakukannya bernilai di sisi Allah. Bisa saja bernilai di hadapan manusia tetapi belum tentu bernilai di sisi Allah. Karena ikhlas cukup sulit untuk disertakan dalam setiap amal, kita harus terus-menerus belajar menjaga niat dan tujuan setiap amal yang kita kerjakan.
Semoga kita termasuk pada golongan orang-orang yang ikhlas.
Semoga kita termasuk pada golongan orang-orang yang ikhlas.
Wallahua'lam bisshawab.***
[Ditulis oleh USEP SAEFUROHMAN, Koordinator Umum Kajian Ilmu Muslim Muda (KIMM) Bandung, pegiat Kajian Islam Pemuda Yayasan Pesantren Islam (YPI) Pacet Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi JUmat (Kliwon) 11 Januari 2013 / 28 Safar 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment