Lima, liman, dan kaifa. Mengapa, karena siapa, dan bagaimana. Visi, misi, landasan, maksud dan tujuan; niat dan motivasi; kaifiat, mekanisme, srategi, atau cara, senantiasa wujud menyertai setiap tindakan dan perbuatan manusia di dunia ini ketika ia menghendaki dan mengupayakan suatu pencapaian.
Pertanyaan-pertanyaan ini wajib dipedulikan untuk disertakan dan dibaurkan jawabannya ke dalam setiap perkataan dan tindakan, ketiadaan jawaban atau ketidakbenaran jawaban, menunjukkan betapa direndahkannya arti atau nilai dari wujud kemanusiaan.
Binatang-binatang di darat, laut, dan udara, semua telah memberikan jawaban terhadap seluruh pertanyaan itu dengan tepat, cermat, dan benar. Demikian pula benda-benda antariksa, bumi dengan segala isi perutnya, serta laut dengan seluruh kekayaannya, jawaban-jawabannya benar karena senantiasa bertasbih dan bersujud kepada Khaliknya. Firman Alah SWT.,
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ
الثَّرَىٰ
وَإِن تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى
وَإِن تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى
Lahu ma fee alssamawati wama fee alardi wama baynahuma wama tahta alththara
Wain tajhar bialqawli fainnahu yaAAlamu alssirra waakhfa
Wain tajhar bialqawli fainnahu yaAAlamu alssirra waakhfa
Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (QS. Thaha(20): 6-7)
Ketika tanggung jawab terhadap alam ini ditawarkan kepada malaikat, mereka menolak. Lalu ditawarkan kepada gunung-gunung, mereka pun menolak. Akhirnya ditawaran kepada manusia, mereka menerima. Penerimaan manusia itu bukan kerena keperkasaan atau kearifan, melainkan karena kedzaliman dan kejahilan. Ya, itulah manusia yang dzalim, tamak, dan jahil. Allah SWT. berfirman,
إِنَّا عَرَضْنَا
الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ
كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Inna AAaradna alamanata AAala alssamawati waalardi waaljibali faabayna an yahmilnaha waashfaqna minha wahamalaha alinsanu innahu kana thalooman jahoolan
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab(33): 72)
Sesungguhnya permasalahan yang paling mendasar dan senantiasa urgen dalam setiap waktu dan tempat bagi manusia adalah bagaimana manusia dapat memanusiakan dirinya. Dirinya artinya hati nurani dan pikirannya yang akan memproses segala permasalahan yang masuk ke dalamnya, lalu bersinergi dengan saraf-saraf di seluruh badannya. Dengan demikian akan tercipta alur komunikasi yang lancar dan jernih antara hati dan pikirannya yang pada waktunya akan melahirkan khuluq dan akhlakul karimah.
Jika seorang pedagang hanya memikirkan laba, setiap saatnya menghitung, pagi sore dan petang, hatinya akan panas, kering, dan mengeras lalu membatu, bahkan lebih keras lagi, sehingga sama sekali tidak lagi dapat menyerap norma-norma apalagi hidayah Allah SWT. karena memandang kehidupan di sekililingnya dengan kacamata laba. Si miskin, si lemah, si bodoh, semua dipandang demi pertambahan laba. Tiada lagi belas kasihan, tega hatinya untuk mengisap darah dan keringat mereka demi kocek yang makin menebal, meskipun sebenarnya hanya bentuk angka-angka dan benda-benda. Habislah waktunya hanya untuk demikan. Pernah pun ia tampil baik, berbudi, dan penuh perhatian kepada orang lain, terutama yang lemah, itu sekadar pencitraan dalam menaikkan laba yang menjadi Tuhan bagi dirinya.
Melihat yang lebih kaya, yang lebih berjabatan, lebih kuat, tidak sungkan untuk menyuap bahkan menjilat tidak lain demi angka-angka dan benda-benda. Jika ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan, niat, bagaimana dan mau ke mana, pasti jawabannya benar menurut hawa nafsu dan birahinya, tetapi pasti salah menurut Sang Khaliq Yang telah menciptakan dirinya.
Demonstrasi menjadi ajang dan sarana menyampaikan aspirasi yang pada saat ini dianggap paling efektif, pressure group dianggap merupakan kemestian untuk mencapai maksud dan tujuan, mahasiswa, karyawan, dan masyarakat pada umumnya, jika tanpa memiliki landasan akidah, lalu dicari kaifiat yang lebih berakhlak, mereka hanya akan menjadi komoditas dan alat yang dimanfaatkan oleh sekelompok manusia yang memiliki kepentingan sempit sesaat. Mereka tak ubahnya buih di atas air bah yang terhanyutkan ke mana pun air itu membawanya mengalir. Celakanya, kejadian ini dialami oleh yang mengaku Islam.
Seseorang pergi ke kantor setiap pagi untuk pulang pada sore harinya. Terkadang tidak jarang ia harus pulang malam. Apa yang diperjuangkannya? Bila berangkat pada hari itu karena agar dapat berangkat lagi esok harinya, habis waktu hanya untuk demikian. Tak ubahnya seorang petani. Setiap pagi berangkat untuk mengurus sawah dan tanamannya, ia mengurus semua itu agar dapat makan, dan ia makan agar dapat terus bercocok tanam. Habis waktu hanya untuk demikian.
"Bahwa iman itu ada 77 cabang. Yang paling tingginya adalah kalimat Lailahaillallah dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan ramai dan rasa malu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Setiap Muslim sepanjang hidupnya dituntut untuk beramal saleh. Beramal saleh ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi setiap amal saleh itu tidak boleh terlepas dari keimanan berdasarkan Lailahailallah. Itu sebabnya berpuluh-puluh ayat di dalam Al-Qur'an senantiasa menggandengkan amal saleh dengan keimanan.
Amal saleh hanya akan tercipta dari rasa mahabah kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya. Rasa mahabah kepada Allah dan Rasul-Nya yang hakiki mesti akan menghilangkan iri dengki, benci, dan sifat menghasut. Hal ini pernah ditawarkan oleh Rasulullah SAW. dengan sabdanya,
"Maukah kalian aku tunjukkan kepada amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum dan sedakah? Yaitu memperbaiki hubungan dua orang yang sedang berselisih. Sesungguhnya rusaknya hubungan itulah yang merusak." (HR. Abu Daud dan Attirmidzi)
Di atas landasan tauhidullah, mahabah itu bisa dikembangkan khususnya di antara manusia menjadi situasi takaful (saling menanggung/saling peduli), ta'awun (saling menolong), tanashur (saling mendukung), dan tarahum (saling mengasihi). Situasi seperti ini sebenarnya merupakan cita-cita seluruh umat Islam di mana pun dan kapan pun. Karena apalah artinya shalat, shaum, zakat, infak, dan sedakah bila semua pengerjaannya dilandasi oleh sifat-sifat iri dengki dan saling menghasut, yang bermuara pada kedzaliman.
Cita-cita yang amat luhur ini, sebenarnya dengan segera dapat tercipta apabila semua individu memulai setiap pekerjaan dan perkataannya atas dasar keimanan kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya. Cinta atau rasa mahabah di antara manusia. Hal ini dahulu disampaikan oleh Rasululah SAW. ketika menjawab pertanyaan seorang laki-laki tentang kepada siapa dia harus berbuat baik,
"Ibumu, ibumu, ibumu." Kemudian siapa lagi? "Bapakmu." Kemudian siapa lagi, "Keluarga yang paling dekat kepadamu kemudian keluarga yang dekat." (HR Muslim)
Bila setiap individu mendapatkan situasi yang kondusif untuk takaful, ta'wun, tanashur, dan tarahum dimulai dari rumah tangganya, niscaya ia akan keluar rumah dengan membawa suasana itu, di sekolah, di kantor, di sawah, di ladang, dan di tempat-tempat lainnya. Bila demikian keadaannya, termaknakanlah kata-kata rahmatan lil 'alamin. Oleh karena itu, lebih baik segera habis waktu dalam keridhaan Allah SWT. daripada masih panjang waktu dalam kemurkaan-Nya. ***
[Ditulis oleh WAWAN SHOFWAN SHALEHUDDIN, Ketua Bidang Da'wah PP. Persis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 28 Februari 2013 / 17 Rabiul AKhir 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]
by
0 comments:
Post a Comment