Keajaiban sedekah mungkin sering didengar, baik dalam bentuk tuntunan maupun penuturan pengalaman seseorang. Bagaimana dengan utang? Apakah juga menyimpan keajaiban dan keunikan sebagaimana sedekah?
Banyak hadits terkait soal utang. Mereka yang memberi bantuan meminjamkan utang, disebutkan oleh Rasulullah SAW., pahalanya separuh dari bersedekah.
Dari Ibnu Mas'ud RA.,
Dari Ibnu Mas'ud RA.,
"Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda bahwa seorang Muslim yang mempiutangi seorang Muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali."
Logikanya sederhana, mengapa memberi utang itu walau tak mengurangi harta pemberi utang, bernilai tinggi. Ada semangat menolong yang luar biasa. Bahkan, kadang bisa lebih bernilai secara ekonomi dari sedekah.
Ketika seseorang bersedekah, mungkin juga orang yang diberi sebenarnya secara ril saat itu tidak terlalu membutuhkan. Berbeda dengan orang yang datang ingin meminjam uang. Kecuali yang memang hobi berutang, mereka biasanya memanfaatkan "fasilitas" itu karena terpaksa. Benar-benar terdesak kebutuhan.
Memberi bantuan pinjaman, tentu saja tanpa bunga (tanpa riba) bernilai tinggi. Mereka itu, mengutip hadits qudsi, tergolong orang-orang yang memudahkan dan membantu saudaranya.
"Barang siapa mempermudah urusan hamba-Ku, akan dipermudah urusannya."
Keajaibannya bagi pemberi pinjaman, memang tak terlihat seperti sedekah, karena biasanya tak terlalu dirasakan. Tidak dalam bentuk kelipatan harta, seperti halnya sedekah.
Yang menarik, ada keajaiban unik dalam proses utang piutang ini sesuatu yang kurang disadari hingga jarang mendapat perhatian apalagi dipraktikkan. Suatu keajaiban bermata pisau ganda yang akan dialami mereka yang berutang.
Mata pisau pertama, jika orang yang berutang itu lalai atau bersikap kurang peduli apalagi tak memperlihatkan iktikad baik untuk membayar, dijamin, ia justru akan makin terjerat kesulitan. Apalagi ketika sekali waktu mendapat rezeki, tetap juga berlagak lupa, kurang peduli untuk membayar. Kesulitan akan makin meningkat. Utang tak terbayar, rezeki yang didapat, kemungkinan besar akan habis.
Mengapa makin terjerat kesulitan? Secara ekonomi dan komunikasi sosial, mereka yang berutang itu tetap terjerat utang dan berpeluang bertambah utangnya. Kemungkinan kedua, karena masih punya utang di mana-mana dan biasanya menghindar dari pemberi utang, dia tanpa menyadari menutup jalan rezekinya sendiri.
Silaturahmi terhenti. Komunikasi dengan sesama makin sempit. Karena silaturrahmi berkurang, ruang-ruang peluang pun otomatis,berkurang. Rezeki pun kemungkinan besar berkurang. Sangat rasional sekali, tuntunan Islam menyangkut soal utang ini. Pararel dengan logika ekonomi.
Mata pisau kedua, kemudahan rezeki, bagi mereka yang bersemangat membayar utang. Ini kejaiban yang tak kalah dahsyat dari sedekah. Bahkan, bisa jadi lebih dahsyat. Namun, karena tertutup untuk menyeimbangkan keuangan, terkesan tak terlihat. Anda mungkin tak merasa mendapat rezeki besar, karena rezeki yang Anda dapat langsung sepenuhnya dibayarkan untuk utang. Jadi kurang terlihat sebagai tumpukan rezeki.
Ada jaminan Allah dan Rasul-Nya. Mereka yang bersemangat membayar utang akan dipermudah rezekinya. Selalu terbuka jalan keluar untuk membayar utang, jika seseorang memperlihatkan kesungguhan untuk membayar, yang dibuktikan dengan segera membayar utangnya ketika mendapat rezeki. Rasulullah SAW. bersabda,
"Barang siapa berutang dengan maksud melunasinya, maka Allah akan membantunya (untuk melunasinya)."
Disebutkan dalam hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda,
"Seseorang yang berutang dan Allah melihat yang bersangkutan berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menjadikan dia dapat melunasinya di dunia ini."
Bagaimana kalau rezeki yang diperoleh tak terlalu besar dan kebutuhan sendiri perlu juga dipenuhi? Bayarlah utang itu sebagian. Tak harus semuanya.
Katakanlah, Anda mempunyai utang Rp. 500.000,- lalu sekali waktu memperoleh rezeki Rp. 400.000,- dan masih ada keperluan memenuhi kebutuhan hidup. Tak perlu dibayar semua. Kebutuhan hidup tetap dipenuhi. Yang penting perlihatkan iktikad membayar utang walau mungkin hanya membayar sebagian. Jadi, bayarkan yang separuh dan penuhi kebutuhan hidup dari sisanya.
Konteks hadits Rasulullah SAW. pada persoalan utang, tidak menekan apalagi memaksa kita segera membayar keseluruhan. Mereka yang sedang tidak mampu membayar bahkan dianjurkan dibebaskan oleh si pemberi utang. Asal memang benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk membayar.
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Wain kana thoo AAusratin fanathiratun ila maysaratin waan tasaddaqoo khayrun lakum in kuntum taAAlamoona
Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih bagimu, jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah (2): 280)
Yang ditekankan di sini adalah iktikad dan kesungguhan untuk membayar. Jadi, ketika mampu hanya membayar separuh, bayar segera. Insya Allah, akan ada rezeki lain yang akan datang. Bukan bersikap sebaliknya ketika memiliki uang, tetapi tak memperlihatkan iktikad untuk melunasi utang.
Pilihannya sudah jelas. Dengan membayar utang, rezeki akan dipermudah. Namun, jika mengabaikan alias lalai membayar utang, akan mengalami kesulitan mendapat rezeki. ***
[Ditulis oleh MIQDAD HUSEIN, aktivis DDII, tinggal di Kota Depok. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 15 Maret 2013 / 3 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment