Suatu hari, Rasulullah SAW. berjalan bersama para sahabat Ketika tiba di perkampungan, mereka melihat seorang pemuda bertubuh kekar sedang bekerja membelah kayu bakar. "Sangat disayangkan, kok badan sekekar itu hanya digunakan untuk bekerja membelah kayu bakar. Alangkah baiknya jika ia berjuang di jalan Allah," gumam para sahabat.
Sambil tersenyum, Rasulullah SAW. berkata, "Sungguh, jika ia bekerja membelah kayu bakar agar tidak mengemis, berarti ia juga berjuang di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menafkahi keluarganya, berarti ia tengah berjuang di jalan Allah."
Selain kisah di atas, dikisahkan pula suatu ketika Rasulullah SAW. sedang memperhatikan seorang sahabat yang terkenal karena rajin beribadah. Dari pagi hingga malam, ia senantiasa beribadah di masjid. Hingga Rasul bertanya kepada kerabat sahabat tadi, "Jika ia terus-menerus beribadah di masjid, siapa yang menafkahi keluarganya?" "Saya, ya Rasulullah. Saya yang menafkahi keluarganya," jawab si kerabat. "Sungguh, kau jauh lebih baik darinya," kata Rasulullah.
Ternyata ada perbedaan antara Rasul dan para sahabat dalam memaknai ibadah. Para sahabat mempersempit makna ibadah hanya sebatas ritus formal, seperti dzikir, shalat, puasa, dan haji serta berjuang/berperang di jalan Allah. Lain halnya dengan Rasul yang memaknai ibadah tidak sesempit itu. Rasul memaknai ibadah dengan perspektif lebih luas. Membelah kayu bakar, mencari nafkah di luar rumah serta pekerjaan lainnya merupakan ibadah juga jika itu didasari sebagai pengabdian terhadap Allah SWT.
Bahkan, suatu saat Rasulullah SAW. mencium tangan sahabatnya yang kasar dan melepuh karena kerasnya pekerjaan yang ia lakukan. Hingga Rasul berkata, "Sungguh tangan inilah yang tidak akan tersentuh api neraka." Jadi sangat jelas, ibadah itu bukan semata-mata aktivitas-aktivitas ritus formal di masjid atau di tempat-tempat suci. Lebih dari itu, profesi apa pun yang kita jalankan sama-sama merupakan ibadah. Bahkan, bisa lebih baik dan lebih mulia jika landasan niatnya benar dan ikhlas karena Allah SWT.
Jika kita perhatikan, sebenarnya ibadah (ritus) yang dilakukan dalam ajaran Islam memiliki ciri yang sangat khas dibandingkan dengan agama lain. Jika ibadah dalam agama lain dilakukan dengan kondisi relatif diam, tenang, dan pasif, ibadah dalam Islam sangat dinamis dan penuh gerakan.
Contoh nyata shalat. Kalau direnungkan dari awal hingga akhir, seluruh aktivitas shalat disertai gerakan seluruh tubuh. Apalagi ibadah haji, sebagai ibadah paripurna seorang Muslim. Haji merupakan ibadah total yang penuh dengan gerakan fisik, melintasi batas-batas daerah tertentu. Dengan begitu, semua kegiatan ibadah ritus memiliki benang merah yang sama. Ibadah merupakan penyucian jiwa, pengisian dengan sifat-sifat suci Allah, pengagungan dan komunikasi dengan Allah, dan semua itu harus diwujudkan dalam amal saleh-kerja nyata kepada sesama. Iman saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan amal saleh, action, dan kerja nyata.
Al-Qur'an juga memerintahkan agar kita selalu mencari karunia Allah di bumi dengan bekerja sebagai ungkapan rasa syukur, bahkan setelah shalat pun kita dianjurkan untuk segera bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Sebagaimana firman Allah,
فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Faitha qudiyati alssalatu faintashiroo fee alardi waibtaghoo min fadli Allahi waothkuroo Allaha katheeran laAAallakum tuflihoona
Apabila telah ditunaikan sahlat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi. Dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. (QS. Al-Jumu'ah (62): 10)
Jadi, Muslim yang rajin shalat di masjid termasuk yang saleh tetapi lebih saleh jika sesudah shalat, ia juga rajin bekerja di luar rumah. Menurut penelitian, di era modern, ulama-ulama cerdas itu, ulama-ulama yang berdasi, direktur kantor mewah, dan pengusaha sukses terkenal, bukan lagi ulama-ulama berjubah sorban yang bermarkas di masiid. Ulama cerdas adalah yang mampu menyeimbangkan antara ibadah ritus formal dan ibadah kerja-nyata di luar rumah. Ibadahnya tekun, kerjanya juga hebat.
Ada anekdot menarik, konon di akhirat terjadi perdebatan antara guru, ulama, dan dokter. Mereka berebut siapa yang pantas duluan masuk surga karena besar dan bermanfaatnya amalan-amalan mereka. Sang ulama mengklaim dia adalah orang pertama yang pantas masuk surga karena jasanya mendakwahkan ajaran Islam. Seorang guru menganggap dialah yang pantas masuk surga terlebih dahulu karena jasanya mencerdaskan banyak generasi di muka bumi. Tidak mau kalah, seorang dokter pun dengan ngotot mengklaim dirinyalah yang pantas masuk surga, jasanya mengobati dan menyehatkan masyarakat banyak menjadi amalan andalan yang membuat ia pantas masuk surga.
Di tengah ramainya perdebatan mereka, datanglah seorang pengusaha sukses. Mereka bertiga kaget campur senang karena teringat kebaikan-kebaikan sang pengusaha ini. Sang ulama berkata, "Inilah pengusaha yang banyak jasanya, ia mendermakan hartanya untuk membangun masjid-masjid di daerahku sehingga meringankanku mendakwahkan ajaran Islam kepada para jemaah. Dibandingkan dengan amalku, pengusaha ini jauh lebih mulia amalnya."
Giliran sang guru yang berujar, "Pengusaha ini juga yang menjamin biaya pembangunan sekolah-sekolah di daerahku sehingga para guru nyaman dan mudah mengajarkan ilmu dan mencerdaskan generasi-generasi muda. Sungguh, amal pengusaha ini jauh lebih hebat dari amalku."
Terakhir giliran sang dokter, "Kalian berdua harus tahu, pengusaha ini juga yang membantu biaya pembangunan rumah sakit hingga para dokter mendapat kemudahan melayani kesehatan untuk masyarakat. Jika dibandingkan dengan amalku, amal pengusaha ini jauh lebih bermanfaat dariku." Akhirnya ketiga orang ini, yaitu ulama, guru, dan dokter, sepakat untuk mempersilakan sang pengusaha ini masuk surga mendahului mereka bertiga.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebaikan dan kesempurnaan seorang Muslim adalah ketika ia mampu menyeimbangkan antara ibadah yang bersifat ritus formal dan ibadah yang bersifat amalan dan kerja nyata di luar rumah, hingga kesalehannya bukan kesalehan individu semata, tetapi juga kesalehan sosial.
Wallahualam Bissawab....***
[Ditulis oleh USEP SAEFUROHMAN, Koordinator Umum Kajian Ilmu Muslim Muda (KIMM) Kabupaten Bandung, pegiat Kajian Islam Ilmiah Pemuda Yayasan Pesantren Islam (YPI) Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" edisi Jumat (Wage), 5 April 2013/24 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
1 comments:
Ada ada aja, dimana mana itu yang berpotensi masuk syurga itu ULAMA. Umar bin khotob itu ulama,sahabat nabi itu ulama. Kok malah pengusaha sukses.kok di adu ama dokter.welehh...weleh.. Sebanyak apapun harta seseorang dan sedekahnya,, tetap lebih mulia orang yang berilmu yaitu ulama. Banyak orang bercita cita jadi dokter,banyak orang bercita cita jadi pengusaha.yang jadi ulama? Sedikit sekali,karena untuk menjadi ulama itu harus menahan hawa nafsu,tidak tamak,rendah hati,rajin ibadah,banyak menghapal alqur'an dan hadist,dll. Masak pengusaha yang masuk culga.eneng eneng wae. Ajaran islam tak mengajarkan kaya raya,coba cari hadist yang mengajarkan tips sukses,ada tidak? Bekerja itu supaya tidak mengemis,kalo rejeki di beri melimpah ruah,itu kehendak ALLAH. Kalo uang di tangan ulama pasti ngalir ke yang baik,kalo uang ke selain ulama? Hayooo... Dah ah.. Capek.
Post a Comment