Dalam mengarungi kehidupan, semestinya manusia Mukmin senantiasa insaf bahwa dirinya harus terus berusaha lebih baik dan berjuang sebab hidup memang perjuangan. Dalam perjuangan untuk mencapai sesuatu, harus siap menghadapi hasil, yakni berhasil, belum berhasil, atau tidak berhasil. Yang paling harus disadari dan diketahui sebelumnya dengan baik adalah akibat yang akan timbul pada diri, keluarga, bahkan masyarakat akibat dari perjuangannya itu.
Umpamanya sekarang dibuka lebar pendaftaran calon anggota legislatif, untuk tingkat kota/ kabupaten, provinsi, dan pusat. Seyogianya semua menyadari bahwa pintu ujian dan pengorbanan telah dibuka lebar. Barang siapa yang memasukinya, wajib menyadari bahwa ia memasuki pintu ujian itu.
Biaya yang wajib dikeluarkan untuk mencapai maksud tersebut tentulah tidak sedikit, baik moril maupun materiil. Dari pengorbanan yang sama, hasilnya bisa berhasil bisa gagal. Itulah risiko.
Biasanya manusia akan sumringah apabila berjumpa dengan keberhasilan, tertawa terbahak-bahak, atau paling tidak tersenyum lebar untuk menandai kegemibiraannya. Bahkan, selanjutnya tidak jarang kegembiraan ini menjadi cikal bakal gerakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Akan tetapi, sebaliknya manusia lemah lunglai, kecewa, dan bermuram durja bila harus menanggung kegagalan. Inilah yang sering menjadi gerakan kriminal, stres, atau depresi. Padahal, bila disadari, sesungguhnya keberhasilan dan kegagalan itu dua sisi dari cobaan atau ujian, dengan beban perasaan berbeda yang diatur sedemikian sempurnanya oleh Allah SWT.
Allah SWT. berfirman,
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا
Inna alinsana khuliqa halooAAan
Itha massahu alshsharru jazooAAan
Itha massahu alshsharru jazooAAan
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. (QS. Al-Ma'arij (70): 19-21)
Kegembiraan manusia dalam menerima keberhasilan, mesti diekspresikan dengan cara yang benar, proporsional, dan mengenal batas, diiringi dengan rencana dan aksi baik. Bila kegembiraan itu berlebihan, tidak jarang akan menimbulkan sifat kibir (congkak dan sombong) yang dapat mengakibatkan rasa jumawa bahwa keberhasilan itu hanya karena kehebatan dirinya.
Bila sudah dalam keadaan demikian, tentu ia tidak akan lagi mempersiapkan mentalnya untuk suatu saat menerima batas kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya bahkan kegagalan. Optimistis tidak lagi menghiasi perjuangannya, nafsu syaithaniyah dan penyakit mental yang setiap saat semakin parah menunggunya.
Sifat sombong dan lupa diri dalam menyikapi suatu keberhasilan pada gilirannya akan menimbulkan penyakit mental. Bila tidak segera disadari, suatu saat akan berbuah bukan hanya stres tetapi juga depresi. Yaitu ketika harus berhadapan dengan kegagalan, ia akan lunglai, tidak percaya diri, murung, putus asa, dan pada akhirnya akan merasa bahwa hidupnya tidak berguna lagi. Jika sudah demikian keadaannya, tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan diri, mengembalikan sifat optimistis.
Akibat stres yang berat apalagi depresi, biasanya akan tampak pada jasmani dengan makan tak enak, tidur tak nyenyak, terasa gatal-gatal di seluruh badan, yang pada giliranya akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran peredaran darah dan kesehatan jantung serta organ lainnya.
Para ahli mengatakan, sikap pesimis akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran peredaran darah dan kesehatan jantung. Pada orang yang senantiasa optimistis dan mampu mengontrol hawa nafsu dengan baik, secara ilmiah sukar didapatkan penyakit jantung ataupun stroke.
Bagi orang-orang yang beriman dan mengamalkan keimanannya, tidak susah untuk menangkal atau mengobati stres yang menimpa. Bahkan, bila keimanan sedang meningkat, mustahil akan dihinggapi depresi mental, karena sudah sejak awal senantiasa mendapat bantuan dari kesabaran dan shalat yang didirikannya.
Firman Allah SWT.,
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
WaistaAAeenoo bialssabri waalssalati wainnaha lakabeeratun illa AAala alkhashiAAeena
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (QS. Al Baqarah (2): 45)
Di sisi lain, orang-orang yang beriman senantiasa meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan adalah kehendak Allah SWT. Keduanya adalah dua sisi yang merupakan sunnatullah. Semua itu tiada lain untuk menguji keimanan dan kesabaran. Ketika diuji dengan keberhasilan, tidak akan takabur bahkan syukur, dan senantiasa mawas diri. Lalu ketika ditimpa dengan ujian kegagalan, tidak akan kecewa secara berlebihan, bahkan sabar dan tawakal, jauh dari sikap suudzan billah.
Keberhasilan dan kegagalan sama-sama dapat mempertebal keimanan dan kesabaran. Setelah shalat, ada doa yang senantiasa diucapkan,
"Allahumma laa maani'a lima a'thait, wa laa mu'tiya limaa mana'ta, wa laa yanfa'u dzaljaddi minkaljad-du." (Ya Allah Tuhan kami, tiada apa pun penghalang terhadap apa yang Engkau berikan dan tiada apa pun pemberi terhadap apa yang Engkau halangi dan tidak bermanfaat pemilik kemuliaan kalau bukan kemuliaan dari-Mu.) (Hadits Sahih Mutafaq alaih)
Bila doa ini dipanjatkan dan benar-benar keluar dari hati sanubari yang bening, dipanjatkan baik ketika mendapatkan keberhasilan maupun kegagalan, sungguh sangat jauh dari penderitaan depresi mental yang amat menyusahkan.
Tidak jadi mendapatkan kewenangan dan jabatan yang diidamkan, kehilangan jabatan, perusahaan, karya, kesehatan, atau apa saja yang bersifat duniawi, tidak akan menyebabkan orang yang beriman pesimis. Sebaliknya, justru akan sangat dirasakan bahwa sabda Rasulullah SAW. itu benar adanya.
Dari Aisyah, "Dari Nabi SAW., beliau bersabda, 'Dua rakaat sebelum subuh adalah lebih baik dari dunia dan segala isinya'." (HR. Ahmad, Muslim, At-Tirmizi)
Apalagi pada situasi manusia sudah sangat saling berlomba untuk mendapatkan dunia, seolah dunia ini ingin ditelannya bulat-bulat. Persahabatan menjadi sangat semu, kepentingan pribadi dan kelompok menjadi imam dalam hati, sehingga seperti bersatu padahal di lubuk hatinya sesungguhnya bercerai-berai.
Mari kita senantiasa takarub kepada Allah SWT., yakni dengan apa pun yang diridhai-Nya. Husnudzan dan senantiasa menjauhkan diri dari suudzan kepada Allah SWT. Selanjutnya meluruskan niat suci, bekerja dengan ikhlas, bersosialisasi dengan baik dan wajar dengan lingkungan di sekelilingnya, Insya Allah akan jauh dari ketertekanan jiwa yang berat atau berlebihan.
Wallahu a'lam bish-shawab. ***
[Ditulis oleh WAWAN SHOFWAN SHALEHUDDIN, Ketua Bidang Dakwah PP. Persis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 25 April 2013 / 14 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]
by
0 comments:
Post a Comment