MENJAGA RASA MALU

Maraknya kejahatan di lingkungan masyarakat, korupsi yang tak henti, tingkat kriminalitas yang semakin meningkat, pornografi dan pornoaksi yang kian merajalela, dahsyatnya maksiat yang kian menggeliat merupakan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita sudah kehilangan rasa malu atas perilaku-perilaku yang jauh dari nilai-nilai agama dan moral.

Setiap hari, setiap jam dan menit, masyarakat kita disuguhi makanan empuk berupa berita-berita kejahatan, baik yang dilakukan oleh masyarakat kelas atas maupun kelas bawah, baik yang dilakukan orang per orang maupun secara berkelompok. Anak-anak disuguhi aksi-aksi kekerasan, penindasan, penganiayaan, dan adegan-adegan tak senonoh yang merusak moral masa depan. Kawin cerai, perselingkuhan, pemerkosaan, dan sederet fenomena maksiat yang telah mengikis sendi-sendi keimanan dan keislaman diri seorang manusia. Parahnya, semua kemaksiatan itu dilakukan tidak secara sembunyi-sembunyi, melainkan secara terang-terangan dengan penuh kebanggaan dan keberanian. Bukankah sikap seperti ini yang menunjukkan rasa malu yang telah hilang?

Dulu seseorang merasa malu jika ketahuan berpacaran. Merasa terhina saat aibnya diketahui oleh orang lain. Namun sekarang berbalik, seseorang akan merasa bangga jika sudah berbuat dosa dan bangga karena dosanya melebihi rekor dosa orang lain. Padahal, sesungguhnya orang yang kehilangan rasa malunya, laksana kehilangan air kehidupahnya. Karena malu adalah sifat yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan dirinya untuk meninggalkan semua perilaku buruk dan mencegahnya dari perbuatan-perbuatan yang memalukan.

Jauh-jauh hari, Rasul SAW. telah menempatkan malu sebagai salah satu cabang iman. Dalam sabdanya yang terkenal,
"Iman itu ada enam puluh lebih cabang dan malu adalah salah satu cabangnya." (HR. Bukhari)

Karena malu merupakan sebagian dari keimanan kita, kehilangan rasa malu berarti kehilangan sebagian iman kita. Dan tidak sempurna keimanan seseorang jika tidak mampu menjaga rasa malunya. Menjaga rasa malu sama dengan menjaga keimanan kita agar tetap sempurna.

Mengapa rasa malu kian memudar dalam diri seseorang? Rasa malu memudar karena rasa takut terhadap azab Allah kian menipis. Saat rasa takut kepada Allah menipis, yang menjadi tolok ukur baik dan buruk adalah manusia, bukan Allah. Padahal Rasulullah SAW. telah memerintahkan kepada kita agar benar-benar menjaga rasa malu kepada Allah SWT. agar jalan menuju ke surga kian lapang dan mudah. Karena jalan manusia ke surga akan terhambat saat tidak dapat menjaga rasa malunya.

Rasulullah SAW. bersabda,
"Malulah kalian pada Allah SWT. dengan rasa malu yang sesungguhnya. Jagalah kepala dan yang ada padanya. Jagalah perut dan apa yang dikandungnya. Ingatlah kematian dan ujian. Maka barangsiapa yang melakukan itu, balasannya adalah Surga Ma'wa." (HR. At-Thabrani)

Hadits ini memerintahkan kita untuk menjaga rasa malu dengan menjaga kepala dan anggota yang ada padanya. Malunya mata tergambar pada saat mampu menahan untuk melihat sesuatu yang diharamkan agama. Malunya telinga pada saat dapat menahan dari bisikan-bisikan setan. Malunya mulut pada saat menahan gibah dan fitnah. Pun demikian dengan perkara perut. Banyak orang menghalalkan segala cara dan meninggalkan rasa malunya demi kepentingan perutnya. Maka sungguh benar hadits ini, jika ingin mudah jalan ke surga, kita harus menjaga rasa malu dengan tidak mengizinkan setiap anggota tubuh kita untuk melakukan dosa dan maksiat.

Seorang Muslim yang memiliki rasa malu pasti memfungsikan setiap anggota tubuhnya untuk kebaikan dunia akhirat. Mulutnya adalah kebaikan dzikir, telinganya adalah pahala mendengar kebaikan, matanya tak luput dari melihat tanda-tanda kekuasaan Allah. Perutnya tak pernah terisi makanan haram, dan kakinya selalu setia melangkah ke tempat-tempat yang diberkahi Allah SWT. Maka saat seorang Muslim menjaga rasa malunya, berarti ia telah mengenakan hiasan diri yang indah. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW.
"Malu adalah hiasan diri, takwa adalah kemuliaan, dan sebaik-baik kendaraan adalah sabar, sedangkan menunggu jalan keluar dari Allah SWT. adalah ibadah." (HR. Hakim At-Tirmidzi)


Hadits ini mengisyaratkan, malu adalah hiasan diri. Dalam kehidupan, hiasan diri identik dengan pakaian indah, perhiasan yang menempel di lengan dan anggota tubuh yang lain. Kita akan malu saat pakaian itu terlepas dari badan karena aurat kita terbuka.

Demikian juga dengan rasa malu dalam diri. Kita seharusnya malu saat aurat maksiat tersingkap dari dalam diri kita. Kita seharusnya benar-benar menyesal saat khilaf berlaku maksiat. Kita seharusnya bertobat jika telah berbuat kedzaliman yang menghinakan. Karena menjaga rasa malu, berarti menjaga perhiasan diri kita.

Rasulullah SAW. juga telah mengingatkan kita dalam sabdanya,
"Malu dan keimanan itu senantiasa berbarengan. Apabila salah satunya diangkat, yang lain akan dicabut pula." (HR. Muslim)


Ini menunjukkan, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, dia telah kehilangan imannya. Karena sesungguhnya orang yang beriman pasti memiliki rasa malu. Hilangnya rasa malu membuat seseorang mudah berjanji dan mudah pula mengingkarinya. Hilangnya rasa malu membuat seseorang ringan untuk menggibah, memfitnah, dan menghina sesamanya. Membuat seseorang mudah melakukan kawin cerai, berselingkuh, dan membuka auratnya.

Demikian halnya jika seseorang dapat menjaga rasa malunya. Maka dia akan memperoleh kebaikan berlimpah dan pahala dari Allah SWT. Memiliki rasa malu membuat seseorang akan melakukan kebaikan di saat ia berada di tengah orang banyak ataupun di saat sendirian. Ia akan malu melakukan dosa walaupun tak seorang manusia pun melihatnya karena dia yakin bahwa Allah Maha Mengetahui atas segala apa yang ia lakukan.

Bagaimana menjaga rasa malu pada diri kita? Hendaknya kita menanamkan sikap muraqabah dalam diri. Muraqabah berarti menanamkan kontrol diri, seolah-seolah kita melihat Allah saat kita melakukan kebaikan dan kalaupun tidak mampu begitu, kita seolah-olah merasa Allah mengawasi atas segala perbuatan yang kita lakukan. Dengan sikap muraqabah ini, kita akan lebih berhati-hati saat berkata, bersikap, dan berbuat karena kita selalu merasa ada dalam pengawasan Allah SWT. Dengan muraqabah ini, seseorang akan merasa semakin dekat dengan Allah karena menjadikan Allah sebagai satu-satunya penjaga dan pelindung.

Selanjutnya menjaga rasa malu dengan menanamkan kesadaran bahwa sekecil apa pun amal yang kita lakukan, baik atau buruk pasti akan mendapat balasan dari Allah SWT. Pahala kebaikan adalah surga dan balasan kejahatan dalah neraka. Menjaga rasa malu pahalanya surga dan bagi orang yang tidak memiliki rasa malu neraka adalah balasannya.

Rasa malu akan terlatih saat kita bergaul dengan orang-orang yang mampu menjaga rasa malunya. Ingat, lingkungan kita menunjukkan siapa diri kita karena lingkungan akan membentuk siapa diri kita sebenarnya. Dengan demikian, untuk meningkatkan derajat sebagai manusia saleh, mari kita menjaga keimanan kita dengan cara menjaga rasa malu. Malu dan keimanan itu senantiasa berbarengan. Jika rasa malu hilang, keimanan pun melayang.

Wallahu a 'lam bisshawab.***

[Ditulis oleh USEP SAEFUROHMAN, Koordinator Umum Kajian Ilmu Muslim Muda (KIMM) Kabupaten Bandung dan pegiat Majelis Taklim Pemuda Yayasan Pesantren Islam Wilayah Pacet. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 7 Oktober 2011 / 9 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: