Keinginan untuk mengunjungi Baitullah, sepertinya, menjadi semacam fitrah. Di dalam diri setiap Muslim, keinginan itu tebersit dan tumbuh memengaruh jiwa. Jangankan bagi orang yang belum pernah berkunjung, keinginan itu juga muncul di dalam diri orang-orang yang berulang kali pergi ke sana. Rasa rindu yang menggebu mendorong mereka untuk kembali. Apalagi, ketika beribadah di sana, mereka merasakan nuansa dan sensasi yang berbeda.
Sekilas, ibadah haji tak lebih dari sekadar ritus napak tilas terhadap apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim AS. dan keluarganya (lalu "dipertegas" oleh Nabi Muhammad SAW.). Para jemaah diharuskan untuk bergerak dari satu tempat lain di Kota Mekah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Namun, siapa sangka, di dalam rangkaian ritus itu ternyata tersimpan sejumlah rahasia untuk diambil sebagai ibrah bagi para jemaah.
Berkaitan dengan hal itu, ada baiknya jika para jemaah memperhatikan sejumlah adab selama menjalankan ibadah haji. Syekh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Almaqdisy telah merangkum adab-adab itu di dalam Kitab Mukhtashar Minhaaj Alqaashidin.
Adab pertama yang harus diperhatikan, para jemaah harus membebaskan diri dari urusan perniagaan, serta utang-piutang yang bisa menyibukkan diri dan mengacaukan konsentrasi ibadah. Dalam hal ini, hendaknya jemaah menyatukan niat hanya untuk ketaatan kepada Allah.
Adab kedua, tidak membawa pelana yang bagus dan mewah. Di dalam konteks kekinian, pelana dimaknai sebagai bekal. Oleh karena itu, saat berhaji, para jemaah tidak diperkenankan membawa bekal, misalnya uang, dalam jumlah berlebih. Bekal yang dibawa cukupkan saja untuk memenuhi kebutuhan (bukan keinginan) hidup selama berhaji. Tatkala menunaikan ibadah haji, Rasulullah SAW. menunggang hewan dan berbekal pelana yang sudah usang.
Adab ketiga, jemaah harus waspada terhadap perbuatan riya' dan berbangga diri. Dua sifat itu sama sekali tak memberikan manfaat bagi dirinya, malah merusak amal ibadah yang telah ditunaikan. Oleh karena itu, begitu keluar rumah (untuk berhaji), jemaah hendaknya menganggap bahwa dirinya seakan-akan keluar dari dunia membawa kematian, menunggu tibanya hari kiamat.
Adab keempat, saat melepaskan pakaian lalu mengenakan ihram, hendaklah jemaah ingat bahwa seakan-akan dia sedang mengenakan kain kafan.
Adab kelima, saat mengucapkan talbiah, hendaknya jemaah mengharapkan pengabulan dari Allah, berharap agar seruannya diterima. Ketika tiba di Tanah Suci, dia harus mengharapkan perlindungan dari siksa. Harapan dan permohonannya harus dilakukan secara terus-menerus sebab saat itu merupakan saat-saat pengabulan doa.
Adab keenam, ketika melihat Baitulharam (Kabah), hendaknya dia merasakan keagungan-Nya dan mengucap syukur karena digolongkan orang-orang yang bisa berkunjung ke sana. Saat mencium atau melambai ke arah Hajar Aswad, hendaklah ia bersumpah setia kepada Allah untuk taat kepada-Nya.
Adab ketujuh, saat bersa'i antara Safa dan Marwah, jemaah harus menggambarkan dua tempat itu seperti dua timbangan. Dia akan mendatangi dua timbangan itu pada hari kiamat atau sekan-akan dia sedang mendatangi pintu tempat malaikat untuk mengharapkan belas kasih-Nya.
Adab kedelapan, ketika wukuf dan melihat begitu banyak manusia yang berkumpul di sana, bayangkanlah seakan-akan saat itu berada di Padang Mahsyar, saat di mana manusia berkumpul dan memohon syafa'at.
Adab kesembilan, saat melempar jumrah, niatkanlah untuk tunduk kepada perintah, menunjukkan ubudiyah dan ketundukan. Hal itu dilakukan semata karena mengikuti perintah, bukan tujuan lain.
Adab kesepuluh, ketika berkunjung ke Madinah, bayangkanlah bahwa itulah negeri yang dipilih Allah untuk Nabi-Nya saat berhijrah sekaligus menjadikannya sebagai tempat tinggal. Bayangkan pula tempat-tempat yang sering dilalui Rasulullah SAW., bagaimana kekhusyukan dan ketenangan Beliau. Jika berkesempatan menziarahi makam Rasul, bayangkanlah keagungan, kharisma, sosok yang mulia. Lalu, hadirkan pula kebesaran kedudukan Beliau di dalam hati. Ucapkan syalawat dan salam kepada Beliau. Ingatlah, sesungguhnya Beliau mengetahui kehadiran dan salammu.
Mudah-mudahan, sepuluh adab haji dan rahasia-rahasianya ini bisa menjadi bekal dalam perjalanan spiritual yang akan anda lalui. Semoga bermakna dan berkualitas.***
[Ditulis oleh : SAMSUL MA'ARIF, S.Ag., pegiat di Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (el-TAM) dan Pembina Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPR-MI) Kabupaten Bandung Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Rabu (Wage) 28 September 2011 / 29 Syawal 1432 H. pada Kolom "DI BALIK RITUS"]
by
Sekilas, ibadah haji tak lebih dari sekadar ritus napak tilas terhadap apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim AS. dan keluarganya (lalu "dipertegas" oleh Nabi Muhammad SAW.). Para jemaah diharuskan untuk bergerak dari satu tempat lain di Kota Mekah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Namun, siapa sangka, di dalam rangkaian ritus itu ternyata tersimpan sejumlah rahasia untuk diambil sebagai ibrah bagi para jemaah.
Berkaitan dengan hal itu, ada baiknya jika para jemaah memperhatikan sejumlah adab selama menjalankan ibadah haji. Syekh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Almaqdisy telah merangkum adab-adab itu di dalam Kitab Mukhtashar Minhaaj Alqaashidin.
Adab pertama yang harus diperhatikan, para jemaah harus membebaskan diri dari urusan perniagaan, serta utang-piutang yang bisa menyibukkan diri dan mengacaukan konsentrasi ibadah. Dalam hal ini, hendaknya jemaah menyatukan niat hanya untuk ketaatan kepada Allah.
Adab kedua, tidak membawa pelana yang bagus dan mewah. Di dalam konteks kekinian, pelana dimaknai sebagai bekal. Oleh karena itu, saat berhaji, para jemaah tidak diperkenankan membawa bekal, misalnya uang, dalam jumlah berlebih. Bekal yang dibawa cukupkan saja untuk memenuhi kebutuhan (bukan keinginan) hidup selama berhaji. Tatkala menunaikan ibadah haji, Rasulullah SAW. menunggang hewan dan berbekal pelana yang sudah usang.
Adab ketiga, jemaah harus waspada terhadap perbuatan riya' dan berbangga diri. Dua sifat itu sama sekali tak memberikan manfaat bagi dirinya, malah merusak amal ibadah yang telah ditunaikan. Oleh karena itu, begitu keluar rumah (untuk berhaji), jemaah hendaknya menganggap bahwa dirinya seakan-akan keluar dari dunia membawa kematian, menunggu tibanya hari kiamat.
Adab keempat, saat melepaskan pakaian lalu mengenakan ihram, hendaklah jemaah ingat bahwa seakan-akan dia sedang mengenakan kain kafan.
Adab kelima, saat mengucapkan talbiah, hendaknya jemaah mengharapkan pengabulan dari Allah, berharap agar seruannya diterima. Ketika tiba di Tanah Suci, dia harus mengharapkan perlindungan dari siksa. Harapan dan permohonannya harus dilakukan secara terus-menerus sebab saat itu merupakan saat-saat pengabulan doa.
Adab keenam, ketika melihat Baitulharam (Kabah), hendaknya dia merasakan keagungan-Nya dan mengucap syukur karena digolongkan orang-orang yang bisa berkunjung ke sana. Saat mencium atau melambai ke arah Hajar Aswad, hendaklah ia bersumpah setia kepada Allah untuk taat kepada-Nya.
Adab ketujuh, saat bersa'i antara Safa dan Marwah, jemaah harus menggambarkan dua tempat itu seperti dua timbangan. Dia akan mendatangi dua timbangan itu pada hari kiamat atau sekan-akan dia sedang mendatangi pintu tempat malaikat untuk mengharapkan belas kasih-Nya.
Adab kedelapan, ketika wukuf dan melihat begitu banyak manusia yang berkumpul di sana, bayangkanlah seakan-akan saat itu berada di Padang Mahsyar, saat di mana manusia berkumpul dan memohon syafa'at.
Adab kesembilan, saat melempar jumrah, niatkanlah untuk tunduk kepada perintah, menunjukkan ubudiyah dan ketundukan. Hal itu dilakukan semata karena mengikuti perintah, bukan tujuan lain.
Adab kesepuluh, ketika berkunjung ke Madinah, bayangkanlah bahwa itulah negeri yang dipilih Allah untuk Nabi-Nya saat berhijrah sekaligus menjadikannya sebagai tempat tinggal. Bayangkan pula tempat-tempat yang sering dilalui Rasulullah SAW., bagaimana kekhusyukan dan ketenangan Beliau. Jika berkesempatan menziarahi makam Rasul, bayangkanlah keagungan, kharisma, sosok yang mulia. Lalu, hadirkan pula kebesaran kedudukan Beliau di dalam hati. Ucapkan syalawat dan salam kepada Beliau. Ingatlah, sesungguhnya Beliau mengetahui kehadiran dan salammu.
Mudah-mudahan, sepuluh adab haji dan rahasia-rahasianya ini bisa menjadi bekal dalam perjalanan spiritual yang akan anda lalui. Semoga bermakna dan berkualitas.***
[Ditulis oleh : SAMSUL MA'ARIF, S.Ag., pegiat di Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (el-TAM) dan Pembina Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPR-MI) Kabupaten Bandung Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Rabu (Wage) 28 September 2011 / 29 Syawal 1432 H. pada Kolom "DI BALIK RITUS"]
by
0 comments:
Post a Comment