TETAP ISTIQAMAH

Suatu hari, penulis didatangi seorang dosen di UIN. Sunan Gunung Djati. Dia termasuk dosen senior. "Untuk mengajar saja sungguh berat berlaku istiqamah. Bahkan, lebih sering terlambat masuk ke ruang kuliah," katanya. Lalu, dia melanjutkan, "Mahasiswa juga susah untuk istiqamah. Hari ini mengerjakan tugas, eh... besoknya harus dikejar-kejar agar menyelesaikan tugasnya."

Begitu beratkah untuk berlaku istiqamah? Dari kajian makna, istiqamah setidaknya memiliki tiga arti.
Pertama, istiqamah adalah lurus dan tidak bengkok. Setiap hari kita pasti mengucapkan ihdinash-shiraathal mustaqiim (tunjukkanlah jalan yang lurus). Shirathal Mustaqim adalah jalan yang lurus dan tidak bengkok.

Maknanya, ketika beramal secara istiqamah maka harus dilaksanakan lurus dan benar. Syarat amal masuk kategori lurus dan benar adalah diniatkan ikhlas karena Allah dan harus sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk : 2)

Dalam ayat di atas terdapat kata ahsanu amalan yang bermakna terbaik secara kualitas. Ulama menyebutnya akhlasuhu wa ashwabuhu yakni amal yang paling ikhlas diniatkan untuk Allah dan yang paling sesuai dengan tuntutan Rasulullah.

Tak heran apabila sebagian ulama memakna ihdinash-shi-raatal mustaqiim sebagai tunjukilah kami jalan menuju keikhlasan di dalam beramal dan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Lalu, Allah juga memaknai shirathal mustaqiim dalam ayat berikutnya yakni "jalan orang-orang yang telah Engkau beri kepada mereka kenikmatan bukan jalan mereka yang Engkau murkai atau jalan mereka yang sesat."

Pertanyaannya, siapa saja yang telah diberi kepada mereka nikmat itu? Sekali lagi Allah memberikan gambaran yakni ayat ditafsirkan dengan ayat lainnya yakni pada QS. An Nissa : 69.

وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang menaati Allah dan rasul-Nya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Kedua, istiqamah berarti terus-menerus atau berkesinambungan. Makna istiqamah seperti ini pernah diisyaratkan Rasulullah SAW. dalam beberapa haditsnya yang salah satunya dari istrinya, Aisyah RA. Rasulullah SAW. bersabda,
"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus (dilakukan) meskipun sedikit." Al Qasim berkata, "Dan Aisyah, bila ia mengerjakan suatu amalan, maka ia akan menekuninya." (HR. Muslim hadits nomor 1.306)

Di dalam hadits lain disebutkan,
"Beramallah sesuai dengan sunah dan berlaku imbanglah, dan ketahuilah bahwa salah seorang tidak akan masuk surga karena amalannya. Sesungguhnya amalan yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit." (HR. Bukhari hadis nomor 5.983)

Dari kedua hadits itu ada benang merahnya yakni amalan yang terus-menerus atau rutin dilakukan seorang Muslim walaupun sedikit jauh lebih baik daripada amalan yang banyak tetapi hanya dilaksanakan sekali dan terputus. Ketika bulan Ramadhan kita mampu membaca Al-Qur'an setiap hari satu juz serta terus-menerus sehingga akhir Ramadhan bisa tamat 30 juz. Namun, mengapa membaca Al-Qur'an sebatas bulan Ramadhan? Bagaimana dengan bulan-bulan lainnya?

Demikian pula dengan amalan shalat malam (shalat Tarawih) yang getol dilakukan setiap malam Ramadhan. Namun, sedikit imbasnya di bulan lain. Ketika Ramadhan menjadikan kita amat menjaga dari barang-barang yang dimakan atau minum meskipun barang itu halal. Namun, mengapa selepas Ramadhan bukan hanya barang halal yang dikonsumsi bahkan yang haram pun dinikmati, baik haram zatnya maupun haram cara mendapatkannya.

Ketiga, istiqamah berarti sesuatu yang bisa mengantarkan sampai tujuan. Seseorang yang beramal ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan berkesinambungan melakukannya maka tidak diragukan lagi dia akan sampai pada tujuan yang selama ini dicita-citakannya. Yakni, husnul khatimah atau baik di akhir hidupnya. Dalam kata lain, meninggal dunia dalam keadaan Muslim, seperti ditegaskan dalam QS. Ali Imran : 102,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan jangan kamu meninggal kecuali dalam keadaan Muslim.

Wasiat untuk khusnul khatimah ini juga pernah diwasiatkan para nabi kepada anak-anaknya, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim AS. dan Nabi Ya'kub AS.

وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata) 'Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam." (QS. Al Baqarah : 132)
Selalu istiqamah di dalam memegang teguh ajaran Islam sampai akhir hayat ini merupakan bentuk dari ketakwaan kepada Allah. Istiqamah memang sulit, tetapi bisa kita raih asalkan mau dibarengi dengan doa kepada Allah SWT.  
Wallahualam. ***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 29 September 2011 / 1 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: