Siapa pun yang mengkaji Islam dengan menggunakan kecerdasannya dan kejernihan hatinya akan menyimpulkan bahwa Islam merupakan agama profesional. Rahasianya adalah ajaran Islam tidak sekadar rutinitas ritual melainkan juga sebagai ideologi. Seluruh aspek kehidupan merupakan sebuah sistem utuh yang telah diciptakan oleh Dzat Mahasempurna yakni Allah SWT. Dan, dalam realitasnya juga bisa dimengerti bahwa sistem Islam tersebut sesuai dengan fitrah manusia, dapat memuaskan akal dan menenangkan hati.
Demikian halnya, terhadap persoalan perilaku (behavior), yang secara khusus menyangkut produktivitas hidup dan kerja, Islam demikian memberikan panduan dan bimbingan yang luar biasa. Hanya orang yang tidak mempelajari Islam atau orang yang terlebih dulu tidak menyukai Islam, mereka sudah antipati denganya. Seakan Islam merupakan agama nenek moyang yang tidak memiliki sistem sebagaimana gambaran orang-orang yang buta dengan Islam. Padahal jika dipelajari, maka dalam konteks ini, Islam demikian mengatur terhadap persoalan kerja, kinerja, dan sebagainya.
Islam mengajarkan bahwa kerja merupakan bagian dari aktivitas ibadah. Bekerja tidak sekadar untuk mendapatkan penghasilan atau rezeki tetapi juga bernilai tambah karena Islam menegaskan bahwa bekerja keras melaksanakan kewajiban rumah tangga bagi seorang pria akan diganjar dalam bentuk pahala.
Hal ini terangkum dalam Al-Qur'an Surat Adz Dzariat ayat 56,
Demikian halnya, terhadap persoalan perilaku (behavior), yang secara khusus menyangkut produktivitas hidup dan kerja, Islam demikian memberikan panduan dan bimbingan yang luar biasa. Hanya orang yang tidak mempelajari Islam atau orang yang terlebih dulu tidak menyukai Islam, mereka sudah antipati denganya. Seakan Islam merupakan agama nenek moyang yang tidak memiliki sistem sebagaimana gambaran orang-orang yang buta dengan Islam. Padahal jika dipelajari, maka dalam konteks ini, Islam demikian mengatur terhadap persoalan kerja, kinerja, dan sebagainya.
Islam mengajarkan bahwa kerja merupakan bagian dari aktivitas ibadah. Bekerja tidak sekadar untuk mendapatkan penghasilan atau rezeki tetapi juga bernilai tambah karena Islam menegaskan bahwa bekerja keras melaksanakan kewajiban rumah tangga bagi seorang pria akan diganjar dalam bentuk pahala.
Hal ini terangkum dalam Al-Qur'an Surat Adz Dzariat ayat 56,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Wama khalaqtu aljinna waalinsa illa liyaAAbudooni
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Dari ayat tersebut saja sudah bisa dipahami bahwa jika suatu pekerjaan disebut merupakan bagian dari ibadah maka barang siapa melakukannya maka akan mendapatkan pahala.
Islam memberikan motivasi yang luar biasa bagi umatnya untuk berprestasi. Islam, dalam banyak hadits memberikan pujian dan penghargaan yang sangat besar bagi kaum Muslim yang menjadi pekerja keras. Bahkan dikatakan oleh Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi bahwa,
"Tidakkah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari keringatnya sendiri."
Dari Zubair bin Awwam, Rasulullah SAW. bersabda,
"Jika salah seorang dari kalian pergi membawa kapaknya, lalu datang membawa seikat kayu bakar di punggungnya, lalu ia menjualnya hingga Allah menyelamatkannya dari kehinaan. Maka yang demikian itu jauh lebih baik dari ia meminta-minta pada orang lain." (HR Bukhari)
Apa yang diungkapkan dalam hadits di atas bermakna bahwa ajaran Islam sudah mewanti-wanti agar umatnya sungguh-sungguh bekerja secara aktif dan tidak bergantung kepada orang lain.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda
"Al yadul 'ulya khairun minal yadissufla — tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah."
Artinya kinerja seorang Muslim adalah aktif bukan pasif. Seorang Muslim tidak akan menjadi "benalu" yang hinggap dan hanya membebani orang lain.
Allah melalui wahyu-Nya menganjurkan setiap manusia untuk meraih kehidupan yang lebih baik baik dunia maupun akhirat seperti yang tercantum dalam Surat Al Qashash ayat 77, yang berbunyi,
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Waibtaghi feema ataka Allahu alddara alakhirata wala tansa naseebaka mina alddunya waahsin kama ahsana Allahu ilayka wala tabghi alfasada fee alardi inna Allaha la yuhibbu almufsideena
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dalam konteks ini mestinya ada kesadaran kuat untuk menjalankan "teologi kerja (job theology)" atau suatu niat suci untuk selalu menganggap pekerjaan kita sebagai ibadah dan bentuk pengabdian kita pada Yang Mahaagung.
Ketika kita bekerja di kantor dengan asal-asalan dan menghasilkan kualitas di bawah standar, atau ketika ketika kita hanya mempu menciptakan pelayanan yang centang-perenang dan membuat para pelanggan patah arang, maka mestinya kita menanggap ini semua sebagai sebuah "dosa" dan kita mesti merasa malu dihadapan Yang Mahatahu.
Sebaliknya, ketika kita selalu bisa mempersembahkan kinerja yang istimewa, atau ketika kita mampu mengagas dan melaksanakan ide-ide kreatif untuk memajukan perusahaan, maka mestinya ini semua tidak melulu didasari oleh keinginan untuk naik pangkat, atau mendapat bonus yang besar, melainkan pertama-tama mesti dilatari oleh niatan suci untuk beribadah.
Kita tahu bahwa Nabi Muhammad juga adalah seorang pedagang yang ulet. Nabi Muhammad SAW. bersabda,
"Bila kamu telah shalat Subuh, maka janganlah kamu tidur dan meninggalkan rezeki."
Selanjutnya Nabi mengatakan,
"Sesungguhnya Allah tak menyukai hamba yang santai (tak bekerja)."
Umar RA. mengatakan, "Janganlah kamu duduk saja berdoa, 'Ya Allah berilah aku rezeki', padahal ia tahu bahwa Allah tak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak."
Dalam Surat Al-Insyirah ayat 7, Allah berfirman,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
Faitha faraghta fainsab
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
Kesemuanya ini sudah jelas menjadi penanda bahwa Islam sangat mendorong timbulnya etos kerja dan paradigma berusaha pada diri setiap kaum Muslim. Upaya menanamkan semangat bekerja dan berusaha ini hendaknya dilakukan sejak dini. Inilah yang dicontohkan oleh Luqman al Hakim kepada kita, dimana disebutkan dalam Kitab Mukhtasor Minhajul Qashidin bahwa ia menyemangati anak untuk bekerja. Ia berkata, "Wahai anakku, teruslah berusaha mencari penghasilan, karena tidaklah seorang terkena kemiskinan kecuali akan mendapatkan tiga hal; lemah dalam agama, lemah dalam akal, dan yang lebih buruk dari itu semua, berkurangnya kewibawaan."
Manusia yang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya. Oleh karena itu, Islam senantiasa memotivasi umatnya untuk terus bersemangat dalam bekerja dan berusaha. Setiap Muslim harus berusaha untuk mandiri, tidak membebani orang lain, apalagi dengan meminta-minta setiap saat. Bekerja dalam Islam bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan, tetapi juga bagian dari pelaksanaan ibadah yang melahirkan kemuliaan.
Wallahu'alam bissawab. ***
[Ditulis oleh DEDE SURYADI, pengurus DKM Al-Ikhlas Karanganyar, Bahara, Kabupaten Ciamis. Tulisan disalin dari Hraian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 7 Desember 2012 / 23 Muharam 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment