PEMBUAT KERUSAKAN DI MUKA BUMI

Merusak merupakan perbuatan tercela. Apalagi dalam skala luas. Meliputi areal jagat. Maka, Allah SWT. melarang keras perbuatan itu.

وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

wala tabghi alfasada fee alardi inna Allaha la yuhibbu almufsideena

Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash (28): 77)

Kategori perusakan, dari mulai yang terkecil hingga yang terbesar, berdampak sama. Walaupun proses waktunya berbeda-beda. Menebang satu dua pohon, terus-menerus, akan menimbulkan dampak banjir dan longsor, empat lima tahun mendatang. Menebang pohon dan menggunduli hutan satu hektare dua hektare sekaligus, mungkin hanya dua tiga hari kemudian datang banjir dan longsor. Oleh karena itu, hakikat perusakan sama saja.

Nabi Muhammad SAW. merumuskan secara sederhana, mengenai orang-orang yang merusak agama. Sebab agama adalah prinsip, tuntunan, dan tatanan hidup. Dengan demikian, dengan menyebut "perusak agama", memiliki makna lebih luas dan padu dengan kerusakan yang terjadi.

Dalam hadits riwayat Imam ad Dailami dari Ibnu Abbas, Rasullullah SAW. menyatakan,
"Ada tiga macam orang yang menjadi bencana terhadap agama. Pertama, orang pintar yang jahat. Kedua, penguasa yang dzalim. Ketiga, orang yang berijtihad namun bodoh."

Orang pintar, orang berilmu, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan "fajir", jahat, maksiat. Hasil perbuatan mereka pasti sangat merusak berbagai sendi kehidupan. Jika orang bodoh melakukan kejahatan, mungkin akibatnya kecil-kecil saja. Seperti seseorang mencuri ayam. Paling hanya mengegerkan sekitar kampung tempat peristiwa terjadi.

Akan tetapi, jika orang pintar, punya gelar akademik, punya jabatan tinggi dan statregis, melakukan pencurian, tentu lain lagi. Yang dicurinya bukan sekelas ayam seharga sepuluh atau seratus ribu di tingkat kampung. Melainkan, ratusan miliar atau triliun. Akibatnya, mengguncang sendi-sendi ekonomi, politik, sosial, dan budaya secara nasional atau internasional. Termasuk orang yang pintar di bidang hukum, menduduki jabatan yang menentukan dalam pelaksanaan hukum, tetapi ternyata melanggar hukum. Menerima suap sogok, memperjualbelikan vonis, pilih kasih dalam menerapkan hukum, serta bentuk-bentuk "antihukum" lainnya.

Pantas Rasulullah SAW. menyatakan,
Kehancuran umat terdahulu karena tidak benar dalam melaksanakan hukum. Jika yang melanggar, para elite penguasa, pengusaha, atau bangsawan, hukum tak diterapkan sebenar-benarnya. Sementara itu, jika yang melanggar kaum alit, orang-orang sederhana, hukum ditegakkan sebenar-benarnya. (Riwayat Imam Bukhari)

وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ

Wainna alfujjara lafee jaheemin

dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. (QS. Al-Infithar (82): 14)

Perusak lainnya, adalah penguasa dzalim. Penguasa seharusnya memikul amanah, kepercayaan orang banyak. Berlaku adil dalam segala tindakan dan ucapan sehingga tidak ada yang dirugikan. Namun, dalam kenyataan, justru kekuasaan di tangan penguasa dzalim dijadikan alat untuk mencari keuntungan sendiri dengan berlaku aniaya terhadap bangsa dan negaranya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,
Penguasa yang baik ialah yang mencintai rakyatnya dan rakyat pun mencintainya, suka mendengar ajakan-ajakannya. Penguasa yang jahat adalah penguasa yang benci kepada rakyatnya dan rakyat pun benci kepadanya yang mengutuk rakyatnya dan rakyat pun mengutuknya. (HR. Imam Muslim)

Dapat dibayangkan, bagaimana kehancuran bangsa dan negara yang dikuasai penguasa dzalim. Perusak lainnya adalah orang yang suka membuat pendapat-pendapat baru, tetapi tanpa disertai ilmu. Orang jahil atau bodoh, berlagak pintar. Apalagi jika pendapat-pendapat hasil "ijtihad"-nya itu bertentangan dengan prinsip-prinsip baku yang sudah diakui kemapanannya. Akan tetapi, dengan istilah "pembaruan", hasil pikiran mujtahidun jahilun itu, mendapat publikasi dan promosi luas. Seolah-olah segala macam pekerjaan dapat dilakukan siapa saja yang merasa pintar, sekalipun tidak menguasai substansi persoalan.

Untuk menghindari hal-hal tersebut, sebaiknya kita koreksi diri. Jangan sampai kita menjadi orang pintar berakhlak jahat, menjadi penguasa dzalim, dan menjadi "mujtahid" bodoh.

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM., Pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk Garut, pembimbing Haji dan Umrah Mega Citra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 19 September 2013 / 13 Zulkaidah 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: