Akhlak merupakan salah satu bagian terpenting dari kerangka pokok ajaraan Islam di samping akidah (keimanan kepada Allah SWT. Yang Maha Esa), dan syariah (hukum ibadah kepada Allah SWT.) Ketiga unsur pokok itu harus menyatu padu pada diri pribadi setiap Muslim, agar menjadi Mukmin dan Muslim sempurna. Kuat keimanan, taat beribadah, dan berakhlak mulia.
Bahkan misi kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. ditandai dengan tugas penyempurnaan akhlak. Sebagaimana disabdakan beliau, dalam sebuah hadits sahih riwayat Imam Bukhari,
"Innama buitstu li utamimma makarimal ahlak" (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.)
Urusan akhlak manusia Muslim dan Mukmin diatur dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah. Mana akhlak mulia, terpuji (ahlaqul mahmudah), mana akhlak tercela (ahlaqul mazmumah), amat gamblang dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur'an, berupa perintah melaksanakan hal-hal baik yang bersumber dari perilaku amanah, peramah, pemurah, sabar, hemat, rendah hati, tobat, takwa, tawakal, malu, dan sebagainya yang harus ada pada diri setiap manusia beriman dan berislam. Juga berupa larangan agar dijauhi dan dicegah seperti perilaku egoistis (ananiah), dzalim, takabur, bakhil (kikir), marah, dengki, hasut, fitnah, dusta, gibah, dll. yang sangat merugikan.
Nabi Muhammad SAW. sebagai pembawa misi penyempurnaan akhlak manusia merupakan sosok yang mencerminkan akhlak mulia. Allah SWT. memuji kemuliaan akhlak Nabi Muhammad SAW.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Wainnaka laAAala khuluqin AAatheemin
Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak mulia. (QS. Al-Qalam (68): 4)
Antara akidah, ibadah, dan akhlak, memang terdapat hubungan kuat yang saling berjalin berkelindan. Orang yang berakidah kuat, rajin beribadah, diharapkan berakhlak mulia, demikian pula sebaliknya. Namun, jika ternyata salah satu di antara ketiga unsur pokok itu terdapat kelemahan, sudah dipastikan ketiganya tidak akan berlangsung mulus. Orang berakhlak bejat, walaupun mengaku iman dan Islam, dapat dipastikan nilai keimanan dan keislamannya amat minim.
Zaman sekarang, masalah akhlak sudah dianggap sepele, tidak lagi diperhitungkan dalam kehidupan sehari-hari karena Al-Qur'an dan sunah sudah dianggap tidak layak lagi untuk mengukur akhlak atau moralitas seseorang. Akhlak dianggap sebagai wilayah pribadi yang tidak diperbolehkan dinilai oleh pihak lain, apalagi oleh dalil-dalil kitab suci. Akhlak dianggap hak asasi paling personal-indiviual sehingga tak boleh dikait-kaitkan dengan norma-norma kehidupan masyarakat luas, misalnya saja perzinahan yang diharamkan, bahkan untuk didekati sekalipun, pada masa kini tidak dianggap melanggar hukum agama atau batas akhlak jika dilakukan suka sama suka sekalipun tanpa ikatan nikah. Baru dianggap melanggar, jika ada unsur pemaksaan atau pemerkosaan oleh salah satu pihak.
Korupsi juga tidak dianggap sebagai bentuk akhlak buruk, melainkan hanya pelanggaran pidana atau penyimpangan hukum administrasi. Oleh karena itu, banyak pelaku korupsi tetap mendapat sanjung puja, penghormatan, dan "kepercayaan" dari khalayak.
Gibah alias gunjing menggunjing yang menjurus kepada fitnah dan namimah (adu domba) malah mendapat tempat terhormat di arena infotainment. Menjadi sejenis hiburan yang punya rating tinggi untuk mengeduk iklan pada setiap tayangan di televisi-televisi berdaya jangkau luas dan berpengaruh besar dalam membangun persepsi terhadap nilai-nilai akhlak.
Para ulama salafiish shalihin menyatakan, salah satu sumber kemerosotan akhlak pada diri setiap manusia adalah hilangnya rasa malu (al haya). Rasa malu yang merupakan bagian dari iman (al hay a minal iman), nyaris hilang musnah dari rasa dan nalar umat manusia masa kini. Tak ada lagi istilah malu untuk berbuat hal-hal yang melanggar hukum, termasuk hukum agama.
Kekuatan bangsa dan negara sebetulnya terletak dalam ketinggian dan kemuliaan akhlak setiap warga bangsa dan negara. Ketinggian dan kemuliaan akhlak menjadikan semua elemen bangsa dan negara memegang teguh kecintaan kepada tanah air yang bebas merdeka yang merupakan anugerah dari Allah SWT.
Kemerosotan akhlak menjadi pertanda kemerosotan hidup berbangsa dan bernegara. Salah satu penyebabnya adalah perbuatan dzalim. Perbuatan dzalim yang dilakukan secara massal menyeluruh merupakan pembuka jalan bagi Allah SWT. menghancurkan bangsa dan negara itu.
وَمَا
كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولًا
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا ۚ وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَىٰ إِلَّا
وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
Wama kana rabbuka muhlika alqura hatta yabAAatha fee ommiha rasoolan yatloo AAalayhim ayatina wama kunna muhlikee alqura illa waahluha thalimoona
Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman. (QS. Al Qashash (28): 59)
Wallahu'alam. ***
[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM., Pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk Garut, pembimbing Haji dan Umrah Mega Citra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 3 Oktober 2013 / 27 Zulkaidah 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]
by
0 comments:
Post a Comment