JANGAN LALAI

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ
ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Bermegah-megahan (berlebih-lebihan) telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahim. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan penglihatan yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. At Takatsur : 1- 8)

Suatu keniscayaan bahwa hidup di dunia ini dihadapkan dan tidak terlepas dari perjuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal tersebut mengikat semua manusia, tidak terbatas pada profesi, kapasitas, ataupun predikat yang disandangnya. Keasyikan dan kesibukan kita dalam pemenuhan kebutuhan hidup ini sering kali membuat terlena tentang esensi hidup sesungguhnya, yaitu beribadah kepada Allah SWT. sebagaimana dalam firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku ciptakan jin jdan manu-sia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariat : 56)

Sejatinya, kita perhatikan dua konsep sebagai salah satu yang melekat pada diri kita yaitu bermegah-megahan atau berlebih-lebihan dan beribadah. Dalam Surat At Takatsur di atas, Allah memperingatkan kita agar tidak berlebih-lebihan dalam menyikapi dan menikmati semua kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Kenikmatan tersebut, kita resap dan serap secara jasmani dan rohani, secara fisik dan psikis. Seluruh kenikmatan tersebut pasti telah, sedang, akan kita rasakan, dan hanya akan berakhir jika nyawa sudah dicabut.

Oleh karena itu, kita layak bertafakur, bertadabur, berintrospeksi atas nikmat yang telah direguk selama ini, karena tak ada satu sel pun dari tubuh kita yang terlewati dari kenikmatan yang Allah anugerahkan. Sejenak kita bercermin, kemudian memandangi diri kita dari ujung rambut hingga telapak kaki, begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan selama ini. Kita pikirkan, pergerakan siang menuju malam, malam menuju siang, betapa telah mewarnai keindahan hidup ini, memberi kesenangan jasmani dan rohani. Kita bisa merasakan segarnya udara pagi sekaligus merasakan lezatnya bernapas dan indahnya pemandangan. Seluruh anggota tubuh telah diliputi beragam kenikmatan yang tak mungkin bisa kita hitung satu per satu.

Dengan kenikmatan kesehatan, kita pun mampu beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ataupun dalam mencapai target-target dari suatu perencanaan hidup, mulai dari yang paling sederhana hingga program-program yang amat kompleks. Semuanya merupakan kolaborasi dari indahnya kenikmatan yang dirasakan jasmani dan rohani.

Namun, apakah kita pernah berpikir, jika suatu saat kita kehilangan ataupun kekurangan dari satu saja nikmat yang Allah berikan ? Misalnya, mata kita yang sudah berkurang jarak pandangnya atau, apakah kita pernah berpikir bahwa suatu saat semua kenikmatan yang kita rasakan di dunia saat ini akan berakhir ?

Peringatan Allah SWT. agar kita tidak hidup bermegah-megahan atau berlebih-lebihan, tidak berarti kita tidak boleh memiliki atau meraih pencapaian duniawi yang banyak bahkan melimpah. Dari sejarah perjuangan risalah Nabi, kita mengetahui bagaimana para sahabat Rasulullah SAW. melakukan perniagaan antarkota, antar-provinsi, bahkan antarnegara, hingga mereka mampu meraup keuntungan yang amat besar. Banyak di antara para sahabat yang memiliki ratusan unta dan kekayaan lainnya yang melimpah. Dalam hal jabatan, kita pun mengetahui sejumlah sahabat menyandang jabatan tinggi sebagai gubernur ataupun panglima perang di medan tempur. Sementara itu, dalam hal berkeluarga, tidak sedikit dari para sahabat Nabi yang memiliki banyak anak.

Apa yang terjadi pada sahabat Nabi, juga terjadi pada manusia zaman sekarang. Kita dapat meraih kenikmatan yang lebih, baik kelebihan dalam harta, tingginya jabatan, maupun banyaknya anak yang kita miliki. Namun, yang menjadi pertanyaan besar bagi kita adalah,
  • Apakah kelebihan dan kemegahan yang kita peroleh atau kelak akan kita peroleh telah melalaikan kita dari kewajiban kita beribadah kepada Allah SWT. ?
  • Apakah anugerah berupa tubuh sehat dan segala kelengkapan hidupnya berupa harta kekayaan, maupun predikat sosial baik berupa profesi, jabatan, ataupun keahlian yang kita miliki telah digunakan sebenar-benarnya untuk bersujud kepada-Nya ?
  • Atau, ternyata tubuh yang bagus dan sehat, harta kekayaan, predikat yang melekat, serta anak-anak yang kita miliki justri telah melalaikan kita untuk beribadah kepada-Nya ?
Sejenak kita merenung, bertafakur, bergantinya hari beriringan dengan kepergian saudara-saudara dan sahabat-sahabat kita ke alam kubur. Satu per satu detak jantung manusia berhenti, tak kuasa manusia menahan debar jantung dan tak kuasa manusia untuk menggerakkan jantung. Kita sempat dan sering kali tak berpikir, jantung itu digerakkan dan dimatikan oleh Sang Khalik, kita menganggap itu hal biasa-biasa saja. Padahal, betapa luar biasa Allah SWT. menghidupkan jantung dan memberikan kesempatan hidup kepada manusia untuk bersyukur dengan memperbanyak amal saleh. Namun, tak dipungkiri, pergantian hari dan pergerakan nadi telah banyak mendorong kita semakin mencintai dunia dengan segala isinya. Seakan-akan yang kita peroleh adalah semata hasil keringat kita, dan kita bangga dengan kemampuan yang dimiliki tanpa menyadari kita diciptakan oleh siapa ?

Oleh karena itu, yang menjadi penting direnungkan adalah, apakah semua potensi dan kapasitas yang kita miliki telah melalaikan kita dari kewajiban untuk beribadah kepada Allah SWT. ? Dengan demikian, peringatan Allah dalam Surat At Takatsur sejatinya menjadi pengingat dan pendorong agar kita berhati-hati dalam mengelola kenikmatan yang diberikan Allah. Kita berhati-hati sehingga kenikmatan yang kita rasakan, ataupun kelebihan yang kita miliki justru akan kita optimalkan semata-mata untuk beribadah kepada-Nya.

Anas bin Malik RA. mengatakan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
Tiga macam mengikuti mayat, kemudian yang dua kembali, dan yang satu tetap terus menemani. Yang mengikuti / mengantar mayat adalah keluarganya, hartanya, dan amalnya. Maka keluarga dan hartanya kembali, yang tetap menemani adalah amalnya. (HR. Bukhari)

Menurut hadits tersebut, kita sebagai calon mayat, ada tiga instrumen yang melekat pada diri kita, yaitu keluarga, harta, dan amal. Merujuk pada surat At Takatsur, maka kita selayaknya berhati-hati dalam mengelola ketiga hal tersebut. Keluarga yang merupakan salah satu bentuk kenikmatan, kita bangun sekuat-kuatnya dalam kerangka ibadah, sehingga apa pun peran mereka mudah-mudahan merupakan amal saleh yang akan menjadi jariah bagi kita. Begitu pula dengan harta, selayaknya kita kelola dan manfaatkan seoptimal mungkin sebagai media untuk beramal saleh. Kita benahi niat kita sehingga peran dan aktivitas yang dijalani bukan merupakan amal salah, melainkan menjadi amal saleh sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunah sebagai bekal di akhirat.

Hidup di dunia yang sesaat ini, jangan menjadi sia-sia hanya karena kita lalai akibat bermegah-megahan. Oleh karena itu, kita hendaknya berintrospeksi dan meluruskan kembali pada esensi hidup, bahwa hidup adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan demikian, segala kenikmatan yang kita rasakan semata-mata akan kita syukuri dan dimanfaatkan dalam kerangka ibadah kepada-Nya, ila mardhotillah.

Wallohu a'lam bishshowab.***

[Ditulis oleh DJUNAEDI, pengurus DKM. At-Tabayun Redaksi Pikiran Rakyat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 17 Juni 2011 / 15 Rajab 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by


u-must-b-lucky

0 comments: