Setiap insan pasti mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Tujuan hidup manusia tidak lain adalah untuk memperoleh kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan. Dengan kebahagiaan, manusia akan hidup dengan tenang, tenteram, dan menyenangkan. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan manusia untuk meraih kebahagiaan dalam hidupnya.
Ada orang yang meyakini bahwa pintu kebahagiaannya dapat terbuka ketika ia memiliki harta yang melimpah sehingga ia banting tulang siang dan malam untuk meraih harta sebanyak-banyaknya. Bahkan, tidak jarang cara yang ditempuhnya bertentangan dengan hukum negara maupun agama. Hal ini terjadi karena yang ada dalam benaknya adalah bagaimana ia memiliki harta yang melimpah. Ia meyakini bahwa kunci kebahagiaannya ditentukan pada banyaknya harta.
Selain itu, ada juga orang yang meyakini bahwa kunci kebahagiaan hidupnya ditentukan oleh tingginya kedudukan dan jabatan. Yang ia pikirkan adalah bagaimana cara ia mendapatkan kedudukan dan jabatan setinggi-tingginya. Sogok sana suap sini, jilat sana jilat sini. Hal ini dilakukannya demi jabatan ataupun/kedudukan. Semua itu dilakukan karena ia meyakini bahwa kebahagiaan hidupnya ditentukan pada tingginya kedudukan dan jabatan.
Namun, tidak jarang ketika harta yang melimpah dan kedudukan yang tinggi telah diraihnya bukannya kebahagiaan yang didapatnya, melainkan penderitaan. Ia jatuh sakit karena terlalu memaksa dirinya dalam meraih harta dan kedudukannya. Atau, bahkan berujung dengan mendekam di dalam jeruji besi karena jalan yang ditempuhnya melanggar aturan.
Dalam pandangan Islam, kunci pintu kebahagiaan itu tidak terletak pada harta maupun jabatan, tetapi terletak pada sejauh mana kita mendidik dan membina diri, memperbaiki dan menyucikannya. Sebaliknya kecelakaan dan kesengsaraan diri kita sangat ditentukan oleh sejauh mana kerusakan, kekotoran, dan kebusukan jiwa kita. Hal ini didasari oleh firman Allah SWT.,
Ada orang yang meyakini bahwa pintu kebahagiaannya dapat terbuka ketika ia memiliki harta yang melimpah sehingga ia banting tulang siang dan malam untuk meraih harta sebanyak-banyaknya. Bahkan, tidak jarang cara yang ditempuhnya bertentangan dengan hukum negara maupun agama. Hal ini terjadi karena yang ada dalam benaknya adalah bagaimana ia memiliki harta yang melimpah. Ia meyakini bahwa kunci kebahagiaannya ditentukan pada banyaknya harta.
Selain itu, ada juga orang yang meyakini bahwa kunci kebahagiaan hidupnya ditentukan oleh tingginya kedudukan dan jabatan. Yang ia pikirkan adalah bagaimana cara ia mendapatkan kedudukan dan jabatan setinggi-tingginya. Sogok sana suap sini, jilat sana jilat sini. Hal ini dilakukannya demi jabatan ataupun/kedudukan. Semua itu dilakukan karena ia meyakini bahwa kebahagiaan hidupnya ditentukan pada tingginya kedudukan dan jabatan.
Namun, tidak jarang ketika harta yang melimpah dan kedudukan yang tinggi telah diraihnya bukannya kebahagiaan yang didapatnya, melainkan penderitaan. Ia jatuh sakit karena terlalu memaksa dirinya dalam meraih harta dan kedudukannya. Atau, bahkan berujung dengan mendekam di dalam jeruji besi karena jalan yang ditempuhnya melanggar aturan.
Dalam pandangan Islam, kunci pintu kebahagiaan itu tidak terletak pada harta maupun jabatan, tetapi terletak pada sejauh mana kita mendidik dan membina diri, memperbaiki dan menyucikannya. Sebaliknya kecelakaan dan kesengsaraan diri kita sangat ditentukan oleh sejauh mana kerusakan, kekotoran, dan kebusukan jiwa kita. Hal ini didasari oleh firman Allah SWT.,
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams: 9-10)
Rasulullah SAW. bersabda,
"Semua manusia beramal dan menjual dirinya memperbaiki dirinya atau membinasakannya." (HR. Muslim)
Kebahagiaan itu tidak muncul dari luar diri kita, tetapi datang dari dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan akan terasa ketika kita memahami dan menyadari bahwa semua yang kita terima sudah diatur oleh Yang Maha Pengatur, yakni Allah SWT. Sedangkan kewajiban kita adalah berikhtiar dan berdoa.
Oleh karena itu, orang yang bahagia itu bukanlah orang yang selalu mendapatkan kesenangan, sebaliknya orang yang celaka itu bukanlah orang yang selalu dirundung duka. Namun, orang yang berbahagia itu adalah orang yang mampu menyikapi berbagai hal yang menimpanya, baik itu kesenangan maupun duka nestapa dengan sikap diri yang penuh husnuzan (baik sangka) kepada Allah.
Oleh karena itu, orang yang bahagia itu bukanlah orang yang selalu mendapatkan kesenangan, sebaliknya orang yang celaka itu bukanlah orang yang selalu dirundung duka. Namun, orang yang berbahagia itu adalah orang yang mampu menyikapi berbagai hal yang menimpanya, baik itu kesenangan maupun duka nestapa dengan sikap diri yang penuh husnuzan (baik sangka) kepada Allah.
Artinya, kalaupun ditimpa musibah yang besar, ia akan merasakan kebahagiaan karena ia meyakini bahwa musibah ini adalah sebagai bentuk dari kasih sayang Allah dengan memberikan satu peringatan kepadanya, menjadi jalan penggugur atas dosa-dosanya. Oleh karena itu, dengan mendidik, membersihkan dan menyucikan jiwa akan menjadikan kita mengetahui apa yang harus dilakukan ketika mencari sesuatu yang diinginkannya dan mengetahui sikap apa yang harus dilakukannya dalam menyikapi hasil yang diperolehnya. Dengan demikian, sikapnya selalu sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Misalnya, ketika ia mencari harta ia akan memperhatikan apakah cara yang dilakukannya sesuai dengan aturan Islam atau tidak? Begitu pun ketika ia telah mendapatkan harta ia akan mempergunakannya pada jalan yang dirhidai oleh Allah SWT. Begitu pun dalam menggapai suatu kedudukan dan jabatan, ia akan meraihnya dan mempergunakan jabatannya sesuai dengan ketentuan yang telah di ajarkan oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Kalaupun tidak mampu meraih apa yang diharapkannya, ia akan menyadari dan meyakini bahwa inilah hasil yang terbaik baginya karena ia menyakini apa yang ditentukan oleh Allah untuknya merupakan bentuk kasih sayang-Nya kepada dirinya sehingga ia merasa bahagia dengan apa yang ia dapatkan.
Allah SWT. berfirman,
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216)
Dengan senantiasa mendidik jiwanya akan menjadikan seseorang menjadi pribadi yang mengagumkan.
Rasulullah SAW. bersabda,
"Luar biasa urusan orang Mukmin itu. Sesungguhnya semua urusannya itu baik dan itu semua tidak dimiliki kecuali oleh orang Mukmin. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, dan itu sangat baik baginya. Jika ia ditimpa cobaan, ia bersabar, dan itu sangat baik baginya." (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, sebagai orang beriman yang mengharapkan dapat meraih kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akhirat seyogyanya berusaha untuk mendidik, membina, membersihkan, dan menyucikan jiwanya karena kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat ditentukan olehnya.
Pertanyannya, bagaimanakah cara membina, membersihkan, dan menyucikan jiwa? Jawabannya, dengan membina dan meningkatkan keimanan dan amal saleh.
Allah SWT. berfirman,
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-'Ashr (103): 1-3)
Dalam firman Allah yang lain,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97)
Wallahu 'alam. ***
0 comments:
Post a Comment