Sering kali kita menemukan fenomena yang cukup menarik saat memperhatikan sebagian umat Islam dalam memandang dosa dan taubat. Tidak sedikit orang melakukan dosa dan maksiat, padahal beberapa jam sebelumnya mereka berada di majelis taklim, sesenggukan menangis, bertaubat minta ampunan kepada Allah atas segala dosa yang telah diperbuatnya. Di antara kita, banyak juga yang berlomba-lomba memohon ampunan kepada Allah saat ditimpa kelemahan, kesulitan, dan kefakiran, tetapi kembali melakukan dosa seiring dengan kembalinya kekuatan, kemudahan, dan kekayaan kepadanya. Inilah fenomena taubat sesaat yang sering bergelantung dalam serabut hati kita. Sering kali kita menyadari dosa maksiat yang telah kita lakukan. Namun, saat air mata kering dan beranjak dari tempat sujud, saat itu juga kita melupakan penyesalan dan kembali ke habitat semula.
Memang kesalahan dan dosa bagi manusia adalah suatu kelaziman. Tidak ada manusia yang maksum, setebal apa pun tingkat keimanannya, seluas, apa pun ilmunya, dan sedalam apa pun ketaqwaannya kepada Allah, selama dia adalah manusia, dia pasti suatu kali akan melakukan dosa. Akan tetapi, persoalan sebenarnya bukan pada manusia yang berdosa dan bersalah, tetapi apa yang dilakukan setelah dosa dan kesalahan tersebut diperbuat. Sebagaiamana termaktub dalam hadits Nabiullah Muhammad SAW.,
Karena dosa adalah bagian dari hidup manusia, tidak lantas ini dijadikan alasan bagi seseorang yang beriman untuk berbuat dosa dan terus mengulanginya. Dosa kecil akan menjadi besar jika terus diulang dan tidak ada dosa besar jika terus ditaubati. Untung dan ruginya manusia bergantung terhadap kasih sayang Alah SWT. Sementara kasih sayang Allah tidak akan lancar datang kepada kita selama kita berlumur dosa. Dosa bukanlah sesuatu pemberian dan warisan dari orang tua, dan tidak pernah diwariskan oleh para nabi, tetapi kita sendirilah yang membuat dosa tersebut.
Secara harfiah, taubat artinya kembali lagi. Kembali kepada kebenaran karena kita sudah berlumuran berada di jalan yang salah. Dengan demikian, taubat berarti kembali dari sifat malas ke sifat rajin, kembali dari sikap kikir ke sikap dermawan, kembali dari sifat bodoh ke sifat pandai, kembali dari perilaku buruk ke perilaku baik, kembali dari tindakan bathil ke tindakan haq, kembali dari perilaku dzalim ke perilaku adil, kembali dari perbuatan kufur ke perbuatan iman, kembali dari amal penuh syirik ke amalan yang penuh ketauhidan. Bagaikan seseorang yang sadar telah menempuh sebuah perjalanan yang jauh menuju tempat tujuan yang salah dan ia harus kembali lagi ke tempat semula untuk memulai dan memperbaiki perjalanannya menuju tempat yang benar. Itulah taubat namanya.
Kapankah kita harus taubat? Secara formal para ulama membagi empat waktu taubat dengan melalui empat pintu taubat pula.
Memang kesalahan dan dosa bagi manusia adalah suatu kelaziman. Tidak ada manusia yang maksum, setebal apa pun tingkat keimanannya, seluas, apa pun ilmunya, dan sedalam apa pun ketaqwaannya kepada Allah, selama dia adalah manusia, dia pasti suatu kali akan melakukan dosa. Akan tetapi, persoalan sebenarnya bukan pada manusia yang berdosa dan bersalah, tetapi apa yang dilakukan setelah dosa dan kesalahan tersebut diperbuat. Sebagaiamana termaktub dalam hadits Nabiullah Muhammad SAW.,
"Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang mau bertaubat." (HR Muslim)
Karena dosa adalah bagian dari hidup manusia, tidak lantas ini dijadikan alasan bagi seseorang yang beriman untuk berbuat dosa dan terus mengulanginya. Dosa kecil akan menjadi besar jika terus diulang dan tidak ada dosa besar jika terus ditaubati. Untung dan ruginya manusia bergantung terhadap kasih sayang Alah SWT. Sementara kasih sayang Allah tidak akan lancar datang kepada kita selama kita berlumur dosa. Dosa bukanlah sesuatu pemberian dan warisan dari orang tua, dan tidak pernah diwariskan oleh para nabi, tetapi kita sendirilah yang membuat dosa tersebut.
Secara harfiah, taubat artinya kembali lagi. Kembali kepada kebenaran karena kita sudah berlumuran berada di jalan yang salah. Dengan demikian, taubat berarti kembali dari sifat malas ke sifat rajin, kembali dari sikap kikir ke sikap dermawan, kembali dari sifat bodoh ke sifat pandai, kembali dari perilaku buruk ke perilaku baik, kembali dari tindakan bathil ke tindakan haq, kembali dari perilaku dzalim ke perilaku adil, kembali dari perbuatan kufur ke perbuatan iman, kembali dari amal penuh syirik ke amalan yang penuh ketauhidan. Bagaikan seseorang yang sadar telah menempuh sebuah perjalanan yang jauh menuju tempat tujuan yang salah dan ia harus kembali lagi ke tempat semula untuk memulai dan memperbaiki perjalanannya menuju tempat yang benar. Itulah taubat namanya.
Kapankah kita harus taubat? Secara formal para ulama membagi empat waktu taubat dengan melalui empat pintu taubat pula.
- Pertama, taubat harian dengan melalui pintunya yaitu shalat lima waktu.
Mungkin bagi sebagian orang, shalat sekadar rutinitas harian yang membebaskan dari tuntutan kewajiban.
Namum tak demikian halnya bagi orang yang memandang shalat sebagai media ampuh agar mendapat ampunan Allah karena shalat adalah taubat yang telah ditentukan waktunya.
Suatu hari sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. "Wahai Rasulullah, apa pahala shalat fardu bagi kami?" Rasulullah menjawab,"Apa yang akan terjadi padamu jika di depan rumahmu terdapat sungai dengan air yang bersih dan kamu mandi lima kali sehari di dalamnya, apakah kotoran yang menempel pada badanmu akan menjadi bersih?"Sahabat pun menjawab, "Tentu bersih ya Rasulullah.""Begitu juga shalat lima waktu yang akan membersihkan dosa-dosamu," jawab Rasul. - Kedua, taubat mingguan dengan melalui pintu shalat Jumat.
- Ketiga, taubat tahunan melalui pintu shaum Ramadan.
- Keempat, taubat sekali seumur hidup melalui pintu ibadah haji.
Pintu-pintu ini adalah kesempatan yang memberikan peluang kepada seseorang yang berbuat dosa untuk bersegera taubat kepada Allah SWT.
Allah berfirman,
Allah menyuruh kita bertaubat dengan segera. Kenapa kita harus bersegera taubat dan memohon ampunan kepada Allah?
Allah berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِي
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (QS. Ali Imran: 133)
- Pertama, karena hampir setiap hari kita melakukan dosa baik disengaja mapun tidak disengaja.
Semakin banyak dosa yang ditunda untuk ditaubati, semakin jauh ampunan dari Allah. - Kedua, karena kita tidak mempunyai kontrak umur dengan Allah.
Kita tidak pernah tahu kapan dan di mana ajal menjemput mengakhiri usia kita. Tentunya kita sangat tidak mengharapkan maut menjemput saat kita berlumur dosa.
Taubat yang dilakukan sesegera mungkin akan menghindarkan kita dari lumuran dosa saat tutup usia.
Apa syarat agar taubat kita diterima Allah? Paling tidak, ada tiga syarat utama bertaubat.
- Pertama, menyadari dengan sesadar-sadarnya dosa yang telah dilakukan. Taubat kita akan diakui, dihargai, dan diterima oleh Allah jika tertanam kesadaran dalam diri atas dosa yang telah diperbuat. Hilangnya kesadaran atas dosa akan menjauhkan seseorang dari keinginan untuk bertaubat kepada Allah.
- Kedua, timbulnya penyesalan dalam diri akibat perbuatan dosa yang telah dilakukan. Antara kesadaran dan penyesalan bagaikan pohon dan buah. Kesadaran atas dosa adalah pohonnya sedangkan penyesalan akibat dosa adalah buahnya. Jika taubat hanya berhenti di tahap kesadaran, memungkinkan seseorang untuk melakukan kembali dosa yang telah diperbuatnya.
- Ketiga, adanya tekad yang kuat untuk tidak mengulangi kembali dosa-dosa yang telah dilakukannya.
Melakukan dosa berulang-ulang sering kali disebabkan oleh sikap mental yang salah. Seringkali seseorang enggan bertaubat karena berkeyakinan di hari kemudian dia akan mengulanginya. Pikiran inilah yang menyebabkan seseorang menunda-nunda taubat kepada Allah. Mereka yang muda menunda-nunda taubatnya hingga usia tua. Mereka yang bekerja menunda-nunda taubatnya hingga datang masa pensiun. Mereka yang sehat menunda-nunda taubatnya hingga datang masa sakitnya. Mereka yang kaya menunda-nunda taubatnya hingga datang saat miskinnya. Mereka inilah yang berkata, "Untuk apa kendaraan kotor dicuci toh nanti juga kotor lagi, untuk apa bertaubat toh nanti juga berdosa lagi."
Ungkapan di atas sepintas terdengar masuk akal. Namun justru di sanalah kunci buruknya sikap mental seperti ini dalam memandang sebuah dosa. Jika demikian, untuk apa makan toh nanti juga lapar lagi. Makan itu perlu bagi tubuh sebagai sumber energi seperti halnya taubat sebagai sumber ampunan dan upgrading keimanan kita. Hari ini lapar, saat ini juga kita harus makan. Hari ini berbuat dosa, hari ini juga kita harus bertaubat kepada Allah. Besok berbuat dosa, saat itu pun harus segera bertaubat. Seperti halnya makan yang tak bisa ditunda-tunda, begitu pun taubat harus segera dilakukan dan tak bisa ditunda-tunda.
Dengan demikian, setiap penyakit memiliki obatnya sebagaimana dosa memiliki obatnya yaitu taubat. Taubat yang diakui, dihargai, dan diterima adalah taubat yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan didasari oleh kesadaran, penyesalan. Agar tidak menjadi taubat sesaat, harus diiringi dengan tekad yang kuat untuk tidak kembali ke dalam jurang dosa yang menyesatkannya.***
Ungkapan di atas sepintas terdengar masuk akal. Namun justru di sanalah kunci buruknya sikap mental seperti ini dalam memandang sebuah dosa. Jika demikian, untuk apa makan toh nanti juga lapar lagi. Makan itu perlu bagi tubuh sebagai sumber energi seperti halnya taubat sebagai sumber ampunan dan upgrading keimanan kita. Hari ini lapar, saat ini juga kita harus makan. Hari ini berbuat dosa, hari ini juga kita harus bertaubat kepada Allah. Besok berbuat dosa, saat itu pun harus segera bertaubat. Seperti halnya makan yang tak bisa ditunda-tunda, begitu pun taubat harus segera dilakukan dan tak bisa ditunda-tunda.
Dengan demikian, setiap penyakit memiliki obatnya sebagaimana dosa memiliki obatnya yaitu taubat. Taubat yang diakui, dihargai, dan diterima adalah taubat yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan didasari oleh kesadaran, penyesalan. Agar tidak menjadi taubat sesaat, harus diiringi dengan tekad yang kuat untuk tidak kembali ke dalam jurang dosa yang menyesatkannya.***
[Ditulis oleh USEP SAEFUROHMAN, Koordinator Umum Kajian Ilmu Muslim Muda (KIMM) Kabupaten Bandung, pegiat Kajian Islam Ilmiah Pemuda Yayasan Pesantren Islam (YPI) Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 17 Februari 2012 / 24 Rabiul Awal 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment