Apakah seseorang berbohong demi untuk pencitraan dirinya? Apakah dengan memajang fotonya di mana-mana bisa meningkatkan pencitraan? Bagaimana tasawuf dan filsafat pendidikan memandang masalah pencitraan diri ini?
Berbagai pertanyaan itu muncul saat penulis merenung. Kegundahan penulis karena akhir-akhir ini dikenal istilah pencitraan, hingga kemudian juga muncul istilah politik pencitraan. Citra juga disebut kesan, pendapat, penilaian yang diberikan terhadap orang, sekelompok orang, organisasi, atau bahkan negara. Pasti semua orang menyukai dicitrakan sebagai orang baik, atau berpribadi unggul. Orang yang memiliki citra baik akan diuntungkan dalam banyak hal.
Bagi sebagian orang apalagi yang berpolitik, membangun citra diri menjadi penting. Berapa pun besarnya dana yang harus dikeluarkan, asalkan masih terjangkau, akan dibayar. Dengan menggunakan kalkulasi pedagang, uang yang dibayarkan pada suatu saat akan kembali. Bahkan, ada anggapan dengan citra baik, akan banyak hal yang bisa dijual hingga mendatangkan uang kembalian.
Untuk pencitraan ini bisa melalui penampilan yang mantap. Jenis pakaiannya harus terpilih dan demikian pula potongannya. Penampilan harus memberi kesan tersendiri dan terlihat anggun dan berwibawa.
Citra diri juga dengan membubuhkan gelar akademik di depan atau belakang namanya. Gelar akademik dianggap sebagai bagian dari citra diri bahkan kerap didapat dengan cara-cara yang menyalahi norma-norma akademik itu sendiri.
Disadari atau tidak, politik pencitraan mengandung unsur ria (pamer), sombong minimal sum'ah (merasa diri paling baik), ingin dipuji dan disanjung, dan "mematut-matutkan" diri sebagai orang yang paling baik, paling benar, dan paling unggul. Bahkan, tak jarang agar citra dirinya naik dengan merendahkan orang atau organisasi lainnya.
Muara dari pencitraan diri salah satunya untuk mendapatkan jabatan karena dalam jabatan itu diduga keras berkaitan dengan fasilitas maupun kewenangan yang melekat. Padahal, jabatan merupakan tugas dan amanah harus diterima dan ditunaikan dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab yang kokoh. Amanah bukan dikejar, apalagi diminta-minta. Amanah dan jabatan menuntut seorang pemimpin/pejabat untuk berani menderita.
Nabi Muhammad SAW. bersabda,
"Ingatlah, setiap orang di antara kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir (pemimpin masyarakat) yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Lebih dari itu, bahaya pencitraan diri yang berlebihan akan terasa oleh anak-anak dan generasi muda yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Syekh Mushthafa al-Gulayani menyatakan, "Pemuda-pemuda masa sekarang adalah (calon) bapak-bapak pada masa yang akan datang dan pemudi-pemudi di masa sekarang adalah (calon) ibu-ibu masa yang akan datang." Sementara itu, sebuah syair mengatakan, "Sesungguhnya pada tangan pemuda-pemudalah urusan umat dan pada gerak-derap kaki mereka kemajuannya."
Ajaran Islam menekankan pentingnya pendidikan akhlak atau karakter seperti sabda Nabi Muhammad SAW.,
"Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak."
Sesungguhnya dalam pendidikan karakter yang setahun terakhir ini baru disadari pemerintah dan mulai digencarkan mengandung konsekuensi adanya keteladanan, motivasi, pembiasaan (riyadah), dan prasyarat lingkungan yang mendukungnya.
Politik pencitraan yang dilakukan para pemimpin tentu tidak sesuai dengan pendidikan karakter yang sedang dibangun. Anak-anak dan generasi muda dengan terpaan media massa tentu akan melihat dan selanjutnya meniru apa-apa yang dikatakan dan dilakukan para pemimpinnya. Tentu hal ini membahayakan bagi keberlangsungan pendidikan generasi mendatang.
Jangan sampai sesuatu yang salah, buruk, dan tak sesuai dengan ajaran agama malah dianggap hal biasa bahkan wajar dilakukan. Jangan sampai nantinya muncul istilah "salah kaprah, benar tidak lumrah". Sesuatu yang salah kaprah dan banyak dikerjakan sehingga akhirnya dijadikan sebuah kewajaran dan rujukan, sedangkan hal-hal yang berbau kebenaran malah dianggap asing.
Nabi Muhammad SAW. sendiri menyitir Islam sebagai agama yang asing pada awalnya lalu akan menjadi asing kembali. Janganlah kita meninggalkan generasi mendatang yang lebih lemah, lebih buruk, dan lebih jelek teratama akhlaknya karena orang-orang tua tidak memberikan keteladanan yang baik.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا
خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Walyakhsha allatheena law tarakoo min khalfihim thurriyyatan diAAafan khafoo AAalayhim falyattaqoo Allaha walyaqooloo qawlan sadeedan
"Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka." (QS. An-Nisa: 9)
Terakhir, pemimpin bukanlah profesi yang dicari melainkan akibat kepercayaan dari masyarakat karena ia memiliki rekam jejak (track record) yang baik dan dapat dipercaya sehingga diangkat menjadi pemimpin. Membangun kepercayaan harus dengan keteladan dan akhlak terpuji bukan dengan cara instan seperti memasang spanduk dan baliho di mana-mana.
Wallahu a'lam.***
[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 8 Maret 2012 / 15 Rabiul Akhir 1433 H pada Kolom "CIKARACAK"]
by
0 comments:
Post a Comment