Maaf adalah sebuah kata yang sangat mudah diucapkan tetapi tidak setiap orang mampu memberikannya dengan sepenuh hati kepada orang yang memintanya. Terlebih lagi bila yang meminta maaf itu adalah orang yang pernah berbuat sesuatu yang amat menyakitkan hatinya.
Ada fenomena yang menunjukkan kepada kita bahwa aktivitas pemberian maaf dalam hidup keseharian kita sepertinya tidak lebih sebagai bagian dari budaya basa-basi. Bahkan, kata maaf belakangan ini semakin tidak memiliki nilai karena-saat maaf diberikan tidak ada lagi di dalamnya "roh".
Hilangnya "roh" inilah yang membuat pemberian maaf tidal memiliki nilai-nilai ruhaniah, yang akhirnya membuahkan kehampaan. Hampa karena kata maaf hanya menjadi konsumsi bibir. Padahal, aktualisasi maaf bukan hanya menjadi konsumsi bibir/mulut, melainkan juga konsumsi hati. Jadi, ketika kata maaf terucap, kata tersebut tidak sekadar diucapkan, tetapi juga harus didasari keikhlasan atau ketulusan hati.
Kita ketahui bersama bahwa aspek keikhlasan itu adalah objek qalbu karena keikhlasan terkait erat dengan niat. Niat itulah yang menentukan kualitas suatu perbuatan di mata Allah. Rasulullah SAW. bersabda,
"Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari)
Sementara niat itu, seperti kita ketahui, haruslah terfokus pada satu titik/tujuan, yaitu ridha Allah, tidak untuk kepentingan lain. Itu semua terangkum dalam ungkapan ikhlas. Tentang hal ini, Allah SWT. dalam firman-Nya mengungkapkan,
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
Wama omiroo illa liyaAAbudoo Allaha mukhliseena lahu alddeena hunafaa wayuqeemoo alssalata wayutoo alzzakata wathalika deenu alqayyimati
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)
Memberi maaf secara tulus hati berarti di dalamnya terkandung unsur semangat untuk tidak memperpanjang permasalahan/konflik yang terjadi antara kedua belah pihak. Artinya, permasalahan dituntaskan sampai di situ.
Kemudian unsur lain yang terkandung dari pemberian maaf adalah adanya semangat pembebasan. Pihak yang dimaafkan terbebas dari tuntutan atau kompensasi yang seharusnya dia berikan karena kesalahannya. Ketika seseorang memberikan maaf kepada orang lain, selesailah urusan antara mereka dan serta-merta Allah pun tidak akan lagi mempermasalahkan kesalahan si pelaku itu saat yang bersangkutan bersimpuh di atas sajadah memohon ampunan kepada-Nya terkait kesalahannya tersebut.
Secara manusiawi memang wajar bila seseorang merasakan betapa sulitnya memaafkan orang lain yang sudah melakukan hal-hal yang teramat menyakitkan hatinya. Namun, akan menjadi tidak wajar apabila kita tidak berupaya keras untuk berlatih memaafkan orang lain. Memaafkan bagaimana pun adalah sebuah perbuatan yang Allah perintahkan kepada kita. Perintah tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Fakta membuktikan kepada kita bahwa perilaku memaafkan orang lain adalah salah satu unsur terpenting untuk terwujudnya sebuah masyarakat yang harmonis.
Memaafkan adalah sebuah sikap atau perilaku yang tidak muncul seketika. Dibutuhkan sebuah proses yang cukup panjang untuk bisa benar-benar menjadi seorang pemaaf. Untuk menjadi pemaaf dibutuhkan sebuah kesadaran bahwa setiap manusia tidaklah sempurna.
Terkadang pada saat tertentu seseorang bisa khilaf dan kemudian berbuat sesuatu di luar kepatutan. Terkadang boleh jadi karena aspek ketidaktahuan si pelaku atas apa yang dilakukannya. Terkait hal ini, dalam tarikh diungkapkan perilaku dan ketinggian akhlak Rasulullah SAW.
Saat Perang Uhud, Rasulullah mendapat luka pada bagian muka dan juga patah beberapa giginya. Kemudian ada salah seorang sahabatnva memberikan usul. "Cobalah tuan doakan agar mereka celaka."
Rasulullah menjawab, "Aku sekali-kali tidak diutus untuk melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan sebagai rahmat." Lalu beliau menengadahkan tangannya kepada Allah Yang Maha Mulia dan berdoa, "Allahummaghfir liqaumi fa innahum la ya lamun." (Ya Allah ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.)
Sebuah perbuatan negatif mungkin juga dilakukan karena keterpaksaan yang sulit terhindarkan oleh si pelaku. Tidak sedikit kasus seperti ini sering kita baca dan kita dengar di berbagai media informasi. Akan tetapi, tidak kita pungkiri juga bahwa sering kali perbuatan negatif dilakukan karena unsur kesengajaan.
Apa pun alasannya, perbuatan negatif tetap adalah perbuatan negatif. Setiap perbuatan negatif pastilah menimbulkan akibat. Akibat tersebut pastilah menyakiti perasaan orang lain. Dari kacamata agama setiap perbuatan yang menyakiti perasaan orang lain adalah dosa. Ketika kita memaafkan orang lain, sebenarnya secara sadar kita telah membebaskan orang tersebut dari dosanya. Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa seorang pemaaf adalah seorang "pembebas".
Di Arab Saudi, kasus-kasus pengampunan terkadang diterima oleh warga Indonesia yang terbukti telah melakukan pembunuhan terhadap seseorang yang kemudian terbebaskan dari hukuman pancung karena dimaafkan oleh keluarga dari pihak yang terbunuh. Kasus tersebut sebagai contoh betapa pemberian maaf sejatinya memiliki semangat "membebaskan". Lewat pemberian maaf itulah si pembunuh akhirnya terbebaskan, selamat, dan kemudian bisa pulang serta bertemu lagi dengan keluarganya.
Sudah saatnya sekarang kita membangun masyarakat pemaaf karena itu adalah perintah Allah,
الَّذِينَ
يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Allatheena yunfiqoona fee alssarrai waalddarrai waalkathimeena alghaytha waalAAafeena AAani alnnasi waAllahu yuhibbu almuhsineena
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Imran: 134)
Hal ini penting untuk ditegaskan mengingat bahwa ada kecenderungan masyarakat kita telah bergeser menjadi masyarakat pemarah dan pendendam.
Tawuran antar anak sekolah, antar mahasiswa, dan tawuran antar warga yang sering kali diberitakan lewat media cetak ataupun media elektronik adalah kasus-kasus yang bisa dijadikan sebagai fakta yang pendukung kecenderungan tersebut. Oleh karena itu, langkah-langkah akseleratif tentunya harus segera kita lakukan. Berawal dari diri kita tentunya.
Tidak mudah memang, tetapi bagaimanapun harus kita mulai bangun fondasi untuk itu sekarang juga.
Semoga Allah senantiasa memberikan limpahan kekuatan kepada kita agar dapat mewujudkan sebuah masyarakat pemaaf. ***
[Ditulis oleh HE. NADZIER WIRIADINATA, Kasubbag Hukmas dan KUB Kementerian Agama Kanwil Provinsi Jawa Barat.Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 24 Agustus 2012 / 6 Syawal 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment