AL MANSHUR

Selain beribadah dan merenungkan pelbagai hikmah ibadah umrah maupun haji, ada kebiasaan yang kerap penulis lakukan setiap kali berada di Masjid Al-Haram. Kebiasaan itu adalah mengamati pelbagai perilaku kaum Muslim dari pelbagai penjuru dunia yang sedang menjadi tamu agung Allah di masjid itu. Karena itu, selepas bertawaf, penulis paling suka mencari posisi di saf terdepan sebelum tangga-tangga menuju tempat pelaksanaan tawaf (mathaf).

Melihat kaum Muslim yang sedang melaksanakan tawaf itu, pada akhir Juni 2011 lalu, dan ketika sedang merenung, penulis menyadari Kota Mekah telah menjadi saksi pelbagai peristiwa, kejadian, dan kisah jutaan anak manusia. Nah, di antara kisah-kisah tersebut adalah kisah yang berkaitan dengan diri seorang penguasa kedua Dinasti Abbasiyyah di Irak.

Catatan sejarah menorehkan, penguasa kedua Dinasti Abbasiyah di Bagdad, Irak yang berkuasa antara 136-158 H/754-775 M ini adalah Al Manshur atau nama lengkapnya Abu Ja'far Abdullah bin Muhammad bin Ali. Al Manshur mendapat tugas untuk memantapkan Dinasti Abbasiyah yang kala itu masih sarat dengan banyak persoalan yang harus dihadapi. Tak aneh bila ia acap dipandang sebagai pendiri sebenarnya dinasti tersebut.

Pada suatu malam yang telah sangat larut, selepas mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat, Al Manshur dengan diam-diam menyelinap ke dalam Masjidilharam dan bertawaf di seputar Kabah. Ketika sedang melintas di dekat Multazam, dia mendengar seseorang berdoa sepenuh dan setulus hati, "Ya Allah, Tuhanku ! Sungguh, aku mengadu kepada-Mu, perihal maraknya kedzaliman dan kerusakan di bumi. Juga, maraknya kerakusan dan kehancuran yang menjadi tirai antara kebenaran dan pencintanya."

Seusai bertawaf, Al Manshur lantas memerintahkan pengawal untuk mencari orang yang berdoa di Multazam itu serta membawa ke hadapannya. Ketika orang itu menghadap, Al Manshur pun menghardiknya, "Apa maksud doamu yang kudengar darimu di Multazam tadi ? Bukankah engkau mengadukan kepada Allah perihal maraknya kedzaliman dan kerusakan di bumi serta kerakusan dan kehancuran yang menjadi tirai antara kebenaran dan pencintanya ? Mendengar doamu itu, telingaku terasa sangat pedih. Hingga kini, pikiranku pun menjadi kacau tak karuan !"

"Wahai Amir Al-Mukminin," sahut orang itu, dengan nada suara sangat tenang dan tak gentar sama sekali. "Bila engkau berkenan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan atas diri saya, akan saya paparkan kepadamu persoalan itu. Sejelas-jelasnya. Sebaliknya, bila engkau tak berkenan, persoalan itu tak akan saya kemukakan kepada siapa pun kecuali kepada diri saya saja. Saya terlalu sibuk dengan urusan itu !"

"Baik, kujamin keselamatan dan keamanan dirimu. Tapi ? sebatas hanya atas dirimu semata !"

"Wahai Amir Al-Mukminin ! Sejatinya, yang telah dirasuki kerakusan, sehingga menjadi tirai antara dirinya dan kebenaran dan perbaikan atas kedzaliman dan kerusakan di bumi, adalah engkau sendiri !"

"Aku ? Aku ? Celaka kau ! Bagaimanakah kerakusan menyergap diriku ?" tanya Al-Manshur terkejut.

"Ya, memang engkau, wahai Amir Al-Mukminin !" jawab orang itu. "Bukankah Allah telah menjadikan engkau sebagai pemelihara segala urusan dan harta kaum Muslim. Tapi, ternyata, engkau abai terhadap amanah itu. Engkau lebih mementingkan dirimu dengan menumpuk harta. Engkau jadikan di antara dirimu dan mereka sekat dari kapur, batu bata, pintu besi, dan para penjaga bersenjata. Kemudian, engkau kurung dirimu dalam gedung-gedung itu dan engkau perintahkan para pejabat dan pegawaimu untuk menghimpun harta dan pajak. Juga, engkau angkat para menteri dari pejabat dzalim. Manakala engkau lupa, mereka tak mengingatkan engkau. Manakala engkau ingat, mereka juga tak membantu engkau. Kekuatan mereka terletak pada tindakan menganiaya masyarakat dengan mengambil harta, hewan ternak, dan peralatan mereka. Engkau perintahkan agar siapa pun tak masuk ke tempatmu, selain orang-orang yang telah engkau sebutkan namanya. Sebaliknya, tak engkau perintahkan agar kepadamu dilaporkan perihal orang yang teraniaya, orang yang menderita, orang yang kelaparan, orang yang tak berpakaian, orang lemah, dan orang miskin. Tak seorang pun di antara mereka, melainkan memiliki hak atas harta itu !"

Seusai berucap demikian, orang itu lantas memberikan nasihat panjang kepada penguasa itu. "Wahai Amir Al-Mukminin ! Benarkah engkau telah menyiksa orang-orang yang mendurhakaimu, di antara rakyatmu, dengan hukuman yang lebih berat ketimbang hukuman bunuh ?"

"Tidak !"

"Apakah yang telah engkau lakukan dengan kekuasaan yang telah diserahkan Allah SWT. kepadamu ? Apa hakmu dari kekuasaan duniawi itu ? Bukankah Allah tak menyiksa orang-orang yang mendurhakai Dia dengan hukum bunuh. Tapi, Dia menyiksa mereka dengan azab pedih yang abadi. Padahal, Dia melihat segala yang membersit dalam hatimu dan yang disembunyikan oleh anggota tubuhmu. Apakah yang akan engkau katakan manakala Maharaja mencabut kekuasaan dari tanganmu dan memanggilmu untuk dihisab ? Apakah ada sesuatu yang kuasa memperkaya dirimu kepada-Nya dari kekuasaan duniawi yang kini sedang engkau buru itu ?"

Al-Manshur pun tak kuasa menahan lelehan air matanya mendengar pertanyaan yang demikian itu. "Ya Allah, Tuhan-ku. Anugerahkanlah kepadaku pertolongan-Mu untuk melaksanakan segala sesuatu yang dikemukakan orang ini."***

[Ditulis oeh H. AHMAD ROFI' USMANI, penulis buku dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Khalifah Tour. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Pon) 19 Juli 2011 / 17 Saban 1432 H. pada Kolom "UMRAH & HAJI"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: