Secara bahasa, ikhlas berasal dari kata khalasha yang berarti bersih atau murni. Bersih dari kotoran sehingga menjadikan sesuatu bersih, tidak kotor lagi.
Adapun menurut istilah, definisi ikhlas dimaknai beberapa ulama sebagai membersihkan hati dari maksud selain mengharapkan ridha Allah SWT. Sementara menurut Imam Al Izz bin Abdisalam, ikhlas ketika seseorang melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah, tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia juga tidak berharap manfaat dan menolak bahaya.
Kedudukan ikhlas sangatlah penting dalam menyertai amal. Sahl bin Abdullah at-Tustary berkata, "Dunia ini adalah kebodohan dan kematian, kecuali ilmu. Semua ilmu merupakan hujjah atas pemiliknya, kecuali yang diamalkannya. Semua amal akan sia-sia, kecuali ikhlas. Sementara ikhlas dalam bahaya besar, sehingga tetap berakhir dengannya."
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah RA., Nabi SAW., bersabda,
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian (niat dan keikhlasan). (HR. Muslim)
Allah hanya menginginkan hakikat amal, bukan rupa dan bentuknya. Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras atau menampi beras, dengan menyingkirkan gabah dan batu-batu kecil di sekitar beras. Beras yang dimasak pun menjadi nikmat dimakan. Akan tetapi, jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit gabah dan batu kecil.
Demikianlah keikhlasan yang menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan ria akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Ikhlas merupakan buah dan intisari dari iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An'am : 162)
Dalam ayat lain dikatakan,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Padahal, mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (QS. Al-Bayyinah : 5)
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, (QS. Al-Mulk : 2)
Ulama Fudhail bin Iyadh memahami kata ikhlas dalam firman Allah tersebut di atas, serta menuliskan dalam kitabnya. "Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, sehingga amal itu harus ikhlas dan benar jika dilakukan sesuai sunnah Nabi."
Oleh karena itu, tak heran jika ulama terkenal, Ibnul Qoyyim, memberikan perumpamaan, amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir, sehingga memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.
Lantas, bagaimana ciri orang yang ikhlas ? Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri di antaranya, senantiasa bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian atau pun celaan. Ali bin Abi Thalib RA. berkata, "Orang yang ria memiliki beberapa ciri, yaitu malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal, jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela."
Ciri lainnya, terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits,
Aku beritahukan, ada suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Akan tetapi, mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah. (HR. Ibnu Majah)
Untuk mencapai ikhlas bisa melakukan beberapa cara, seperti banyak berdoa, menyembunyikan amal kebaikan, dan memandang rendah amal kebaikan. Cara lainnya, dengan takut akan tidak diterimanya amal, tidak terpengaruh perkataan atau pujian manusia, dan menyadari manusia bukanlah pemilik surga atau neraka. Terakhir, ingin dicintai Allah bukan manusia.
Niat adalah dasar segala perbuatan, sehingga setiap perbuatan manusia diterima tidaknya di sisi Allah bergantung pada niatnya. Seseorang yang mengerjakan suatu pekerjaan niatnya murni karena Allah dan mengharapkan ganjaran akhirat, sedangkan perbuatannya itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah, maka amalnya akan diterima Allah. Sebaliknya, seseorang yang berniat untuk selain Allah atau tidak ikhlas bahkan menyekutukan-Nya dengan makhluk, maka pekerjaannya itu akan ditolak dan akan menjadi bencana baginya.
Amal tanpa ikhlas akan menjadi bencana bagi yang mengerjakan pekerjaan tersebut, walaupun pekerjaan itu termasuk dari perbuatan ibadah yang mulia, seperti memberikan sedekah, membaca Al-Qur'an, mengajarkan ilmu, bahkan mati syahid dalam medan perang melawan orang-orang kafir. Kualitas amal seseorang tak cukup dengan memenuhi syarat maupun rukunnya, melainkan harus dibarengi dengan niat ikhlas.
Kita wajib memperbaiki niat dalam segala perbuatan dan berusaha keras untuk selalu ikhlas dalam beramal.
Insya Allah !***
[Ditulis oleh HABIB SYARIEF MUHAMMAD AL'AYDRUS, Ketua Yayasan Assalaam dan mantan ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jabar. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 8 Juli 2011 / 6 Saban 1432 H. dari Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment