Ikhlas adalah satu kata yang mudah diucapkan tetapi sulit ditanam di hati. Banyak orang mengatakan bahwa dirinya ikhlas dalam beramal, ikhlas dalam melaksanakan ibadah, ikhlas membantu orang lain. Namun, di lubuk hatinya ia terpaksa dan mengharapkan imbalan serta pujian. Bantuan atas nama lembaga tertentu, pelayanan atas nama orang tertentu, imbalan hadiah atas nama kelompok tertentu, sering dijadikan misi untuk mendapatkan sikap hormat dan simpati orang lain sekaligus sebagai tameng atas kepentingan pribadinya.
Menurut Al-Qur'an, bukanlah kerja keras, bukan kelelahan, bukan pula mencapai penghormatan atau cinta dari orang lain yang disebut sebagai kriteria keunggulan, melainkan keyakinan mereka akan Islam, amal baik yang mereka kerjakan untuk mendapatkan keridhaan Allah, dan niat baik yang terpelihara dalam hati. Itulah yang disebut kriteria yang unggul di hadapan Allah. Sebagaimana Firman Allah,
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Hajj : 37)Keikhlasan berarti memenuhi perintah Allah, tanpa mempertimbangkan keuntungan pribadi atau balasan apa pun. Seseorang yang ikhlas akan berpaling kepada Allah dengan hatinya dan hanya ingin mendapatkan ridha-Nya atas setiap perbuatan, langkah, kata-kata, dan doanya. Jadi, ia benar-benar yakin kepada Allah dan mencari kebajikan semata. Untuk mendapatkan itu semua, keikhlasan tidak datang dengan sendirinya. Keikhlasan adalah suasana hati yang harus diusahakan setiap Muslim.
Tidak mudah memperoleh keikhlasan dalam diri seorang Muslim. Untuk mendapatkannya, seseorang harus memahami mengapa keikhlasan itu penting ? Ia harus memiliki keinginan untuk mendapatkan tingkat keikhlasan tersebut. Karena siapa pun yang gagal memahami keikhlasan, ia dapat mencari kekuatan dan kekuasaan dengan hal-hal yang bersifat keduniawian. Ia akan mengejar dunia untuk mendapatkan martabat sosial.
Akan tetapi, tak ada satu pun hal di atas yang dapat memberikan kekuatan dan kekuasaan yang sesungguhnya, tidak di dunia ini ataupun di hari akhir. Badiuzzaman Said Nursi mengingatkan para Mukmin sejati bahwa kekuatan di dunia dan di akhirat itu, hanya didapatkan melalui keikhlasan. Ia menyatakan, "Engkau harus tahu bahwa semua kekuatanmu ada dalam keikhlasan dan kebenaran. Ya, kekuatan ada di dalam kebenaran dan keikhlasan. Bahkan, bagi mereka yang salah mendapatkan kekuatan dari keikhlasan dalam kesalahan mereka. Bukti bahwa kekuatan ada di dalam kebenaran dan keikhlasan adalah apa yang kita kerjakan untuk Allah SWT. Sedikit keikhlasan di dalam karya kita membuktikan pernyataan ini dan bukti keikhlasan itu sendiri." Oleh karena itulah, siapa pun yang melupakan prinsip ini dan mengejar materi-materi yang disebutkan di atas, ia tidak murni mencari keridhaan Allah.
Diantara cara untuk memperoleh keikhlasan adalah dengan menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Ia harus mendedikasikan dirinya kepada Allah, dengan kecintaan yang mendalam setelah memahami kebesaran-Nya. Bahwa tidak ada kekuatan lain selain Allah. Bahwa hanya Allah yang menciptakan alam semesta dari ketiadaan dan yang memelihara makhluk hidup dengan penuh kasih. Dengan demikian, ia menyadari teman sejatinya di dunia dan di akhirat hanyalah Allah. Oleh karena itu, keridhaan Allah adalah satu-satunya pengakuan yang harus dicari. Rasa takut kepada Allah muncul dari pemahaman dan penghargaan akan kebesaran dan kekuatan-Nya. Seseorang yang memahami kebesaran kuasa Allah dan kekuatan abadi-Nya, akan mengetahui bahwa ia bisa saja menghadapi murka dan hukuman-Nya sebagai bagian dari keadilan Ilahi, jika ia tidak mampu mengarahkan hidupnya sesuai dengan keinginan Allah.
Cara lain untuk memperoleh keikhlasan adalah dengan mengharapkan balasan hanya dari Allah SWT. Perbuatan baik yang dilakukannya hanya untuk mendapatkan keuntungan materi dan sosial daripada balasan dari Allah, hanya akan mendatangkan kerugian. Bahkan, jika seseorang bertahun-tahun mengabdi kepada Allah dengan pola pikir demikian, ia tidak pernah dapat berharap mendapatkan keikhlasan sejati sampai ia berusaha hanya untuk mendapatkan ridha-Nya. Bagaimanapun, ibadah apa pun bila dilakukan hanya untuk mencari ridha Allah, pasti akan membuahkan balasan surgawi. Dengan kata lain, satu-satunya alat keselamatan dan pembebasan adalah keikhlasan. Ini adalah yang paling penting untuk mendapatkan keikhlasan. Perbuatan kecil yang dilakukan dengan keikhlasan adalah lebih baik daripada perbuatan besar yang dilakukan tanpa keikhlasan. Seseorang harus berpikir, yang membuat ikhlas dalam perbuatannya adalah melakukannya dengan murni dan tulus karena perintah Allah dan bahwa tujuan mereka adalah keridhaan Allah.
Keikhlasan juga dapat diperoleh dengan cara menguatkan hati nurani. Kata hati adalah kekuatan yang dipercayakan oleh Allah kepada manusia, untuk menunjukkan jalan yang benar kepada mereka. Kata hati mengingatkan manusia akan setan yang ada di dalam jiwa mereka dan segala macam sikap serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an. Apa pun kondisinya, seseorang yang mendengarkan suara hatinya akan dapat mencapai keikhlasan. Keikhlasan berarti kemampuan untuk memakai hati nurani seseorang seefektif mungkin. Ini juga berarti seseorang tidak boleh mengabaikan kata hatinya, bahkan di bawah pertentangan pengaruh luar atau nafsu rendahnya.
Karena alasan inilah, seseorang yang berharap untuk mendapatkan keikhlasan, pertama-tama harus menentukan apakah ia memakai hati nuraninya dengan baik atau tidak. Jika ia menekan kata hatinya terus-menerus, tidak mendengarkan suaranya, dan secara sengaja menuruti nafsu rendahnya, ia tidak memakai hati nuraninya sesuai dengan Al-Qur'an. Yang lebih penting lagi, seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur'an,
بَلِ الْإِنسَانُ عَلَىٰ نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ
وَلَوْ أَلْقَىٰ مَعَاذِيرَهُ
"Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun ia mengemukakan alasan-alasannya," (QS. Al-Qiyaamah : 14-15)وَلَوْ أَلْقَىٰ مَعَاذِيرَهُ
Setiap manusia secara naluri mengetahui, bisikan yang terdengar adalah suara hati nuraninya dan alasan-alasan yang ia ajukan untuk mengabaikan suara tersebut. Yang tidak kalah pentingnya, keikhlasan diharapkan dapat diperoleh dengan memahami, kehidupan dunia adalah sementara. Tanpa mengabaikan kenyataan bahwa manusia enggan memikirkan atau menerima realitas kematian, kenyataan bahwa manusia akan mati adalah satu kebenaran mutlak. Dalam hal apa pun, kehidupan dunia ini sangatlah singkat dan sementara sifatnya. Setiap orang diturunkan ke dunia ini untuk diuji dalam rentang waktu berkisar antara tujuh belas sampai tujuh puluh tahun. Oleh karena itu, akan menjadi satu kesalahan yang besar bagi seseorang mendasarkan rencana hidupnya hanya untuk dunia, untuk menerima persinggahan yang sebentar ini sebagai kehidupan sejatinya, dan untuk melupakan akhirat di mana ia akan hidup selamanya.
Akhirnya, seseorang yang selalu melakukan sesuatu dengan ikhlas, tidak hanya akan sukses dan menikmati kedamaian pikiran di dunia ini, tetapi juga mendapatkan balasan di hari akhir. Karena orang yang demikian tidak bergantung pada harta duniawi, kekuasaan, dan kehormatan sosial, tetapi hanya bergantung pada Allah, keimanan, hati nurani, dan keikhlasannya.***
[Ditulis oleh : USEP SAEFUROHMAN, koordinator umum Kajian Ilmu Muslim Muda (KIMM) Kabupaten Bandung, pegiat kajian Islam Ilmiah Pemuda Yayasan Pesantren Islam (YPI) Wilayah Pacet Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 1 April 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
0 comments:
Post a Comment