Setiap manusia mempunyai perasaan dan emosi. Perasaan dan emosi bersifat gaib, tetapi bisa tampak melalui perubahan mimik muka, lisan, atau bahkan sikapnya. Hal itu terutama berkaitan dengan adanya suatu keadaan yang dapat memengaruhi perasaan dan emosinya tersebut, di antaranya kegembiraan, kebahagian, kegagalan, dan musibah.
Kehidupan di dunia ini tidak selamanya datar. Artinya, tidak selamanya gembira dan tidak selamanya sedih. Untuk itulah, diperlukan sikap yang terbaik dalam menghadapinya agar keadaan-keadaan tersebut justru dapat menjadi hikmah. Karena di dalam suatu kejadian atau keadaan tertentu, ada hikmah yang dapat dipetik manfaatnya.
Namun, tidak sedikit di antara kita ketika ditimpa suatu kegagalan ataupun musibah, disikapinya dengan keluh kesah, mengumpat, marah, bahkan ada yang sampai putus asa hingga berusaha melakukan bunuh diri (naudzubillahi mindzaalik). Tidak sedikit pula yang berusaha untuk selalu tegar, bahkan dengan berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal itu merupakan suatu sikap positif di dalam menghadapi suatu kegagalan, cobaan, atau musibah.
Berkaitan dengan hal di atas, Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 45,
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
Berkaitan dengan musibah, apa pun musibah yang dialami seseorang tak lepas dari pengawasan dan kekuasaan Allah SWT. Alasannya, hal itu sebenarnya telah tercatat di Lauhul Mahfuzh sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Qur'an Surat Al-Hadid ayat 22-23,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (22).
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang'yang sombong lagi membanggakan diri (23).
Barangsiapa mampu menguasai perasaan dan empsinya dalam setiap peristiwa, baik yang memilukan maupun yang menggembirakan, dialah orang yang sejatinya memiliki kekukuhan iman dan keteguhan keyakinan. Oleh karena itu, ia akan memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan karena keberhasilannya mengendalikan emosi. Allah SWT. menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang senang bergembira dan berbangga diri. Namun, ketika ditimpa kesusahan manusia mudah berkeluh kesah dan ketika mendapat kebaikan manusia sangat kikir. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan orang yang khusyuk dalam shalatnya. Hal itu karena merekalah orang-orang yang mampu berdiri seimbang di antara gelombang kesedihan yang keras atau sebaliknya ketika dalam suasana kegembiraan yang tinggi. Merekai itulah yang akan senantiasa bersyukur tatkala mendapat kesenangan dan bersabar tatkala berada dalam kesusahan.
Hal itu sebagaimana di dalam Al-Qur'an Surat Al-Ma'aarij ayat 19-23,
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
إِلَّا الْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
إِلَّا الْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
Sesungguhnya Manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19). Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh (20) dan apabila mendapat kebaikan, ia amat kikir (21), kecuali orang-orang yang mengerjakan salat (22) yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya (23).
Apabila tidak bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT., niscaya emosinya tak akan dapat dikendalikannya. Emosi yang tak terkendali hanya akan melelahkan, menyakitkan, dan meresahkan diri sendiri. Alasannya, ketika marah, misalnya, kemarahan akan meluap dan sulit dikendalikan. Itu akan membuat seluruh tubuhnya gemetar, mudah memaki siapa saja, seluruh isi hatinya tertumpah ruah, napasnya tersengal-sengal, dan ia akan cenderung bertindak sekehendak nafsunya. Adapun saat mengalami kegembiraan, ia menikmatinya secara berlebihan, mudah lupa diri, dan tak ingat lagi siapa dirinya.
Berkaitan dengan marah, Rasulullah SAW. bersabda sebagaimana yang tertuang dalam sebuah hadits yang artinya, dari Abu Hurairah RA., sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW., "(Ya Rasulullah) nasihatilah saya. Beliau bersabda : kamu jangan marah. Beliau menanyakan hal itu berkali-kali. Maka beliau bersabda, Kamu jangan marah." (HR. Bukhori)
Selain hal di atas, dengan emosi yang tidak terkendali akan menggelapkan sikap objektivitas dan cenderung berlebihan dalam menyikapi sesuatu. Misalnya, ketika ia tidak menyukai seseorang, ia cenderung mencibir, menghardik, dan mencelanya. Akibatnya, seluruh kebaikan orang yang tidak ia sukai dari orang tersebut tampak lenyap begitu saja. Demikian pula ketika menyukai orang lain, orang itu akan terus dia puja dan sanjung' setinggi-tingginya seolah-olah tak ada cacatnya.
Berkaitan dengan hal di atas, kita bisa belajar dari sabda Nabi Muhammad SAW. dalam sebuah hadits yang masyhur, yang artinya, "Cintailah orang yang engkau cintai sewajarnya, karena siapa tahu ia akan menjadi musuhmu di lain waktu, dan bencilah musuhmu itu sewajarnya karena siapa tahu dia menjadi sahabatmu di lain waktu."
Dalam kehidupan sehari-hari, bisa saja orang yang tidak mampu mengendalikan emosinya terjadi pada seorang kepala keluarga, hampir seluruh anggota keluarganya akan kena dampaknya. Demikian pula kalau terjadi pada seorang petinggi negara, dampaknya akan terasa oleh masyarakat luas. Bahkan, bisa saja bisa terj'adi prahara yang sangat besar di negara tersebut.
Dengan demikian, siapa pun orangnya, apa pun pangkat dan jabatannya, senantiasa untuk selalu berusaha untuk mengendalikan emosinya. Barangsiapa mampu mengendalikan emosinya, berarti dapat mengendalikan akalnya dan menimbang segalanya dengan benar. Dengan begitu, ia akan melihat kebenaran, akan tahu jalan yang lurus, dan akan menemukan hakikat di dalam kehidupan ini. Namun sebaliknya, dengan emosi tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru akan menimbulkan masalah baru, bahkan masalah tersebut lebih besar dari masalah sebelumnya.
Semoga kita selalu berada dalam ridha dan bimbingan-Nya, serta kita selalu diberikan kekuatan dan kemampuan untuk mengendalikan emosi kita. Dari setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita, kita dapat mengambil hikmah yang berguna bagi kehidupan kita di dunia terlebih untuk di akhirat serta dijauhkan dari akibat-akibat emosi yang tak terkendali, yang dapat menyengsarakan hidup kita di dunia dan akhirat.
Amin.***
[Ditulis oleh ASEP JUANDA, Ketua Takmir At-Taqwa, Cicalengka, Kec. Cihampelas, Kab. Bandung Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 29 April 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment