"Ingatlah, setiap orang di antara kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir (pemimpin masyarakat) yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin dan itu akan ditanya tentang rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Merujuk pada kata pemimpin atau imam bermula dari kata amma yang bermakna bergerak ke depan. Seorang pemimpin di mana pun posisinya, baik di rumah tangga, lemhaga pendidikan, perusahaan, apalagi di masyarakat dan negara, harus bisa membawa ke arah yang lebih baik.
Kata amma berubah menjadi ammam atau di depan lalu imani yang bermakna seseorang yang berada di barisan paling depan. Kata imam senapas dengan kata umm atau ibu atau umat yang berarti komunitas yarig diminta untuk bergerak maju ke depan.
Seorang yang ingin menjadi pemimpin harus memahami kalau kekuasaan adalah amanah yang amat berat di pundak dan tanggung jawab yang amat besar di sisi Allah. Pemimpin harus menunaikan hak orang banyak dan berbuat adil kepada mereka sebagaimana halnya mereka ingin agar rakyat menunaikan tugasnya di hadapan dirinya.
Sungguh tugas seorang peminipin amat berat dan mengandung bahaya. Tak heran jika Nabi Muhammad mengingatkan bahayanya kekuasaan dan orang yang memintanya.
"Wahai Abdur Rahman bin Samuroh, janganlah engkau meminta kekuasaan. Karena jika kau diberi kekuasaan dari hasil meminta, engkau akan diserahkan kepada kekuasaan itu (yakni, dibiarkan Allah dan tak akan ditolong). Jika engkau diberi kekuasaan, bukan dari hasil meminta, engkau akan ditolong." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain dinyatakan, "Aku pernah masuk menemui Nabi SAW. bersama dua orang sepupuku. Seorang di antara mereka berkata, 'Wahai Rasulullah, jadikanlah kami pemiinpin dalam perkara yang Allah berikan kepadamu.' Orang kedua juga berkata demikian. Maka Nabi bersabda, 'Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula orang yang rakus kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Seseorang tidak diperkenankan berbuat narsisme dengan "mematut-matutkan diri" sebagai calon pemimpin ideal. Misalnya menyatakan saya ini orang pintar, lebih baik dan lebih bersih daripada calon pemimpin lainnya. Ajaran Islam juga melarang seorang calon pemimpin menjelek-jelekkan orang lain.
Kehadiran seorang pemimpin bukan karena politik pencitraan karena lebih banyak menipu dan juga tidak diiklankan secara gencar. Alasannya, pemimpin bukanlah profesi yang dicari, melainkan akibat kepercayaan dari masyarakat karena ia memiliki rekam jejak (track record) yang baik dan dapat dipercaya sehingga diangkat menjadi pemimpin.
Salah satu sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah syajaah atau keberanian untuk berkata dan bertindak sesuai dengan contoh para nabi. Keberanian muncul ketika seseorang pemimpin memiliki tsiqobillah (kepercayaan kepada Allah) dalam hatinya. Dia percaya dan yakin akan kebenaran Allah.
Syajaah menyertai orang-orang yang istiqamah di jalan Allah yang memunculkan sikap ketenangan dan at-tafaul (optimistis). Jadi orang yang istiqamah akan senantiasa berani, tenang, dan optimistis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah.
Tak mudah menjadi orang yang istiqamah. Bahkan, Rasulullah mengatakan, turunnya QS. Huud membuat Nabi berubah karena di dalamnya ada ayat 112 yang memerintahkan untuk istiqamah.
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."Syajaah membuat seorang pemimpin tersebut berani untuk mengambil risiko yang tentunya telah diperhitungkan masak-masak risikonya. Dia juga berani menderita dan hidup susah karena menjadi seorang pemimpin jangan dimaknai datangnya kemewahan maupun fasilitas. Dia juga berani untuk mengundurkan diri dari jabatannya apabila sudah tidak mampu ataupun ketiadaan kepercayaan dari umatnya.
Khusus pemimpin di lembaga pendidikan Islam dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi harus memiliki berbagai nilai plus. Hal ini berkaitan dengan posisi lembaga pendidikan, terutama guru yang dikatakan Rasulullah "hampir menyerupai nabi."
Pemimpin di lembaga pendidikan Islam memerlukan leader bukan sebatas penguasa. Bukan pula dari melihat usia muda atau tua apalagi dengan mempertimbangkan asal muasal kelompok maupun partai atau aliran politiknya.
Pemimpin lembaga pendidikan Islam merupakan sosok yang kuat secara keilmuan, berakhlakul karimah, adil, dan bertanggung jawab. Pemimpin tersebut tidak bisa bersikap pura-pura yang dibuat secara mendadak atau instan maupun teknik-teknik memoles diri agar memiliki citra yang baik di mata umat.***
[Ditulis oleh : H. PUPUH FATHURRAHMAN, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 7 April 2011 pada Kolom "CIKARACAK"]
0 comments:
Post a Comment