Manusia tidak dapat hidup sendiri selamanya karena manusia merupakan makhluk sosial. Paling tidak, sebagaimana Nabi Adam AS. yang memerlukan pendamping Siti Hawa. Dengan demikian, siapapun, tentu suatu saat akan memerlukan orang lain. Selanjutnya, akan terjalin suatu hubungan. Baik dengan keluarga, kerabat, atau bahkan orang lain. Di dalam hubungan tersebut, selain mengukuhkan rasa persaudaraan, tidak sedikit kadang secara langsung atau tidak akan terpercik ketersinggungan, marah, bahkan dendam. Dapat saja kerabat serasa orang lain dan orang lain menjadi kerabat. Pepatah berbahasa Sunda mengatakan, sendok mah sok paketrok jeung piring atau batur jadi dulur, dulur jadi batur.
Tidak sedikit dari hubungan yang tegang, kembali normal sediakala. Namun, tidak sedikit pula yang mengakibatkan permusuhan, bahkan permusuhan berkepanjangan sampai turun-temurun. Hal inilah yang disinggung Allah SWT. dalam Al-Qur'an,
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
wataAAawanoo AAala albirri waalttaqwa wala taAAawanoo AAala alithmi waalAAudwani waittaqoo Allaha inna Allaha shadeedu alAAiqabi
Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al Maaidah: 2)
Nabi Muhammad SAW. dalam sebuah hadits, dari Anas bin Malik RA. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
"Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, Jangan saling membelakangi, jangan saling bermusuhan, Jangan saling hasut. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang Muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya di atas tiga hari." (Muttafaq alaihi)
Dengan demikian, di antara sesama Muslim tidak saja dilarang bermusuhan, bahkan hanya tidak bertegur sapa selama tiga hari saja (ketika bertemu) tidak diperbolehkan. Sebaliknya, sesama Muslim dianjurkan untuk bersilaturahmi memanjangkan rasa persaudaraan, tolong-menolong, dan saling menasihati dalam kebaikan untuk mewujudkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW. sebagai figur teladan, mencontohkan kepada kita bagaimana seharusnya dalam bersosialisasi dan berkomunikasi. Rasul pernah marah, tetapi bukan pemarah. Berarti Rasul marah kepada orang yang layak untuk dimarahi dan dalam situasi yang tepat. Hal itu menunjukkan marahnya bersifat mendidik dan terkendali, bukan marah yang didasari nafsu. Di sisi lain, atas bimbingan wahyu dari Allah SWT., marah Rasul tidak berlarut-larut, apalagi sampai menjadi dendam yang berkepanjangan. Hal itu bukan saja kepada kaum Muslimin, termasuk kepada kaum kafir. Di dalam sejarah Islam kita tahu, paling tidak dalam dua peristiwa besar, yaitu pertama, pasca-Perang Uhud. Kedua ketika Rasul kembali ke Mekah yang dikenal dengan peristiwa Fathu Makah.
Pada pasca-Perang Uhud, di antara kejadiannya sebagai berikut. Ketika mengalami kekalahan pahit di Perang Uhud, Nabi SAW. dan para sahabat kembali ke lembah Uhud guna mengambil jenazah kaum Muslimin untuk dikuburkan. Saat itu, Rasul secara khusus mencari jenazah pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib. Rasul menyaksikan jenazah pamannya terkoyak dengan dada robek dan isi perut tercincang, Rasul langsung tertunduk pilu. Tampak air mata mengalir dari pelupuk matanya. Dengan suara bergetar menahan kepedihan, Rasul berkata, "Tidak pernah kusaksikan ada orang yang mengalami malapetaka seperti engkau ini pamanku. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku, sebagaimana peristiwa kematianmu!" ujar Nabi terisak. Lalu dengan nada marah, ia bersumpah, "Demi Allah! Andaikan suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami, niscaya akan aku aniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari bangsa Arab."
Sesudah mengucapkan kata-kata penuh emosi itu, turun firman Allah SWT. yang menegur sikap Nabi SAW.,
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ ۖ وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّابِرِينَ
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ
Wain AAaqabtum faAAaqiboo bimithli ma AAooqibtum bihi walain sabartum lahuwa khayrun lilssabireena Waisbir wama sabruka illa biAllahi wala tahzan AAalayhim wala taku fee dayqin mimma yamkuroona
Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan kepadamu. Namun, kalau kamu bersabar maka kesabaranmu itu lebih baik bagimu. Dan hendaklah kamu tabahkan hatimu, dan hendaklah ketabahan hatimu itu karena berpegang kepada Allah. Jangan pula engkau bersedih hati terhadap perbuatan mereka. Jangan pula engkau bersesak dada terhadap apa yang mereka rencanakan. (QS. An-Nahl, 126-127)
Dari peristiwa tersebut, patut kita renungkan dan kita jadikan pelajaran. Sebab, dalam kehidupan ini tentu kita kadangkala merasakan suatu hal yang membuat kesal, jengkel, marah, bahkan serasa ingin melampiaskannya dengan berbagai cara agar hati kita puas. Pelampiasan tersebut tidak memedulikan bagaimana dampak ke depannya terhadap diri kita, orang lain, atau pun lingkungan. Yang penting rasa sakit hati terobati.
Hal ini yang menjadi bahan bakar yang ampuh untuk menghanguskan peran nurani kita. Sejatinya, sebuah pepatah mengatakan bahwa otak boleh panas, tetapi hati tetap dingin.
Adapun ketika peristiwa Fathu Makah atau pembebasan Kota Mekah oleh Nabi Muhammad SAW. dan sepuluh ribu tentara Muslim yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke delapan Hijriah. Berawal dari dikhianatinya perjanjian Hudaibiyah oleh kafir Quraisyi.
Selanjutnya, ada tiga pilihan yang disodorkan Nabi, kafir Quraisy memilih pilihan ketiga, yaitu menyatakan perjanjian Hudaibiyah tidak berlaku lagi.
Dengan demikian, selanjutnya Rasulullah SAW. membebaskan Kota Mekah. Bersama kekuatan pasukan yang luar biasa, Nabi Muhammad SAW. memasuki Kota Mekah. Dengan damai, penuh rasa syukur, rasa haru, dan pengagungan kepada Allah SWT., Rasulullah dapat membebaskan Kota Mekah tanpa perlawanan yang berarti dari kaum kafirin. Bahkan, waktu itu kaum kafir Quraisyi merasa ketakutan kalau-kalau Nabi Muhammad SAW. membalas dendam atas perbuatan yang telah mereka lakukan kepada Nabi dan para pengikutnya. Namun, kekhawatiran mereka tidak terbukti. Nabi memaafkan kesalahan kafir Quraisy dan tidak melakukan balas dendam atas hinaan dan kekejaman yang telah mereka lakukan. Selanjutnya, setelah menghancurkan 360 berhala dan tinggal kurang lebih sembilan hari di Mekah, Rasul kembali bersama pasukannya ke Madinah. Selanjutnya, Kota Mekah ada dalam cahaya Islam.
Dari dua peristiwa di atas, kita dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat. Di antaranya, walaupun Rasul keras terhadap orang kafir dan penuh kasih sayang terhadap kaum Muslimin, sifat keras Rasul kepada kafir bukan perwujudan dari rasa marah atau dendam. Namun, keras dalam memegang teguh tauhid, dakwah, dan mempertahankan eksistensi keislaman dari serangan kaum kafir. Adapun kepada kafir yang mau hidup damai (kafir zimi), Rasul justru turut melindunginya. Terlebih kepada kaum Muslimin yang digambarkan Rasul bagai kain satu tubuh, tenggang rasa, saling tolong-menolong dalam kebaikan, saling mengingatkan, saling menasihati, saling peduli, saling mengobati tatkala sakit, dan saling memaafkan.
Wallahu 'alam.***
[Ditulis oleh ASEP JUANDA, DKM Takmir At-Taqwa, Cicalengka, Mekarmukti, Cihampelas, Bandung Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 14 September 2012 / 27 Syawal 1433 H pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment