Tentu sangat memprihatinkan dan menyedihkan ketika kita masih menyaksikan berita-berita kekerasan, baik tawuran antar-warga, bentrokan fisik antar golongan, atau gara-gara perbedaan keyakinan-mahzab masih saja terjadi di negeri yang dikenal penduduknya memiliki budaya silih asih, silih asuh, silih wawangi. Yang lebih memilukan adalah pertikaian pembakaran antar warga di daerah Sampang, Madura, Jawa Timur, yang berdasarkan kabar disebabkan perselisihan antar keluarga yang kemudian menjurus pada perbedaan mahzab yakni antara kelompok sunni dan syiah, dari itu terjadi ketika umat Islam baru saja menyelesaian ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Berbagai konflik kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia seolah-olah bukan lagi berita baru. Ikatan antar anak bangsa yang diikat oleh tali kebhineka-tunggal-ikaan yang seharusnya mengalir dalam aliran darah anak bangsa, sepertinya sudah lama tersumbat atau mungkin aliran darah itu sudah tidak ada lagi dalam jiwa anak-anak bangsa ini. Bhinneka Tunggal Ika itulah yang dulu telah menghapus keegoan karena suku, agama, golongan, ras pada seluruh anak bangsa ini, dan mempersatukan setiap perbedaan.
Ketika aksi kekerasan ataupun teroris yang terjadi di bangsa ini, suka atau tidak suka dan dipastikan Islam sebagai ajaran yang dipeluk oleh mayoritas penduduk bangsa ini, kembali menjadi sorotan. Bahkan gara-gara semua itu, muncul ide dari sekelompok orang mengenai perlunya sertifikasi ulama, karena ada anggapan bahwa kekerasan, aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam, diakibatkan adanya kesalahan orang (bukan ulama) yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Tentu saja, ide sertifikasi untuk para ulama mengundang reaksi ketidaksetujuan sebab memang gelar ulama, atau kiai bukan gelar akademik, tetapi gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang dianggap memiliki ilmu agama, serta perilaku yang mencerminkan nilai-nilai agama (berahlak mulia). Meskipun mungkin saja, masyarakat ada salah dalam memberikan gelar ulama kepada seseorang. Sebab boleh jadi hari ini masyarakat dan kita sudah lagi tidak bisa membedakan antara hitam dan putih, antara kiyai dan saudagar, antara mubalig dan selebritis.
Namun yang pasti, tidak ada seorang ulama yang mengajarkan kepada para pemeluk ajaran Islam untuk melakukan aksi teror atau kekerasan pada siapa pun, kecuali adanya segelintir orang yang salah dalam memahami ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam ajaran Islam, tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan melakukan pembunuhan tanpa hak. Siapa saja yang melakukan tindakkan teror dan mengakibatkan korban tak bersalah kehilangan nyawanya maka dalam pandangan Islam adalah tindakan tak bermoral sekaligus dzalim.
أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ
فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا
أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
annahu man qatala nafsan bighayri nafsin aw fasadin fee alardi fakaannama qatala alnnasa jameeAAan
Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al-Maidah: 32)
Memang sangatlah memprihatinkan, jika tindakan kekerasan, ataupun aksi teror masih terjadi di negeri ini dan pelakunya adalah penganut ajaran Islam. Bukan saja ajaran Islam yang tersudutkan tetapi juga Indonesia yang mayoritas penduduknya penganut ajaran Islam. Konon, Islam yang paling sama dengan model Rasullulah ada di negeri ini, dan justru bukan di negeri asalnya Arab. Sungguh kita merasa bangga, baik sebagai rakyat Indonesia ataupun sebagai pemeluk ajaran Islam, ketika kita bisa memberikan rasa nyaman, aman bagi pemeluk ajaran lainnya. Namun, sekarang kita seolah-olah dilempar kotoran oleh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang ataupun sekelompok golongan yang mengatasnamakan Islam.
Tentu saja tindakan kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang ataupun sekelompok golongan yang mengatasnamakan Islam tidak boleh dibiarkan terus terjadi di negeri ini. Jika itu terjadi karena kekeliruan dalam memahami Ajaran Islam tentu kewajiban setiap orang yang mengaku Muslim untuk kembali meluruskan kekeliruan itu. Pemahaman ajaran Islam yang sebenarnya harus kita ajarkan dengan benar pada anak-keluarga kita. Jika saja kekeliruan dalam memahami ajaran Islam itu kita biarkan, penulis menghawatirkan, kelak anak-anak kita menjadi generasi fanatis buta. Yang tidak bisa lagi menghargai orang lain dan menjadikan temannya lantaran berbeda keyakinan.
Ajaran Islam tidak pernah mengajarkan pemeluknya untuk tidak menghormati orang lain hanya dikarenakan perbedaan mazhab. Bahkan, kepada orang lain yang berbeda agama, Islam mengajarkan untuk saling menghormati.
Suatu hari Nabi SAW. berdiri karena ada iring-iringan jenazah Yahudi lewat. Salah satu sahabat di samping beliau berkata, "Wahai Rasulullah, itu orang Yahudi." Tanpa perubahan sikap atau raut di wajah beliau, Nabi SAW. menjawab, "Tapi dia adalah manusia!" Atau dalam hadits dari Abdullah al-Jadali, "Aku bertanya kepada Aisyah RA. tentang budi pekerti Rasullah SAW. Lalu dia berkata, 'Rasullulah tidak berkata keji, tidak berkata kotor, tidak berteriak-teriak di pasar-pasar, dan tidak membalas kejelekan, dia adalah orang yang memaafkan dan toleran." (HR. Tirmidzi)
Pernah seorang Arab Badui menarik dengan begitu kasar jubah buatan Najran yang kasar kainnya yang dipakai oleh Rasulullah SAW. hingga berbekas di leher baginda. Rasulullah SAW. tidak marah, malahan menghadiahkan jubah itu kepada orang itu.
Sorang Muslim akan senantiasa menjaga lidah dan tangannya, karena dirinya sadar dengan sabda Nabi SAW.,
"Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya; dan orang-orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah." (HR. Bukhari)
Muslim sejati adalah orang yang bisa kita percayai, sehingga orang Muslim lainnya juga dapat menoleh kepadanya tanpa berpikir panjang. Seseorang bisa percayakan anggota keluarganya kepada orang seperti ini tanpa rasa takut, orang ini tidak akan menyakiti orang lain dengan lidah dan tangannya. Kalau seseorang berkumpul bersama seorang Muslim sejati, dia bisa dipercaya sepenuhnya bahwa tidak akan ada yang menggosipkan orang lain dan tidak akan mendengarkan gosip mengenai orang lain.
Semoga kita semakin arif dalam menyikapi segala sesuatu yang boleh jadi yang mungkin sangat menyakitkan perasaan diri kita sebagai Muslim sekalipun tanpa harus menggunakan cara-cara kekerasan yang justru kontradiksi dengan ajaran Islam sebagai Rahmatan lil 'alamin.
Wallahu'alam.***
[Ditulis oleh IDAT MUSTARI, Ketua Biro Agama DPD Golkar Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 21 September 2012 / 5 Zulkaidah 1433 H pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
0 comments:
Post a Comment