Bahasan kali ini adalah wujud dan pengetahuan (being and knowledge). Apa yang dimaksud dengan wujud (being) ? Kata wujud berasal dari bahasa arab wajada. Yang kita bicarakan wujud di sini adalah wujud dalam pengertian yang sangat dasar.
Wujud dalam dirinya sendiri tidak dapat diketahui. Yang kita anggap wujud ini tidak bisa kita definisikan. Sedangkan kita yang wujud ini sebenarnya hanya akibat dari wujud yang sesungguhnya. Ini sulit kita pahami, karena vocabulary kita tidak bisa menjangkau aspek spiritual ini. Ini satu bukti betapa timpangnya perhatian kita terhadap persoalan ini. Bukan kesalahan kita untuk tidak dapat memahami persoalan ini, tetapi fasilitas yang ada sangat terbatas untuk menjelaskannya.
Ada dua hal yang perlu dijelaskan di sini.
- Pertama, penyamaan itu lebih dekat pada kesatuan. Kita meminjam bahasa Taoisme, karena inilah yang lebih mudah untuk dapat menjelaskannya. Penyamaan dan perbedaan adalah dua hal yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
- Kedua, wujud dan hakikat. Kata wujud adalah bahasa Arab dan hakikat juga bahasa Arab, tetapi keduanya sudah menjadi bahasa Indonesia. Wujud adalah eksistensi sedangkan hakikat adalah realitas.
Jadi, wujud itu sesuatu yang tidak tampak pada dirinya sendiri, tetapi kehadirannya menyebabkan wujudnya objek-objek yang lain. Yang tampak itu objeknya, bukan cahayanya itu sendiri. Wujudnya tidak tampak, tetapi memungkinkan kita untuk melihat wujud-wujud selainnya. Jadi, wujud itu dapat kita ibaratkan dengan cahaya. Hakikat wujud yang sesungguhnya itu sendiri tidak terlihat. Yang terlihat ada ini bukan hakikat wujud, sebagai hakikat wujudnya adalah Allah SWT.
Dulu, ilmu semacam ini sangat dirahasiakan. Jika terus dirahasiakan, maka kapan generasi kita akan mengetahuinya. Oleh karenanya, kita jangan takut menjelaskan ilmu semacam ini. Sebab, kalau kita niat belajar kemudian salah maka akan diluruskan dan tetap mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT. Orang berijtihad kalau salah dapat satu pahala dan kalau benar dapat dua pahala.
Tuhan Mahatahu akan kelemahan kita. Oleh karena itu, kita selalu memperbaiki iman kita dengan kalimah thayyibah. Hanya orang yang merasa sangat dekat dengan Tuhan mau menanyakan pribadi Tuhan. Tidak mungkin menanyakan hal-hal pribadi kepada orang yang tidak dekat. Seperti halnya Nabi Ibrahim AS menanyakan hakikat Tuhan. Begitu juga dengan Nabi Musa AS. Oleh karena itu, awalilah kegiatan semacam ini dengan memohon bimbingan-Nya, ihdinâ al-shirât al-mustaqim.
Dikatakan bahwa wujud bagaikan cahaya, tetapi sesungguhnya tidak sama dengan cahaya. Ini hanya perumpamaan saja untuk mendekatkan kita kepada pemahaman ini. Semakin terang sebuah cahaya semakin sulit kita memahami dan menangkapnya. Wujud tidak bisa didefinisikan dan diketahui. Ia identik dengan essensi ilahi. Wujud merupakan jumlah keseluruhan dari segala sesautu yang diciptakan. Pulpen, komputer dan LCD, misalnya, apakah itu wujud atau benda ? Semuanya itu adalah benda yang merupakan akibat dari perwujudan itu.
Saya menggunakan buku-buku karya Ibn 'Araby untuk menjelaskan mengenai konsep wujud ini. Dikatakan, bahwa "Allah sebagai yang satu dan yang banyak." Dari mana datangnya yang banyak ? Datangnya yang banyak itu dari yang satu. Allah mengetahui segala sesuatu.
Pengatahuan Allah yang berbilang-bilang ini adalah sumber manifestasi makhluk. Banyak ilmu dan banyak nama, tetapi hanya satu Allah SWT. Objek yang dilihat oleh mata ini sangat banyak, berbilang dan berwarna, tetapi pada hakikatnya adalah manifestasi dari yang wujud. Allah SWT. Maha Tunggal atau Maha Esa. Di mana Allah dan di mana makhluknya? Allah tidaklah tergantung kepada makhluk, dan yang tergantung adalah kita. Allah adalah adalah bagaikan Yang dan kita dan seluruh makhluknya adalah Yin. Meskipun ilmu Tuhan bermacam-macam tetapi kalau disedot kembali menjadi satu kepada sumbernya.
Jangan dipertentangkan bahwa Allah SWT. Maha Esa sedangkan makhluknya berbilang. "comprehensifness" itu penyatuan antara satu dengan yang lain, sedangkan "all-comprehensifness" adalah keseluruhan dari penyatuan antara yang satu dengan yang lain.
Ketika melihat sifat maskulinitas Tuhan maka kita akan melukiskan bahwa Allah Maha berbeda dengan kita. Sedangkan kalau melihat sifat-sifat Allah yang feminin maka akan ada kesamaan dengan kita. Contoh lain, kriteria apa yang bisa kita gunakan untuk mengukur bahwa sesuatu itu baik atau buruk ? Kambing misalnya, jika ia (anak kambing) berhubungan badan dengan induknya, apakah baik atau buruk, apa salah atau benar? Bagi penggembala kambing itu baik, karena sebentar lagi populasi kambingnya bertambah. Akan tetapi, kalau perbuatan itu dilakukan manusia, misalnya dilakukan seorang anak kepada ibunya, kita bisa memastikan perbuatan itu buruk dan tidak baik, karena ada norma khusus yang kita gunakan untuk menilainya.
Jadi, tidak semua yang berbeda itu salah atau tidak semua yang sama itu baik, demikian pula sebaliknya. Tergantung nilai dan norma apa yang kita gunakan untuk mengukurnya.
Satu sisi Allah SWT. Mahategar, Mahakuat, tetapi pada sisi lain Mahalembut. Bagi Allah itu, tidak ada masalah. Oleh karena itu, kita perlu untuk mengategorikan nama-nama ketakterbandingan Tuhan, seperti al-Jalal (Maha Agung), al-Qahhar (Maha Pemaksa), al-Muntaqim (Maha Penyiksa), al-Jabbar (Maha Memaksa), al-Quddus (Maha Suci), dan lainnya.
Selain itu, kita perlu mengidentifikasi nama-nama keserupaan, seperti al-Jamal (Maha Indah), al-Lathif (Maha Lembut), al-Rahman (Maha Kasih Sayang), al-'Afwu (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), al-Halim (Maha Penyantun), al-Sabr (Maha Sabar), dan lainnya. Identifikasi semacam ini memiliki implikasi dalam kepribadian kita sebagai hamba dari adanya kedua sisi sifat Tuhan ini.
Pendekatan kita kepada Allah ada dua model yang saling berkontribusi.
- Pertama, dengan pendekatan fiqh, substansi yang menonjol dalam menyembah Allah SWT. adalah ketakterjangkauan Tuhan. Sebab yang dikedepankan dalam fiqh adalah aspek jalâliyah (keagungan / ketakterbandingan) Tuhan, bukan aspek jamâliyah-Nya (keindahan / keserupaan). Di antara imbas pendekatan fiqh bagi kita adalah takut kepada Allah. Jika ketakutan yang dominan, maka kita harus taat dan tunduk. Ini tidak salah, karena memang fiqh seperti itu.
- Kedua, yaitu pendekatan tasawwuf. Yang ditekankan dalam tasawuf adalah bukan objek Tuhan sebagai sesuatu yang tak terjangkau (transendent) melainkan sebagai sesuatu yang dekat (immanent). Dengan demikian, yang terjadi kemudian adalah kecintaan kita kepada Allah. Dengan kedekatan ini, efek selanjutnya adalah kecintaan dan kepasrahan total kepada Allah SWT.
Orang yang telah mampu menekankan aspek jamâliyah Tuhan akan menjadikan ibadah sebagai rutinitas yang otomatis, bagaikan matahari dan rembulan yang berjalan tepat waktu tanpa berkurang atau lebih.
Yang terbaik tentunya ialah kombinasi kedua model pendekatan itu dan model ini banyak dilakukan oleh para sufi. Lihat misalnya Al-Gazali di dalam kitab monumentalnya, Ihya 'Ulum al-Din. Ketika ia menjelaskan Rukun Islam, ia membahasnya ke dalam dua aspek, yaitu aspek fikh (eksoterik) dan aspek sufistik (esoterik). Shalat, puasa, zakat, dan haji memiliki nuansa fisik lahiriyah dan nuansa batin.
Ibn 'Atha'illah melukiskannya dengan baik : "Barang siapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia fasih, barang siapa yang bertasawuf tanpa berfikih maka ia zindiq, dan barang siapa yang menggabungkan keduanya maka ia mencapai hakekat."
Wallahu 'Alam.
[Ditulis oleh Prof.Dr. NASARUDIN UMAR, Sumber : Republika.co.id, 23 April 2009]
0 comments:
Post a Comment