Sebelumnya penulis ingin mengucapkan taqabbalalloh minna waminkum shiyamana washiyamakum. Semoga amal ibadah kita selama Ramadhan diterima Allah SWT.
Kalau Anda ditanya, sudah berapa kali berpuasa ? Lalu, apakah puasa sudah bisa mengubah ucapan, sikap, dan perilaku Anda ? Apabila usia kita saat ini mencapai dua puluh tahun, berarti minimal sudah tiga belas kali berpuasa, seandainya puasa dilatih sejak usia tujuh tahun. Kalau usia kita tiga puluh tahun, minimal sudah 23 kali bahkan bisa lebih dari itu. Pertanyaannya, apakah pendidikan dan pelatihan puasa telah membekas lalu membentuk kita sebagai SDM andal ?
Apabila merujuk asal katanya, Ramadhan bermakna bulan yang memanggang dosa-dosa kita sehingga dosa terhapus. Ramadhan juga dijuluki bulan Al-Quran karena Al-Quran turun pada bulan ini. Ramadhan juga disebut bulan seribu bulan dengan adanya Lailatulkadar, bulan penuh berkah, bulan lautan ampunan, dan berbagai gelar lainnya.
Dalam khotbah menjelang Ramadhan, Rasulullah SAW. memberikan nasihat. "Wahai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah telah menjadikan puasa pada bulan itu sebagai suatu kewajiban dan shalat malamnya sebagai sunah. Siapa saja bertakarub di dalamnya dengan sebuah kebaikan, ia seperti melaksanakan kewajiban pada bulan yang lain. Siapa saja yang melaksanakan satu kewajiban di dalamnya, ia seperti melaksanakan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya." (HR. Ibnu Huzaimah)
Malah Allah berfirman melalui lisan Rasul-Nya, "…puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendirilah yang akan membalasnya." Apabila Allah dan Rasul-Nya telah begitu memuliakan dan mengistimewakan Ramadhan dan ibadah-ibadah di dalamnya, bagaimana dengan kita ?
Seharusnya dengan telah dilatih puluhan kali dengan intensitas pelatihan setahun sekali selama 29 atau 30 hari, semestinya kita menjadi manusia-manusia yang unggul. Selama Ramadhan kita dilatih untuk menahan hawa nafsu, mengendalikan kemarahan, dan menjaga dari berbagai godaan baik seks maupun pancaindra.
Pelatihan lainnya adalah mengeluarkan harta dalam bentuk zakat fitrah dan zakat harta (mal). Tak cukup hanya itu, kita juga dilatih untuk memperbanyak ibadah, seperti shalat malam, tadarus Al-Quran, iktikaf (berdiam diri di masjid) terutama pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan mencari ilmu dengan cara mendengarkan khotbah.
Ketika Ramadhan diisi dengan tadarus, seharusnya kita malu apabila belum bisa membaca Al-Quran. Seharusnya Ramadhan memacu dan memicu kita untuk belajar membaca Al-Quran meski dari "alif-alifan".
Ramadhan juga mengajarkan kita untuk bekerja keras, sehingga bisa menyantuni kaum yang kurang beruntung dalam bentuk zakat fitrah, zakat harta, infak, sedekah, ataupun wakaf. Bukankah Nabi Muhammad menyatakan tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah ? Memberi lebih baik daripada menerima bantuan ?
Salah satu kelemahan kaum Muslimin adalah memberikan makna ataupun menelisik hakikat dari ibadah. Kita terjebak kepada formalitas ibadah. Shalat dimaknai sebatas gerakan dan doa yang tidak diambil makna dan hakikatnya sehingga muncul istilah STMJ (shalat terus, maksiat jalan).
Imam Abu Hamid Al-Ghazali atau Imam Ghazali berupaya mengawinkan fiqh sebagai aspek lahir ibadah dengan spiritualitas sebagai aspek batin ibadah, atau dalam bahasa kaum sufi, mengawinkan syariat dengan hakikat.
Dalam karyanya yang sangat fenomenal, Ihya ’Uluumiddin, Al-Ghazali dengan brilian menggali khazanah spiritualitas dalam ranah ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayat. Spritualitas oleh Al-Ghazali dikenalkan dengan istilah Asraar Ath-Thaharah, Asraar Ash-Shalat, Asraar Ash-Shaum, dan seterusnya.
Jadi bagi kaum Muslimin, sesungguhnya spiritualitas ibadah ini bukan hal baru, tetapi sudah lama terlupakan dan terabaikan. Ibadah tanpa mengenal hakikat adalah ibadah tanpa memahami maknanya. Ibadah tanpa pemahaman untuk apa dan mengapa sebuah perintah ada, ibadah yang nilai-nilai positifnya tidak dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, dan inilah gejala yang muncul sampai saat ini.
Wajar ketika Nabi Muhammad mensinyalir banyaknya orang berpuasa, tetapi sekadar memperoleh ganjaran berupa lapar dan dahaga. Padahal Ramadhan merupakan bulan vaksinasi agar kita bisa kebal dari segala penyakit dunia ataupun penyakit hati, seperti dendam, riya, sombong, dan mementingkan materi.
Semoga ibadah-ibadah yang kita laksanakan selama Ramadhan ini memberikan makna mendalam untuk bekal sebelas bulan berikutnya. Insya Allah !***
[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum ”PIKIRAN RAKYAT” Edisi Kamis (Pahing) 16 September 2010 pada Kolom ”CIKARACAK”]
0 comments:
Post a Comment