Jika ditilik dari sudut siapa yang bertarung, sejatinya Perang Tabuk dan Perang Yarmuk tidak ada perbedaan. Keduanya merupakan arena pertempuran antara para pembela kebenaran dan pendukung kebatilan. Milisi Muslim melawan tentara Romawi. Persamaan lain adalah keduanya dimenangi kaum Muslim dengan personel lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah tentara musuh.
Islam, sebagaimana diketahui, baru mengizinkan perang manakala keselamatan kaum Muslim dan kedaulatan negerinya berada dalam ancaman. Karena demikian halnya, baik Perang Tabuk maupun Perang Yarmuk pada hakikatnya lebih bersifat defensif daripada ofensif.
Keterangan tersebut jelas tidak bermaksud menafikan nuansa perbedaan di antara keduanya. Bagaimana mungkin? Dalam kedua peperangan itu banyak hal yang secara signifikan berbeda. Misalnya, Perang Tabuk terjadi pada masa nubuwah dan dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. Sementara Perang Yarmuk berkobar pada zaman Khalifah Umar.
Pada perang Yarmuk terdapat sejumlah sahabat senior ikut. Abu Ubaidah al-Jarah misalnya, yang juga Komandan Pasukan Gabungan Milisi Muslim.
Sebelum perang dimulai, sejalan pula dengan Etika Islam, sang Komandan menawarkan kepada pihak lawan tiga hal. Pertama, menerima ajaran bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad SAW. adalah Rasulullah. Jika seruan ini mereka terima, dengan sendirinya mereka menjadi anggota persaudaraan Muslim; kedua, apabila tawaran itu ditolak, mereka diwajibkan membayar jizyah yang berfungsi sebagai pajak perlindungan; ketiga, seandainya mereka menolak usulan pertama dan kedua, alternatifnya adalah perang. Tentara Romawi ternyata memilih alternatif ketiga. Akhirnya, perang pun tidak dapat dielakkan.
Pada saat fajar menyingsing, tentara Romawi mulai bergerak maju. Dengan kekuatan pasukan yang berjumlah tidak kurang dari 250.000 personel, diperkuat pula dengan semangat menyala-nyala dan kemahiran bertempur dahsyat, sempat membuat sebagian tentara Muslim, yang berjumlah 35.000 orang agak terkejut.
Perang berkecamuk dengan kegarangan dan keganasan yang tidak terlukiskan. Pembantaian manusia berlangsung sedemikian rupa. Tidak seorang pun ahli sejarah dapat mencatat secara pasti, berapa prajurit dari masing-masing pasukan yang menjadi korban. Thabari dan Azdi memperkirakan seratus ribu orang dari pasukan Romawi. Baladzuri menyebut sekitar 70.000 orang saja. Sementara prajurit milisi Muslim yang gugur tiga ribu orang.
Ada hal yang menarik untuk dicatat, sebagaimana dilaporkan pakar tafsir dan sejarah Ibn Katsir, tatkala pertempuran berakhir, tentara Muslim yang selamat segera mengurus mayat rekan-rekan mereka yang gugur dan emberikan pertolongan kepada prajurit yang luka-luka.
Mungkin lantaran lukanya yang kelewat parah, mereka dilanda kehausan yang sangat. Tidak heran kalau kemudian mereka minta diberi air minum. Namun, saat prajurit yang kehausan itu mau memuaskan dahaganya, terdengar olehnya suara prajurit lain yang juga meminta minum. Dia tidak jadi meneguk air itu. Dia lantas menyerahkan air itu seraya berkata, "Berikan saja air ini kepadanya. Dia lebih memerlukan daripadaku!" Hal demikian itu berlanjut hingga mencapai tujuh orang.
Ketika para petugas bergerak menghampiri peminta terakhir, mereka sangat menyesal karena dia telah meninggal dunia. Dengan segera mereka kembali mendekati prajurit yang paling dahulu meminta air. Namun terlambat, karena prajurit itu pun sudah mengembuskan napas terakhir.
Sungguh mengharukan! Dalam kehidupan yang sudah berada di tepi ajal, mereka masih peduli akan kebutuhan orang lain. Betapa mulia hati mereka. Bagaimana dengan kita ?***
[Ditulis Oleh A. HAJAR SANUSI, Ketua MUI Kec. Kiaracondong Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Senin (Pahing) 6 September 2010 pada Kolom "KISAH RAMADAN"]
0 comments:
Post a Comment